Hak Mempertanyakan Tuhan
Jauh sebelum agama-agama samawi datang ke indonesia, masyarakat Indonesia sudah memiliki semacam kepercayaan dan agama sendiri yang orang menjalankan itu dengan penuh keyakinan. Khasanah luhur dan kaidah-kaidah kehidupan itu masih bisa kita jumpai ketika kita mengunjungi gunung-gunung di seluruh negeri ini. Akan ada upacara-upacara keagamaan,juga acara-acara kemasyarakatan yang berkaitan dengan tradisi yang diwariskan untuk menjaga keseimbangan alam. Bagi sebagian orang,tentu ini akan menjadi bermasalah ketika dihadapkan dengan persoalan agama dan keyakinan. Bahkan mereka menilai upacara dan ritual tradisi mereka adalah bid’ah, mitos, dan lain sebagainya. Padahal negeri kita pun sangat kaya dan dibangun oleh mitologi yang hidup di masyarakat. Sayangnya tak banyak agamawan atau intelektual yang kemudian meneliti dan mengkaji lebih jauh mitos itu sehingga tak lagi menjadi mitos tapi menjadi pengetahuan yang sangat lentur jika diperbincangkan. Pengetahuan terbuka terhadap kritik, terbuka terhadap segala interpretasi akademik.
Di era modern saat ini, negara menjadi gagap dan latah menanggapi persoalan dan isu-isu yang berkaitan dengan persoalan agama dan persoalan ketuhanan. Meskipun negara sudah menjamin warganya untuk memeluk agama dan menjalankan keyakinan dan agama tersebut, dalam pasal 29 UUD 45 ternyata tak mampu menjadikan negara sebagai pengayom yang baik dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Hak asasi manusia yakni dalam memeluk agama belum mampu diberi payung dan jaminan ketentraman dan kenyamanan bagi pemeluk agama dan keyakinan itu. Kita mengikuti persoalan ahmadiyah, kasus lia eden, hingga kasus paling modern yang berkaitan dengan keyakinan atau hak seseorang dalam beragama yakni kasus Alexander Aan.
Ini menunjukkan ternyata masyarakat kita tidak mau mengkaji ulang sejarah bangsanya ketika jauh sebelum masuk agama-agama samawi. Persoalan agama adalah persoalan pribadi dan kerajaan pada waktu itu hingga masyarakatnya sangat toleran. Data-data dan fakta ini bisa kita temui justru di penelitian para sarjana-sarjana barat yang mengagumi dan takjub akan khazanah dan kekayaan Indonesia. Dokumentasi prof. santos ilmuwan jepang yang mengkaji bahwa negeri ini adalah pusat lahir dan berkembangnya kebudayaan atlantis membuktikan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang berbudaya. Kita juga menemui dalam catatan Raffles dalam history of java, yang memberikan catatan paling komprehensif bagaimana negeri ini berkembang setelah kolonialisasi.
Pertanyaan Alexander aan yang ditulis Koran tempo(1/3/12) bertajuk “Ateis membawa Alex ke penjara”menjadi sesuatu yang ironi. Apakah negara berhak mencampuri persoalan pribadi dan juga persoalan keyakinan seseorang?, bagaimana ketika dibenturkan dengan kewajiban negara melindungi segenap warganya dengan berbagai keyakinannya yang dijamin undang-undang?. “Tuhan dimana”?,”Tidak ada Tuhan”,Dimana Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menyeret alex masuk penjara. Kita mengetahui pencarian tuhan dalam ajaran-ajaran agama tidak berhenti dalam satu waktu. Hampir semua agama-agama samawi, nabi-nabi mereka mengalami proses pencarian tuhan itu sendiri. Lalu dimanakah letak dan posisi agama jika dihadapkan dengan persoalan yang cukup pelik yakni aturan yang dibuat manusia sendiri yakni UU?.
Pertanyaan alex sebenarnya adalah pertanyaan kita semua, mengapa ada agama jika memang kejahatan dan juga kemanusiaan tak kunjung menemui jawabannya?. Pertanyaan alex pun relevan dengan apa yang dihadapi bangsa ini, dimana tuhan? Ketika semua agama dan manusia beragama tak mampu menyelesaikan persoalan justru semakin membuat dunia ini tak nyaman dan semakin marak kejahatan?
Tulisan Soe tjen marching di Jakarta Globe yang berjudul “Who are the atheists in indonesia?” menunjukkan beberapa persoalan penting mengapa kita masih ribut pada persoalan atheis dan theis?. Ia mengatakan : “Dengan kata lain, orang beragama adalah ateis ketika dihadapkan kepada tuhan dari agama lain”. Jadi kita semua adalah atheis jika ditentangkan dengan keyakinan lain karena tuhan kita berbeda. Jika memandang apa yang dialami alex aan, kita menemui ada semacam kerancuan atau sesat pikir oleh negara yang justru tak bisa memahami bagaimana alex yang mempertanyakan keyakinannya sendiri.
Mencari Keadilan
Jika apa yang dialami Alex dan juga berjuta-juta orang yang melakukan pencarian dan permenungan tentang ketuhanan di Indonesia harus memasuki sel penjara, lalu dimana letak keadilan sebagai warga negara maupun sebagai individu yang memiliki hak asasi untuk meyakini agama tertentu dan juga menjalankan keyakinan agama tersebut?. Bagaimana mungkin jika seseorang memeluk agama tapi tak mendalami siapa yang disembah? Untuk apa menyembah? Dimana yang disembah?. Alangkah naifnya jika keberagamaan kita tak memahami persoalan dan substansi kita beragama.
Kita rasa-rasanya perlu belajar kembali persoalan demikian dari presiden pertama kita yang ditulis dalam disertasi berhard dahmn. “Islam yang hanya bisa hidup apabila dilindungi atau didukung oleh negara,bukanlah islam”. Sukarno memahami betul, agama apapun itu yang hanya bisa berkembang bila dilindungi payung negara, ia bukanlah agama.Pernyataan keras sukarno relevan hingga kini jika dihadapkan dengan kasus Alex aan. Alex aan beragama islam dalam KTP-nya, tapi jika ia mempertanyakan keyakinannya ulang, tak ada salahnya. Sesuai dengan ajaran islam pula “tak ada paksaan memasuki agama islam”. Jika ada umat islam yang merasa terhina, dan menggunakan payung negara, tak ada salahnya kita tengok ulang dan pelajari kembali substansi ajaran islam sebagaimana yang diucap sukarno, sebab agama tak bisa hanya dibatasi dengan aturan negara, tapi negara berhak memberikan kebebasan dan menjamin warganya untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaannya. Atau pernyataan dalam agama islam yang ada alam Al-qur'an yakni "bagiku agamaku bagimu agamamu". Lalu dimanakah keadilan bagi alex, atau keadilan bagi seorang atheis secara umum. Jika memang di negeri ini ternyata para atheis belum sepenuhnya bisa menjalankan keyakinannya atau melanjutkan pencarian spiritualnya?.
*)Penulis adalah aktifis IMM SOLO, presidium kawah institute indonesia
*)Tulisan hadir di SOLO POS jumat 16 maret 2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda