Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, Desember 26, 2011

Kerja Kata Mencipta Peradaban

Oleh arif saifudin yudistira*)


Sudah menjadi ghalibnya manusia berkata-kata. Kelahiran seorang bayi di dunia ini dinanti-nanti ketika manusia mengucapkan kata-kata. Dari kata-kata itulah kita mengenal kosakata yang pertama di dunia ini. Ayah, ibu, mama, papa, bu, pa dan lain-lain. Mengapa ibu dan bapak adalah kosakata yang pertama di dunia ini, sebab dari rahim merekalah kita mengenal peradaban manusia itu lahir. Keluarga tanpa kita sadari adalah mikro kosmos dari makro kosmos dunia dan seisinya ini. Dari keluarga itulah keterampilan berbahasa mempengaruhi bagaimana kerja kata dan cipta bahasa lahir.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, kebudayaan pun dihasilkan dari berbagai kata-kata yang berhamburan. Hingga manusia sadar kata-kata mesti diabadikan dan dituliskan. Meski terkadang kekuatan pikiran dan budaya manusia tidak mampu dituliskan dalam sejuta kamus dan pengertian. Penulisan kata-kata justru hadir menghentikan, menyempitkan dan mengunci pengertian dan makna dari kata-kata tersebut. Ini bisa jadi kemajuan atau sebaliknya kemunduran. Kita selalu lambat dan gagap menangkap berjuta kata yang berseliweran dihadapan kita. Sebab itulah, manusia memiliki keterbatasan dalam menafsir begitu cepatnya dan begitu kompleksnya perubahan budaya manusia.

Dalam sejarah awal manusia, kata-kata pula yang membedakan kapasitas manusia dengan makhluk lainnya dihadapan Tuhan. Manusia mengenal dan memiliki nama-nama semua yang ada diajarkan Tuhan, sedang iblis tak sanggup untuk itu. Maka tak heran, gen tersebut diwariskan adam hingga pada kita semua selaku keturunannya yang memiliki kelebihan berbahasa yang membedakan manusia dengan hewan. Begitupun munculnya berbagai ideologi-ideologi besar dan mahzab pemikiran besar yang muncul di dunia kini berasal dari pemikiran dan kata-kata sederhana. Co gito ergo sum, misalnya adalah kata-kata dari descrates. Ia tak sadar bahwa kata-katanya akan memenuhi ruang-ruang diskusi dan dituliskan hingga kini. Spirit dan etos buruh yang kerap hadir dengan ketertindasannya muncul dengan berbagai problematikanya dituliskan dengan kata-kata sederhana dalam puisi widji thukul ; hanya ada satu kata :lawan!.

Kata adalah senjata, begitulah yang biasa dikatakan oleh para jurnalis. Para musisi menggunakan kata sebagai alat untuk mengingat nostalgia dan kenangan masa lalu, selain untuk membahasakan kerja perlawanan lewat lagu. Dunia tanpa sadar dicipta oleh kata, kun faya kun, adalah kata-kata dari Tuhan yang mencipta dunia ini. Bagaimana kemudian kita sebagai manusia bisa meremehkan kata dan kerja kata?. Presiden ceko-slovakia Vaclav havel pernah menuliskan esai yang berjudul “kekuatan kata”. Baginya kata bisa memancarkan harapan besar, atau sebaliknya mengirimkan seberkas kematian. Kata bisa membuat penulisnya hidup, atau sebaliknya mati di tiang gantungan.

Kata, buku,dan kita

Untuk apa berkata-kata jika tak abadi nasibnya, pesan itu yang disampaikan oleh pramudya ananta toer dalam beberapa karyanya. Ia mengutip kartini, “menulis adalah kerja keabadian”. Siapa yang lebih mulia dari ahli kitab yang menuliskan kitab-kitab agama di dunia ini, serta menjadikan kata-kata itu lentera bagi umat manusia. Kita tak bisa membayangkan seandainya kitab-kitab itu tidak dituliskan?. Ilmu modern dan kebudayaan kita sekarang muncul karena jasa para ilmuwan yang menuliskan penelitiannya di waktu dahulu.

Maka buku adalah kumpulan kata-kata,yang menyapa berjuta pemikiran, berjuta respon dan kata-kata dari pembaca, buku-buku menjadi antologi kehidupan yang terangkum dalam bentuk puisi, cerpen, novel, ataupun essai. Dan tiba-tiba saja, dunia modern menyediakan wadah yang sangat akrab dan intens dengan kita melalui facebook, twitter, dan juga media sosial lainnya. Media tersebut tak lupa menawarkan kita untuk sekadar berceloteh atau berkata-kata.

Tak jauh berbeda dengan “puisi” yang dimaknai sebagai pencapaian estetika bahasa manusia. Di puisi itulah tersirat cerita, riwayat, lelucon, dan segala tentang kehidupan kita. Oktavio paz membandingkan pasar dan puisi, pasar tahu segalanya tentang harga,namun tak tahu apa-apa tentang nilai. Puisi itulah yang meriwayatkan nilai-nilai itu. Puisi bergerak dari mulut-ke mulut, seperti udara dan air, nilai dan manfaatnya tak dapat diukur.

Kerja

Intensitas, spiritualitas, dan religiositas adalah hal yang tak bisa dianggap sepele dari kerja seorang penulis. Penulis menyimpan tulisan dengan kerja pikir dan dzikir yang tak semua orang melakoni itu. Dari kerja pikir dan dzikir itulah penulis mesti dihargai karena jasa-jasanya telah menuliskan yang berjalan cepat yakni kata-kata.

Nasib pengarang dan penulis tak seindah yang dibayangkan. Banyak penulis yang menekuni kerja kata memperoleh penghargaan, pujian atau nobel gara-gara kepenulisannya. Tapi banyak juga penulis yang sengsara dan tak berdaya menunggu dengan sabar kata-kata menemui pembacanya dan menemui penggemarnya. Sebagaimana yang pernah dituliskan jokpin “Pengarang, engkau sungguh sabar menunggu ide yang tanpa kabar. Dirimu sangat percaya diri, meskipun karyamu tidak banyak terbeli. (Paska WW, Bobo,
27 November 2003).

Menekuni kata dan menuliskannya serta menjadikannya sebagai kerja yang tak pernah selesai adalah laku dan spirit penulis. Menulis adalah kerja kata yang mencipta peradaban. Sebab dari tulisan itulah kelak tercipta perilaku, kebudayaan serta aktifitas manusia melalui pengejawantahan dan tafsir kepenulisan.

Kartini memaknai kerja kata ini dengan kalimat yang indah: “ Tahu kenapa aku mencintaimu? Karena engkau menulis. Menulis adalah kerja untuk keabadian”.Maka menekuni kerja kata melalui aktifitas membaca, serta mengabadikannya lewat tulisan adalah kerja yang mesti kita tekuni bukan untuk mencari puji dan pamer akan diri, tetapi lebih dari itu, untuk memuliakan diri, mengekalkan makna, dan mencipta dunia dengan kerja kata itu pula kita akan menemukan peradaban kita.

*) Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di Bilik Literasi Solo,


*)Dimuat di Radar surabaya , 25 desember 2011

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda