Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, Juni 01, 2009

"Menata Kembali Gerakan Kita"

“Perlunya Menata kembali Sebuah Gerakan di Jaman Edan”
Oleh Arif Saifudin yudistira*)

“Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi
Agar manusia dapat memulai perjuangan
untuk menjadi manusia yang utuh”(Paulo Freire)

Iklim dalam dunia kampus kita sudah menjadi system yang benar-benar absurd. Tidak heran kebanyakan dari kita selaku mahasiswa akan sangat gagap ketika menghadapi dunia di masyarakat. Semangat jaman yang dibentuk dan diwariskan oleh pemimpin-pemimpin bangsa kita sudah dilupakan oleh generasi kita.
Pada jaman pemimpin bangsa dulu mereka benar-benar merasakan adanya penindasan yang benar-benar diwujudkan dalam kasus nyata. Seperti, pembunuhan, kerja paksa, dan penegeksploitasian alam secara terang-terangan. Mereka pada waktu itu benar-benar merasakan apa artinya menjadi jiwa yang bebas dari penin dasan. Sehingga keadaan mereka memaksa untuk belajar politik,strategi,dan cara untuk keluar dari penindasan tersebut.
Sangat berbeda dengan dunia kita saat ini, mahasiswa sudah dimanja dengan berbagai surga dunianya sehingga apa yang disebut kebebasan itu tidak pernah ada,tapi mereka begitu menikmati ketidak bebasannya. Mulai dari hiburan dan segala macamnya yang tidak memerlukan usaha yang susah payah untuk mendapatkannya. Lagi-lagi penindas yang akan meraup keuntungan,tidak perlu heran dengan itu. Karena hal itu sudah lama diprediksi oleh Erich Fromm : “Sistem ekonomi kita menciptakan manusia-manusia yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan system itu, system kita menciptakan manusia yang cita rasanya seragam seleranya distandarkan,yang gampang dipengaruhi,yang kebutuhannya dapat diantisipasi”.
Kita memang jarang dididik untuk mengharagai dan menumbuhkan kepluraran. Aturan kita saat ini pun dibuat menuju ke arah yang demikian. Tidak ada proses pembelajaran, pengembangan pola pikir, dan apalagi kebebasan hidup.

Mau gimana lagi jika sudah seperti ini, kita mau menyalahkan siapa?. Wajar, itulah kata yang pantas menggambarkan kemapanan yang tidak mapan ini. Mahasiswa kita saat ini berbeda dengan mahasiswa di tahun-tahun perjuangan. Minat baca kurang, inginnya dapat nilai bagus, dan bangga dengan semboyannya : “muda foya-foya ,tua kaya raya ,dan mati masuk surga”.
Seperti kata Paulo freire diatas syarat untuk menjadi manusia yang utuh adalah bebas. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi manusia yang utuh, bila saat ini kita tidak pernah sadar dengan kondisi yang tidak bebas ini namun terlena dan bangga. Maka tidak salah bila solusi dari ini adalah penyadaran. Penyadaran itu hal yang tidak mudah, perlu adanya system pula yang mendukung hal itu. System ini akan berbenturan dengan system yang besar dan yang sudah mapan.
Perlunya Rekonstruksi kultur akademik

“Bangsa budak belian akan mendidik anak-anaknya di dalam roh perhambaan dan dan penjilatan, bangsa orang merdeka akan mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang merdeka” ( Bung Karno )
Sudah sejak dulu terbukti kekuatan kultur merupakan kekuatan yang sulit dirobohkan. Bangunan kultur terbentuk dari sebuah gerakan yang tertata rapi. Mari kita lihat dalam kultur mahasiswa saat ini, budaya membaca baik membaca realita maupun membaca buku saat ini begitu minim dan cenderung menghilang. Setelah kita mengetahui hal ini, ternyata hal inipun tidak terjadi dengan sendirinya. Hal ini terjadi karena memang system di pendidikan kita juga mengarah kepada ketidakjelasan cita-cita maupun tujuan pendidikan itu sendiri. “mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum…………….”
Tujuan pendidikan kita semakin menjauh dari itu. Tujuan pendidikan kita seakan cenderung kea rah apa yang dikatakan bung karno pada kalimat pertamanya yaitu “Bangsa budak belian akan mendidik anak-anaknya di dalam roh perhambaan dan dan penjilatan”. Sangat sesuai dengan sikap pemimpin-pemimpin kita saat ini yang berani menggadaikan sikap nasionalisme dan harga dirinya demi untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran diri maupun golongannya.
“Tidak berbeda dengan dunia yang terjadi di mahasiswa saat ini, mahasiswa rela menggadaikan jiwa keberpihakannya dengan sejumlah uang ataupun bea siswa”.
Daya kritis kita hilang seketika dengan adanya itu, sebagai contoh juga kita akan merendahkan diri serendah-rendahnya demi mendapatkan uang jatah organisasi kita. Yang padahal kita belum jelas dengan tujuan kegiatan - kegiatan kita. Kita juga dibuat buta menganalisa kebijakan-kebijakan kampus, apakah kebijakan itu membuat kita makin bebas, ataukah justru semakin membuat kita tertindas, atau hanya membuat kita makin terlena dengan keadaan yang serba instant ini.
Pertanyaanya sekarang adalah apakah kita kembali terjirat ke dalam system itu, ataukah kita akan keluar dengan system itu dengan segala resikonya. Rasanya konsepsi “saya berpikir oleh karena itu saya ada” oleh Descrates perlu diterapkan disini. Sudah menjadi kebiasaan dari mahasiswa untuk malas berpikir, berpikir apapun.
Seperti dalam firmanNya dalam surat ali Imron ayat 190 :Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir. Jadi jelas dalam bergantinya siang dan malam itulah kita diperintahkan untuk berfikir,tidak hanya pada satu bidang tapi semuanya.
Perlunya pembacaan dan pemahaman terhadap sejarah
Organisasi dan pergerakan pada masa sebelum kemerdekaan adalah merupakan pelajaran yang kini nilai-nilainya sering ditinggalkan pada organisasi kita saat ini.

Nilai kemandirian

Organisasi kita saat ini cenderung “ njagagke ndoke si blorok”
(tergantung pada orang lain) dalam hal ini kita amat sangat tergantung kepada dana dari universitas, meskipun itu sudah menjadi hak kita. Tapi ketergantungan inilah yang saya kritisi, kita jadi tumpul otak kita bila tidak ada dana dari universitas, bingung dan sebagainya. Namun, organisasi dulu seperti SI(Sarekat Islam) adalah organisasi pergerakan juga mandiri dalam pendanaan dan non kooperatif terhadap penjajah.



Nilai Kedisiplinan
Sudah bukan menjadi suatu hal yang asing lagi bahwa organisasi kita saat ini terlalu menyia-nyiakan waktu. Waktu kita, kita sia-siakan dengan banyak bercanda ria, dan lain sebagainya. Sangat jauh dengan organisatoris di masa itu, tidak ada kata canda tawa, apalagi mengulur-ngulur waktu.
Nilai kebersamaan dan sikap kekeluargaan
Susah bicara kekeluargaan, kebersamaan di jaman penuh hedonis saat ini. Organisasi kita saat ini cenderung pragmatis dan oportunis. Nilai-nilai itu kian luntur, dan semakin ditinggalkan. Kita sekarang cenderung memikirkan apa yang ingin menjadi ego pribadi-pribadi saja. Kebersamaan kita hanya sebatas rame-rame saja dalam kegiatan saja.
Nilai dan semangat kerja keras

Anti bagi generasi dulu mendapatkan semuanya dengan instant. Tidak ada sesuatu hal yang gratis tanpa keringat. Walaupun hanya sesuap nasi mereka tidak akan memperolehnya kecuali dengan keringat. Semangat mereka luar biasa,tidak mengenal waktu demi tujuannya. Dalam organisasi kita saat ini berbeda, apa-apa serba ada, hanya tinggal memanfaatkannya tapi semangat perjuangannya amat jauh apalagi hasilnya.

Kembali kepada kebebasan dan kesadaran, dua bangunan ini amat sangat penting untuk menciptakan manusia yang utuh. Dalam dunia kemahasiswaan ini penting karena mahasiswa mau tidak mau harus melanjutkan estafet kepemimpinan.








Penulis adalah Presisium kawah institute indonesia

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda