Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, November 04, 2008

" Membangun Budaya Kota Solo"

Tantangan menjadikan Solo kota budaya

Jargon Solo sebagai Kota Budaya memang sudah tidak asing lagi di masyarakat Solo dan sekitarnya. Namun sayang sekali kesadaran masyarakat Solo belum terbangun sepenuhnya.
Kita bisa melihat hal ini pada hari-hari biasa.


Kalau berkunjung ke Keraton Solo, Pura Mangkunegaran dan Museum Radya Pustaka, kita akan menyaksikan sepinya pengunjung. Mungkin kita akan lebih banyak menemukan orang-orang mancanegara. Pertunjukan tari, karawitan, gamelan juga sama sepi pengunjung pada hari-hari biasa.
Sebenarnya Pemkot Solo sudah berusaha secara maksimal untuk membangkitkan kesadaran masyarakatnya untuk menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan budaya di Kota Solo.
Hanya memang kesadaran berbudaya harus disertai perangkat-perangkat yang mendukungnya. Menciptakan kesadaran berbudaya memang bukanlah suatu hal yang mudah. Namun hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil jika dikerjakan secara bersama-sama.
Pencurian arca di Museum Radya Pustaka hendaknya dijadikan pelajaran bagi masyarakat Solo akan pentingnya menjaga kelestarian budayanya. Kemudian, Solo begitu kaya akan bangunan-bangunan yang bernilai tinggi, maka tak heran di tengah dampak globalisasi dan era modern ini Solo masih tetap dikenal sebagai kota yang menjaga eksistensi budayanya.
Komitmen Walikota Joko Widodo dan Wakil Walikota Hadi Rudyatmo harus didukung. Misalnya ini terlihat dari berbagai kebijakannya yang berkomitmen untuk menyelamatkan berbagai warisan budaya. Dibuktikan dengan merevitalisasi kawasan Balekambang, Taman Sriwedari (Bonraja), Taman Monumen ‘45 Banjarsari (Villapark), kawasan batik Laweyan dan Ngarsopura Mangkunegaran.
Langkah pemerintah yang lain adalah beberapa hari lalu Solo menjadi tuan rumah WHCC dan SIEM 2008. Ini merupakan sarana strategis dalam menyosialisasikan dan menunjukkan kepada dunia, bahwa Solo berkomitmen untuk jadi Kota Budaya.
Langkah-langkah pemerintah tersebut perlu didukung sepenuhnya dengan cara berpartisipasi aktif dalam menjaga dan melestarikan budaya Solo. Pasalnya, pemahaman masyarakat begitu minim tentang peninggalan-peninggalan maupun budaya yang ada di Solo. Jangan sampai masyarakat turis mancanegara justru lebih paham tentang budaya di Solo daripada kita sebagai masyarakat Solo.
Solo begitu kaya dengan budayanya seperti Sekaten, kirab 1 Sura, karawitan, tari, batik dan lain-lain. Juga tempat-tempat peninggalan bangunan bersejarah seperti Museum Radya Pustaka, Pasar Gede Hardjanagara (1930), Pasar Kadipolo, Stasiun KA (Purwosari, Balapan dan Jebres), Dalem Poerwadiningratan, Gedung Pamardhi Poetri, Gedung Bank Indonesia (Javasche Bank), Loji Gandrung, Gedung Pertani, Gedung Veteran (Gedung Lowo), Gereja Katolik St Antonius dan Bruderan (FIC) Purbayan, Vihara Avalokiteshwara, gedung Brigade Infantrie, bekas gedung Kodim, gedung Woeryadiningratan dan lain-lain.

Tantangan modernitas
Selain itu, dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Solo tentunya banyak tantangan yang dihadapi. Di antaranya, pertama, benturan globalisasi dan modernitas. Hal ini merupakan tantangan yang sulit diatasi. Misalnya masyarakat kita saat ini lebih memilih bermalam mingguan di mal-mal dan tempat-tempat hiburan daripada menonton wayang di Sriwedari.
Hal inilah yang perlu kita sadarkan bersama, bahwa menjaga eksistensi budaya merupakan tanggung jawab kita bersama. Memang globalisasi menghadapkan kita dengan pilihan-pilihan yang memberatkan.
Kita juga melihat keadaan pemuda saat ini, mereka lebih hafal tempat belanja paling menarik di Solo daripada mengenal tempat budaya di Solo. Hal ini merupakan tantangan kita bersama dalam membangun masyarakat Solo yang berbudaya.
Kedua, kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya budaya. Hal ini terbukti pada hari-hari biasa. Pertunjukkan budaya hanya ramai di saat momen-momen tertentu.
Ketiga, minimnya regenerasi pelaku budaya atau orang yang melestarikan budaya. Misalnya saja ini terjadi pada minimnya minat generasi muda menjadi pemain gamelan, penari, dan lain-lain. Hal ini berbahaya bagi pelestarian budaya Solo ke depan.
Ketiga tantangan tersebut perlu kita hadapi bersama dengan membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya serta dengan memanfaatkan stakeholders. Misalnya dengan meningkatkan pelayanan akomodasi, transportasi dan lain-lain. Juga kerja sama yang strategis untuk mengoptimalkan wisata budaya agar budaya Solo tetap terjaga dan mewujudkan Solo sebagai Kota Budaya tak hanya sekadar impian. - Oleh : Arif Saifudin Y Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris UMS

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda