Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Juni 30, 2009

Masa Depan Koalisi Kita"

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Atas nama rakyat, begitulah katanya koalisi dibentuk. Lalu rakyat yang manakah yang kemudian diatasnamakan tersebut?. Ketika jumlah para pemilih dengan yang golput banyak yang golput?. MEmang idealnya sistem kepartaian itu mewakili kepentingan rakyat, akan tetapi yang terjadi selama ini, sistem kepartaian hanya mewakili golongan elite-elite partai saja.
KEnapa demikian? Sistem partai kita membuka peluang untuk demikian. Kaderisasi partai idealnya berjalan selama tiga tahun sehingga waktu setelah tiga tahun itu, para kader partai siap untuk melanjutkan estafet partai serta visi-misinya. Akan tetapi yang terjadi justru lain, partai hanya terlihat punya gawe ketika mau pemilu saja, nampanglah dari partai A sampai Z, dengan berbagai jurusnya.
Ada yang kemudian bagi-bagi sembako, dengan sasaran wong cilik. Ada juga yang menawarkan pendidikan gratis, ada yang membuka lowongan kerja kontrak, ada yang klaim program pemerintah misalnya dengan mengklaim program budidaya ternak,dengan mengajukan proposal kepada pemerintah atas nama partai, dan lain-lain.
Sehingga tidak heran, yang kemudian terjadi hanya program partai sesaat, alias menjelang pemilu saja. Sedangkan visi-misi partai atau yang sering dinamakan visi-misi kerakyatan seakan tidak ada sama sekali. Ini yang kemudian sulit kita terima.
Maka yang terjadi rakyat pun pesimis, sehingga menimbulkan mental yang tidak bagus, hingga terjebak pada money politics. “Sudahlah terima saja, daripada gak milih, mendingan milih yang ada uangnya”.
Sikap seperti ini tidak bisa dilimpahkan pada rakyat sepenuhnya, akan tetapi partailah yang sebenarnya membangun mental seperti ini. Oleh karena itu, demokrasi kita seringkali dicap sebagai demokrasi atau politik dagang sapi.
Maka lobi-lobi yang terjadi antara partai yang menang kemudian, hanya lobi-lobi kekuasaan. Bukan lobi-lobi program yang jitu untuk mengentaskan bangsa dari keterpurukan.
Bisa kita lihat bersama prosesi koalisi elit-elit partai kita. Dengan tiba-tiba partai yang menentang mau lepas dari koalisi partai dempkrat, tiba-tiba diam seperti tiada suara setelah SBY benar-benar menetapkan budiono sebagai cawapres.
Aneh, baru saja partai-partai mitra koalisi menentang dengan keras cawapres penganut neolib yang kebetulan bukan dari parpol, tiba-tiba saja menyepakati dengan alasan tahun depan kita butuh ekonom kuat dan pengalaman untuk menuntaskan permasalahan ekonomi bangsa. Yah, maka tidak heran, rakyat pun bingung, yang sebenarnya benar yang mana?. Yang mana yang membawa kepentingan rakyat?.
Jargon-jargonnya pun seperti miskin visi, “lanjutkan, lebih cepat lebih baik, “pro wong cilik”. Rakyat pun kemudian fasih untuk mengucapkan saja, akan tetapi tidak mengerti apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan lanjutkan, lebih cepat apanya?, lalu wong cilik yang mana?. Demikian yang menjadi pertanyaan rakyat kita.
Serba Dilematis
Jelas, rakyat serba dilematis antara memilih atau tidak memilih. Ketika tidak memilih, satu-satunya jalan untuk kemudian menjalankan pemerintahan ke depan adalah melalui pemilu, akan tetapi pemilu telah dikotori dengan berbagai permasalahannya dan para pemimpinnya miskin visi misi .
Akan tetapi kalau memilih, maka jawaban yang sebenarnya adalah belum ada pilihan yang kiranya membawa rakyat kepada visi-misi kerakyatan yang membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa. Yang ada justru tarik-menarik dan lobi-lobi kepentingan.
Di sisi lain, pemerintah saat ini sudah benar-benar tidak mau lagi campur tangan lagi dengan ekonomi kita. Terbukti dengan menyepakati butir-butir kesepakatan dalam G-20 yang salah satu poinnya, menghapus proteksionisme.
Dengan kata lain ekonomi kita mau-tidak mau sudah dibawa kepada ekonomi liberal, yang jauh tentunya dengan ekonomi kerakyatan. Padahal ketika kita menganut ekonomi kerakyatan, pemerintah wajib untuk mengelola sumber-sumber daya ekonomi digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Undang-Undang yang ada pun begitu membingungkan, adanya UU penanaman modal, UU migas,dan UU MINERBA, justru pro terhadap kepentingan pemodal, pro terhadap neolib. Dalih yang digunakan pun cukup membuat dahi kita berkerut, dengan alasan bila diprivatisasi, bila diswastanisasi, akan lebih transparan, akan mengurangi korupsi,dan lain-lain.
Bagaimana nasib Indonesia ke depan adalah bagaimana kemudian pemilu bisa kita harapkan sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang benar-benar mengaspirasikan suara rakyat, ketika ini belum bisa, maka alternatif terakhir adalah gerakan kerakyatan yang kemudian menjadi tawaran untuk mewujudkan kembali Indonesia yang lebih baik. Semoga.

*) PEnulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta fakultas bahasa inggris semester 06, Presidium Kawah Institute

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda