"Solo ilang Salane"
Solo Ilang Salane???
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Tidak selamanya yang dikatakan bersih,indah adalah cerminan masyarakat berbudaya. Justru letheknya pasar tri windu itulah yang membuat turis-turis itu suka. Akan tetapi kalau kita lihat pasar tri windu sekarang ini, justru turis tidak suka lagi, nuansanya itu lho sudah hilang, rasa, itu sudah hilang disinilah nilai estetis budaya itu ada kata Laura seorang warga italia yang betah di Solo,juga seorang budayawan.
Spirit wali kota untuk mempercantik kota solo dengan mengajak partisipasi warga solo perlu kita sambut dengan dukungan yang hangat. Akan tetapi, ketika spirit mempercantik kota solo dengan menggusur tempat-tempat yang kemudian mempunyai nilai budaya serta sejarah kota solo, ini yang kiranya perlu kita luruskan.
Barang sing luwih separo abad, kuwi ojo diancurake begitulah salah satu cirri benda yang bisa dianggap mempunyai nilai sejarah dalam pepatah jawa.. Akan tetapi, saat ini nilai atau spirit Solo sebagai kota budaya akan terasa meredup ketika tempat-tempat berbudayanya sudah hancur.
Budaya tidak selalu identik dengan gaya modernisme. Kebersihan, kemudian keindahan, tidak bisa kita gandengkan dengan suasana pasar gedhe misalnya yang serba kotor dan ruwet. Juga pasar tri windu yang penuh dengan barang unik yang berantakan. Justru disitulah letak rasa, rasa kekhasan kota solo dibanding dengan kota yang lain.
Rasa inilah yang kini mulai hilang, ketika tidak ada yang membedakan Solo dengan kota yang lain, maka hilanglah kekhasan sebuah kota. Rasa-rasanya pemerintah kota solo perlu untuk bersama-sama ngudarasa terhadap permasalahan ini dengan sesepuh atau budayawan solo, sehingga pembangunan yang ada tidak kemudian menggusur nilai budaya dan estetika solo.
Oleh Arif Saifudin Yudistira,,,,pelajar Solo
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Tidak selamanya yang dikatakan bersih,indah adalah cerminan masyarakat berbudaya. Justru letheknya pasar tri windu itulah yang membuat turis-turis itu suka. Akan tetapi kalau kita lihat pasar tri windu sekarang ini, justru turis tidak suka lagi, nuansanya itu lho sudah hilang, rasa, itu sudah hilang disinilah nilai estetis budaya itu ada kata Laura seorang warga italia yang betah di Solo,juga seorang budayawan.
Spirit wali kota untuk mempercantik kota solo dengan mengajak partisipasi warga solo perlu kita sambut dengan dukungan yang hangat. Akan tetapi, ketika spirit mempercantik kota solo dengan menggusur tempat-tempat yang kemudian mempunyai nilai budaya serta sejarah kota solo, ini yang kiranya perlu kita luruskan.
Barang sing luwih separo abad, kuwi ojo diancurake begitulah salah satu cirri benda yang bisa dianggap mempunyai nilai sejarah dalam pepatah jawa.. Akan tetapi, saat ini nilai atau spirit Solo sebagai kota budaya akan terasa meredup ketika tempat-tempat berbudayanya sudah hancur.
Budaya tidak selalu identik dengan gaya modernisme. Kebersihan, kemudian keindahan, tidak bisa kita gandengkan dengan suasana pasar gedhe misalnya yang serba kotor dan ruwet. Juga pasar tri windu yang penuh dengan barang unik yang berantakan. Justru disitulah letak rasa, rasa kekhasan kota solo dibanding dengan kota yang lain.
Rasa inilah yang kini mulai hilang, ketika tidak ada yang membedakan Solo dengan kota yang lain, maka hilanglah kekhasan sebuah kota. Rasa-rasanya pemerintah kota solo perlu untuk bersama-sama ngudarasa terhadap permasalahan ini dengan sesepuh atau budayawan solo, sehingga pembangunan yang ada tidak kemudian menggusur nilai budaya dan estetika solo.
Oleh Arif Saifudin Yudistira,,,,pelajar Solo
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda