Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Jumat, November 07, 2008

" Utopia pendidikan Kita "


“Utopia Pendidikan Kita”
Oleh Arif Saifudin Yudistira*
Bicara mengenai pendidikan kita seperti tidak pernah berhenti membicarakan permasalahan. Karena, tiap kali kita membahas unsur-unsur maupun komponen-komponennya tentu kita akan menemukan setiap permasalahan di dalamnya.
Sulit sekali mewujudkan pendidikan yang sebenarnya di era saat ini. Karena setiap kali mendengar kata pendidikan, kita dipaksakan dengan menyebutkan nama-nama seperti sekolah, gedung,SPP,dan lain-lain.
Pendidikan saat ini layaknya pasar yang terus berkembang dan rumit dengan berbagai perangkatnya. Pendidikan yang seperti ini akibat pendidikan kita telah direduksi dari arti yang sebenarnya.
“ Tugas pendidikan adalah menggantikan pikiran yang kosong dengan pikiran yang terbuka”(Malcolm Fobes). Saat ini pendidikan kita bukan menjadi pendidikan yang membebaskan, akan tetapi menjadi sebuah penjara yang membelenggu.
Lihat saja,murid-murid kita dari SD hingga perguruan tinggi, mereka akan sangat senang ketika libur tiba atau pelajaran kosong. Aneh, inilah yang terjadi dalam pendidikan kita selama ini. Bukan senang dengan pelajaran yang ada disekolahan mereka.
Tetapi mereka lebih senang belajar melalui alam, belajar akhlak, belajar gotong royong,dan belajar semuanya. Namun semua itu berubah ketika mereka berada dalam kelas, seperti PR, tugas, takut dimarahi guru, takut dikasih skor yang jelek dan lain-lain.
Pendidikan kita belum mampu menjawab segala persoalan bangsa yang ada selama ini. Karena memang tidak diarahkan ke arah sana. Dan memang pemerintahan kita belum mampu mewujudkan pendidikan yang mampu menghadapi masalah seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire.
Ini terjadi karena pendidikan kita hanya layaknya sistematika pasar seperti gaya “banking consept of education”(gramcian)dimana pelajar diberi pengetahuan yang kelak dapat menghasilkan hasil yang berlipat ganda.
Kalau tidak percaya silahkan lihat fenomena universitas-universitas yang dengan segera membuka jurusan-jurusan baru untuk memenuhi kepentingan pasar. Misalnya saja, maraknya jurusan PGSD, PAUD, dan lain-lain yang tiap tahun berubah sesuai dengan kepentingan pasar yang ada.
Anggaran pendidikan kita yang rencananya 2009 diterapkan 20% tidak berdampak perubahan pada guru-guru tidak tetap dan honorer. Masih banyak guru-guru honorer dan tidak tetap yang telah banyak berjuang dan masih kurang beruntung.
Yang terjadi saat ini juga berdampak bagi calon-calon guru kita, saat ini calon-calon guru kita jarang yang mau ditempatkan di pelosok-pelosok. Mereka ingin cepat lulus, cepat mengajar , namun ingin juga dapat gaji besar.
Orientasi mereka sudah berubah, tujuan mereka bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tatapi sudah berorientasi ke materi atau uang dan kesejahteraan pribadi mereka saja.
Hal ini tentu akan membahayakan bagi masa depan pendidikan kita kedepan. Bagaimana bangsa kita bisa maju, bila guru-guru kita bermental lemah, lemah semuanya.
Kita saat ini makin terjebak dalam penjara pendidikan kita. Karena, pendidikan kita bisa menyamakan isi otak kita. Gaya-gaya orde baru masih ada di sekolah dan pendidikan kita. Hukuman yang tidak mendidik, bahkan kekerasan masih ada sampai sekarang.
Pemikiran kita sama, karena gambaran yang ada dalam perkuliahan di perguruan tinggi baik dari dosen maupun mahasiswanya hanya pandangan sempit. Seperti cepat lulus, dapat skor tinggi, dan dapat pekerjaan dengan bayaran tinggi. Inilah gaya pendidikan kita, logika pendidikan kita sudah berubah dari logika pendidikan menjadi logika untung rugi, maupun logika investasi.
Pendidikan kita tidak pernah mengajarkan bagaimana nilai-nilai kemandirian, bagaimana kita survival hidup di zaman global saat ini, begitulah Sri Sultan Hamengku Buwono mengkritik pendidikan kita. Hal tersebut memang benar adanya,karena pendidikan kita sudah di bawah kendala para pemodal saja.
Lebih parah lagi, nilai-nilai kearifan local sudah terasa hilang dalam pendidikan kita. Buktinya para pejabat yang memiliki pendidikan tinggi masih tega membabat hutan, masih tega korupsi, masih tega melihat rakyat kita sesamanya sakit, teraniaya, dan termarginalkan di negeri yang katanya subur makmur.
Tidak heran kemudian sumber daya kita kebanyakan dikuasai asing, karena pendidikan kita bukan diarahkan pula untuk mengelola alam dan kekayaan kita sendiri, tetapi memenuhi kebutuhan untuk dipekerjakan saja. Sedang yang menjadi top manajemen, top leader adalah bukan orang kita melainkan orang asing.
Berbeda dengan orang tua kita dulu, orang tua kita dulu tidak berpendidikan dalam arti bersekolah. Akan tetapi, mereka belajar semua hal tentang kehidupan, sehingga mereka bisa menjadi orang besar dan tetap tidak meninggalkan nilai-nilai dan kearifan lokalnya.
Maka tidak heran cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum……”hanya menjadi utopia belaka. Entah sampai kapan, kita tidak bisa menjawabnya. Karena system ini sudah terlalu akut, dan terlalu rumit. Hanya dengan perubahan secara radikal, sistematis, secara bersama-sama untuk perubahan dan cita-cita pendidikan kita.
Terakhir kali mungkin kita bisa merenungkan pesan Ki Hajar DEwantara: " Seorang pemuda yang jualan es cendol, lebih bermartabat daripada seseorang yang menenteng ijazah kemana-mana tanpa dia mau mencoba berkarya sendiri"
Penulis adalah Calon Pendidik, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda