Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Februari 26, 2012

Bahasa adalah Gerak???




Oleh AS yudistira*)



1/


Kita yang membaca bahasa, atau bahasa yang membaca kita(afrizal malna). Begitulah afrizal mengawali perbincangan tentang bahasa dua tahun lalu di balai sudjatmoko. Ia berkisah tentang memori, nostalgia hingga kehidupan kecilnya, hingga kesukaannya akan seni di masa kecilnya. Ia menonton wayang di masa kecilnya pula. Ia mendengarkan ibu melafalkan huruf-huruf hijaiyah. Dan ia akhirnya sampai pada sekolah tinggi driyakara. Aku mengingat kata-katanya beberapa tahun lalu : “aku menyukai pelajaran semua pelajaran hingga aku mengikuti dan memahaminya, tapi sayang aku tak suka ujian”. Bahasa itu lahir dari pengalaman, konon ia mengaku penyair tak perlu biografi yang membentuk bagaimana ia harus berkata-kata. Bagaimana ketika kelak ia ditanya seperti itu, Jakarta tak punya bahasa ibu,tak punya latar belakang utuh, Jakarta dicipta dari keterpecahan. Dari pecahan-pecahan itulah kebanyakan orang menilai puisi afrizal sebagai puzzle yang perlu disusun kembali dalam bentuk bahasa.pengalaman itu pula yang dituturkan dalam pengakuannya bahwa puisinya kadang sulit untuk sekali atau kedua kali jadi, ia sering membakar puisinya, ia lebih bisa menikmati puisi orang lain. Hingga pada menggunting,memotong, menyimpan, memendam puisinya. Maka jangan heran, kalau puisinya sering dilihat dan dinilai para kritikus atau sastrawan lain sebagai keterpecahan yang tersusun, atau justru tak tersusun, melainkan keterpecahan yang terbelah dan tak pernah utuh.


2/


Rumah.bagaimana menanggapi esai panjangnya yang bertajuk “rumah kata”. Ia palingtidak menyimpulkan bahasa adalah rumah. Dirumah itulah ia mencipta kebiasaan, kesejukan, dan terkadang perasaan-perasaan yang tak terbahasakan. Melalui pengakuannya ketika ia di ubud, pertemuan dengan hera hingga ia kembali lagi dari ubud. Kembali kerumahnya, dirumah itulah, hingga ia melakukan aktifitas rumah,rasanya ia tak lagi memperlakukan bahasa sebagai penjaranya. Saya membaca rumah adalah bahasa itu sendiri. Bahasa ada di dalam rumah, dalam rumah tercipta bahasa. Mengenai cerita-cerita pensil-pensil dan kisah yang tak utuh tentang memori kertas, menulis puisi ia seperti memberikan pengakuan bahwa puisi-ku bukan untuk umum. Ia tak pernah membayangkan ketika puisi memasuki rumah-rumah bahasa yang lain. Bahasa menjadi makin ruwet, tak karuan, dan menemui interpretasinya sendiri-sendiri. Bahasa afrizal jadi luas, jauh, dan bergerak.Inilah ungkapan dia yang pernah direkam fahrudin nasrulloh dalam sebuah roadshow puisinya tentang rumah :
“Saya selalu merasa takut kehilangan kebebasan saya, termasuk kebebasan untuk tidak menulis puisi. Dan, saya merasa tidak cocok dengan apa itu keluarga, jadi saya tinggalin keluarga. Saya tidak tahu kuburan ayah ibu saya di mana. Jadi, saya sendirian. Saya pernah berkcluarga sekali, setelah itu pisah. Pisah itu membuat saya trauma. Sampai sekarang saya tidak punya rumah karena di kepala saya masih aneh, kenapa orang harus punya rumah. Karena saya berpikir orang harus berjalan dan dia tidak bisa berjalan kalau punya rumah. Kecuali dia seperti keong, yang rumahnya adalah kendaraan untuk dia berjalan
.”Saya pernah sangat absurd kalau masuk rumah. Maka, muncul banyak imaji ruang tamu dalam karir kepenyairan saya. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi.
Saya justru cemas kalau saya tetap menulis puisi, padahal saya nggak punya alasan untuk menulis. Sehingga, puisi tiba-tiba menjadi kayak penyakit, harus ditulis terus-menerus. Saya melihat, hidup itu sangat luas jika dibandingkan dengan puisi. Setelah itu saya meninggalkan Jakarta menjadi the other
. Saya senang jadi the other, hanya jadi seseorang. Dekat dengan kegiatan sehari-hari, menyapu dan menyiram tanaman."

3/


Tubuh dan bahasa. “membaca mengapa harus membaca? Menulis mengapa harus menulis?”, ………………….aku bermimpi menjadi manusia. Kata itulah yang terngiang ditelingaku. Kata itu seperti pengalaman manusia kebanyakan ketika mengalami pencarian, menemui awal ia lahir di dunia, mama, bapa, ibu, ayah. Kata itulah yang tanpa sadar mencipta dunia kita. Tubuh tiba-tiba jadi bahasa yang dikenalkan ayah ibu kita melalui bisikan dan kelembutan kasih sayang mereka. Tiba-tiba saja ketika afrizal sudah menuliskan “abad yang berlari” saya menemui kata-kata indah yang bersentuhan dengan tubuh perempuan. Oh,alangkah indahnya puisi persembahan. Saya menemui nama perempuan itu dalam esai panjangnya bertajuk “rumah kata” yang digunakan sebagai bekal sajian pertemuan kali ini. Lelampahan sastra, ini seperti bukan kebetulan ini lelampahan yakni perjalanan, perjalanan yang tak tahu kapan kapal ini akan dihentikan. Kata itu begitu indah, mungkin perempuan itu tak kalah indahnya.
“ ia adalah perempuan cantik, yang senyumnya seperti hendak melupakan dan berusaha menghilangkan kepenatanku yang melihat orang-orang sibuk melakukan kesibukan di kantor yang tak tahu untuk apa itu”
. Bos sekaligus wanita yang dikagumi itulah yang membuatku penasaran. Bukan karena narasi yang diceritakan, yang dari itulah mengalir kumpulan puisi afrizal. Demikian pujian untuk perempuan itu yang dituliskan dalam buku puisi “abad yang berlari”: “Hera, dengan kumpulan puisi ini, aku telah terus-terusan menciumi bibirmu”.


4/


Gerak.Tubuh yang bergerak, seni yang bergerak hingga puisi yang bergerak. Barangkali manusia sudah keras, membatu hingga sampai pada titik kulminasi terakhir mati rasa. Itulah yang tercermin dari bahasa yang tertulis dan dituangkan oleh radar dalam puisinya LALU AKU. Tapi puisi itu tak berhenti dalam kata, ia adalah tangkapan realitas, tangkapan kehidupan, tubuh,rumah hingga entitas lain yang ia sering sebut kebudayaan. Kerja ini harus terus berlangsung. Di puisi afrizal pun kata-kata yang tertuang dalam puisinya tak hanya diam, judul-judul puisinya seperti di puisi-puisi yang muncul beberapa tahun ini di kompas “kartu identitas penduduk di china”, “antri uang di bank”, “batu dalam sepatu”, “khotbah di bawah tiang listrik” “kesepian di lantai 5 rumah sakit””Bau Air Mata di Bantal Tidurmu” “Sebutir Telur di Belakang Punggungku””Aku Baru Saja Mengepel Lantai” “Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku” “Kamar yang Terbuat dari Laut”.Entahlah, saya hanya sekadar membaca sebatas dan setapal kemampuan saya. Mengapa harus membaca? Mengapa harus menulis? Paling tidak pertanyaan itulah yang mengganjal. Maka sebagaimana kesimpulan sementara saya bahwa puisi adalah tubuh dalam rumah yang terus bergerak. Manusia tak mungkin bisa dilepaskan dari rumah. Rumah itulah tubuhnya ,rumah itulah yang bersuara, mengucap khotbah, hingga mendefinisikan kata dan pengertian-pengertian. Bahasa adalah gerak yang berjalan bersama tubuh penyair itusendiri, entah ia akan menghasilkan keterpecahan, kebuntuan, mencipta keterasingan, kebersamaan hingga pada kepedulian. Lalu sampai dimana kini gerak itu, ketika afrizal menjalani lelampahan sastra kali ini bertajuk biografi dan puisi?.
Apakah bahasa sudah jadi gerak yang terhenti? Ataukah puisi dan bahasa afrizal masih bergerak dari penyair terdahulu hingga penyair terkini dari chairil anwar hingga penyair gunawan yang puisinya beberapa lalu keluar di kompas. “Tamasya di selat sunda” untuk Gunawan muhamammad.
Apakah ia akan berhenti untuk menulis puisi-puisinya? Membakar puisi-puisinya? Atau sebagaimana dalam “rumah kata”nya “Kerja yang rasanya tidak pernah selesai,dan tidak tahu harus selesai dimana”? dan pernyataan dia sendiri : “puisi seperti kerja untuk menggerakkan apa yang sedang aku pikirkan menjadi bunyi”,atau dari kalimat lain “rasanya ada kereta yang terus bergerak dalam sapu tangan” dan “selalu ada yang aku kerjakan”.
Bahasa adalah gerak???benarkah demikian???atau sebaliknya ia masih tetap penjara :”kata-kata masih mengikatku”….entahlah…

Dan mengapa pula ada gerak yang ada dalam puisiku tentangnya yang harus aku tuliskan untuk menunjukkan betapa gerak tubuhku telah mengantarkanku pada kekaguman pada tubuh-nya(afrizal)hingga pada judul puisinya yang unik dan melukiskan gerak :”suara dari kaca yang berjalan”

Maka ijinkan kututup tulisanku ini dengan puisi untuknya (afrizal malna)

Perjalanan Panjang

untuk suara dari kaca yang berjalan


Aku menemuimu dengan panjang berkilo-kilo meter, hanya untuk mendengarkan suara dari kaca yang berjalan
Aku mengorek isi dompetku hingga tak tersisa, demi melihatmu mengelus kepalamu yang mirip suara dari kaca yang berjalan,
Aku mendatangimu, seakan-akan telah rindu bertahun-tahun tak menemukan wajahmu,tubuhmu, dan juga senyummu yang cukup kharismatik
Sungguh aku berjalan berkilo-kilo meter untuk membawa tubuhku pulang
dan menantikan mimpi-mimpi menghujam kepalaku
yang berkesan dari suara kaca yang bergelantungan~


*)penulis mahasiswa UMS, nyantri dan belajar di bilik literasi. Tulisan ini adalah sajian lelampahan sastra serial 1. bersama afrizal malna---

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda