Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Kamis, Desember 04, 2008

Perlunya Evaluasi secara Menyeluruh, Bukan sekedar UNPK

Perlunya Evaluasi secara Menyeluruh,
Bukan sekedar UNPK

“Kesalahan terbesar sekolah adalah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-anak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya(Stanley Kubrick). Inilah yang terjadi di sekolahan-sekolahan kita. Hal ini terlihat jelas ketika guru memberi peringatan siswanya ketika mendekati ujian. “Belajar yang rajin yaa naak, kalo nanti gak lulus kamu yang rugi sendiri”.
Kemudian anak menjadi termotivasi oleh ketakutan yaitu takut tidak lulus, apalagi setelah tidak lulus ditakuti lagi dengan UNPK yang juga masih belum jelas lulus tidaknya.
Inilah yang sebenarnya tidak sesuai dengan konsep pendidikan kita. Pendidikan dipandang sebagai sesuatu hal yang menakutkan sehingga mengkerdilkan kemampuan peserta didik itu sendiri. Siswa kita dipaksa mengerjakan soal-soal latihan dan menghafal rumus selama satu bulan penuh sebelum menempuh ujian, baik ujian nasional ataupun UNPK juga tidak jauh berbeda.
Maka tidak heran ketika nanti pada saat ujian ada siswa yang jatuh sakit, stress, dan lain-lain. Terlebih nanti saat pengumuman hasil ujian, ada siswa yang tidak lulus. Siswa takut, minder,putus asa, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Pendidikan yang seharusnya memiliki makna bagi perkembangan peserta didik(Brown,1977) menjadi sesuatu monster yang menakutkan. Akibatnya, kemampuan peserta didik, potensi peserta didik cenderung dimatikan. Hal ini terjadi karena paradigma guru selama ini yang dipandang ”super segalanya” masih melekat.
Kurikulum KTSP yang katanya bisa merubah paradigma tersebut justru dimanfaatkan untuk melegitimasi bisnis penerbitan buku-buku. Siswa diharuskan membeli buku agar pandai. Akhirnya, tidak heran sehingga kemudian sekolah dipandang kapitalis dengan banyaknya buku yang harus dibeli.
Hal ini jelas bertentangan dengan aturan kita pasal 31 ayat 2 : ” Bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar sembilan tahun, dan pemerintah wajib membiayainya”.
Memahami dan memaknai proses pendidikan
Edukasi berasal dari bahasa latin ”educare” yang artinya ”membawa keluar”. Sekolah sebenarnya bearasal dari sana, membawa anak keluar sehingga langsung menyentuh masyarakat. Kemampuan menyesuaikan diri dengan masyarakat, maupun kemampuan untuk hidup mandiri jarang dipelajari di sekolahan.
Sekolah menjadi suatu tempat yang terpisah dengan realita ajaran-ajaran yang ideal namun jarang diterapkan. Sekolah juga menginisiasikan mitos konsumsi tanpa akhir.Mitos modern ini dasarnya keyakinan bahwa proses pasti menghasilkan sesuatu yang bernilai, dan karena itu produksi pasti menghasilkan permintaan. Di sekolah kita diajarkan bahwa yang bernilai adalah hasil kehadiran kita dikelas, bahwa nilainya meningkat jika banyak masukan kita peroleh, dan akhirnya diukur lewat gelar-gelar ijazah(Ivan Illich)
Akhirnya, ketika kita masuk dalam dunia sekolah, kita cenderung merasa terbelenggu dan tidak bebas. Karena ketika kita mau masuk sekolah kita, kita dibayangi dengan berbagai kekhawatiran yang tidak pasti yang menghadang di depan kita. Mengenai lulus atau tidak, mengenai masa depan kita, mengenai moral, dan sebagainya. Belum lagi belenggu SPP, biaya buku, biaya tutor, dan lain-lain.
Dalam proses pendidikan kita, tentu saja kita tidak boleh meninggalkan tujuan pendidikan kita : ........”Mencerdaskan kehidupan bangsa,memajukan kesejahteraan umum”.....inilah yang sering dilupakan dan dianggap enteng oleh para pengambil kebijakan pendidikan.
Mencerdaskan seringkali diartikan dengan menguasai teks-teks materi dan soal-soal. Padahal itu hanya makna secara sempit saja. Makna yang lebih substansial yaitu diharapkan kita memiliki kecerdasan yang akan membawa tidak hanya kesejahteraan pribadi tapi juga kesejahteraan umum.
Selain itu menurut Prof. Suyanto, Ph.D. dalam bukunya ”Dinamika pendidikan nasional” berpendapat bahwa tujuan pendidikan kita adalah ” membangun mentalitas yang berkarakter”. Membangun mentalitas yang berkarakter disini tidak lain dan tidak bukan adalah menemukan jati diri sebagai manusia yang utuh yang memiliki berbagai potensi yang bisa dikembangkan.
Namun, sekolah kita tidak demikian, sekolahan kita menyamaratakan kemampuan dengan adanya standarisasi skor. Hal ini akan berdampak jelas ketika kita keluar dari sekolahan , kita bingung mau kemana?. Akhirnya sekolahan dipandang sebagai mesin pencetak pengangguran,yang juga telah berjasa membingungkan masa depan orang dan membuat banyak orang putus asa gara-gara tidak lulus ujian.
Perlu Evaluasi, Bukan UNPK!!!
Hal yang kurang saat ini adalah tidak adanya sebuah evaluasi dari semua fihak secara mendasar mengenai kurikulum pendidikan maupun penerapannya di lapangan.Kebanyakan evaluasi baru ada dalam tataran praktik di lapangan, belum pada permasalahan mendasar yaitu pada sistem pendidikan kita.
Kejadian pada hari kamis(26/6)tentang tertangkapnya sejumlah guru membantu siswa dalam mengerjakan UNPK kejar paket C setara SMA(SOLO POS) memberikan gambaran bahwa Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan masih diwarnai berbagai kecurangan yang tidak jauh beda dengan Ujian Nasional.
Pelajaran tersebut hendaknya dijadikan evaluasi bagi pemerintah mengenai perlu tidaknya mengevaluasi atau mengubah kurikulum atau sistem pendidikan kita selama ini. Sehingga ke depannnya kita tidak lagi mendengar siswa yang stress, putus asa, juga bunuh diri karena tidak lulus ujian Nasional, ataupun UNPK. Dan yang menjadi catatan penting, ujian yang sesungguhnya adalah ketika kita terjun dan berada dalam masyarakat, dimana apa yang kita dapatkan dalam pendidikan kita diaplikatifkan.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda