Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Selasa, Desember 13, 2011

Negara Tanpa Politik Pangan




Oleh arif saifudin yudistira*)


Negeri ini dikaruniai dengan berbagai kekayaan dan sumber daya yang begitu besar. Hanya saja kekayaan dan sumber daya tersebut cenderung tidak dikelola dengan baik, atau tidak ada kemauan untuk mengelola kekayaan dan seumber daya tersebut dari negara. Negeri ini semakin lama semakin bergeser ke arah Negara industrial, kota-kota semakin menyempitkan lahan pertanian,sehingga pabrik-pabrik di kota-kota besar menggusur dan semakin merampas tanah pertanian kita. Konsekuensi yang dihasilkan adalah hilangnya kedaulatan pangan, ketahanan pangan, dan tak ada politik pangan.

Lihatlah betapa logika pemerintah kita yang mencoba menyelesaikan persoalan pangan dengan cara-cara yang sangat pragmatis, dan hanya sebatas pada ketahanan pangan. Asumsi yang muncul hanya pada bagaimana kebutuhan pangan terpenuhi, bukan pada aspek pangan adalah hak setiap warga, dan petani wajib sejahtera. Yang menyedihkan lagi data statistic kita menunjukkan petani gurem kita jumlahnya 14,029 juta rumah tangga, atau sekitar 56,4 persen dari total 24,869 juta petani(Kompas,2/12/11).

Logika yang salah dari penyelesaian persoalan pangan adalah tak ada politik pangan yang menyadarkan kita bahwa alat produksi bagi petani adalah penting. Sebab alat produksi itulah yang akan menjamin kehidupan petani-petani kita. Yang ada hanyalah politik pemenuhan kebutuhan pangan. Pemerintah melalui BPN akan memanfaatkan tanah yang terlantar sejumlah 850.000 hektar yang ada di 31 propinsi untuk lahan pertanian(kompas,2/12/11).Dari situ kita bisa melihat bagaimana mungkin kebijakan itu bisa dimaksimalkan,sementara tanah terlantar belum tentu produktif semua.

Involusi pertanian Geertz

Meski konsep Geertz belum bisa kita adopsi sepenuhnya, konsep tentang “involusi pertanian”yang akhirnya menghasilkan shared poverty patut kita cermati. Sejak Sistem colonial yang menerapkan intensifikasi pertanian karena ekstensifikasi pertanian yang tak memungkinkan lagi, dan membagi-bagi lahan tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan kemiskinan bersama. Persoalan lain adalah system tebasan yang memperparah jurang sosial bertambah parah.

Penelitian geertz penting untuk menarik kesimpulan bahwa kebijakan pertanian kita ternyata tak jauh beda dengan colonial, bahkan lebih parah lagi. Reforma agraria cenderung diabaikan dan tak berfihak dengan logika liberalisasi yang semakin masuk dalam kebijakan Negara. Anehnya, politik liberalisasi pertanian ini justru masuk dalam konstitusi Negara kita melalui produk RUU pangan. Maka pemerataan lahan bagi petani adalah mustahil, karena tak ada politik dari Negara untuk mensejahterakan petani kita.

Liberalisasi pertanian

RUU pertanian yang dibahas di DPR justru memberikan penjelasan kepada kita, bahwa tumpuan pangan nasional kita masih pada produksi dan konsumsi beras sehingga swasta dibebaskan bermain di pasar dan impor sejalan dengan produksi. Dalam rancangan undang-undang ini, pasal 15 disebutkan logika impor dibenarkan, tapi tak ada bagaimana strategi pengaturan cadangan pangan belum diatur. Ini penting agar spekulan dan para pengusaha tidak memainkan harga dalam pasar.Negara perlu mengatur kebijakan harga dalam pangan.

Pasal 48 memberikan sinyalemen liberalisasi pertanian. Di pasal tersebut memberikan peluag bagi para investor dan para spekulan, karena kebijakan pangan kita dikaitkan dengan bagaimana investasi berjalan. Jika orientasinya untuk menghindari inflasi, maka kebijakan pangan justru kehilangan tujuan semula yakni mensejahterakan petani dan mewujudkan kedaulatan pangan jadi tersingkirkan.

Selain itu, perlu bagi Negara untuk mengatur lebih lanjut bagaimana perencanaan, pengendalian harga, pengembangan penelitian dan penentuan harga tidak boleh dilepaskan dari bagaimana Negara berperan dalam kebijakan pangan kita.Sehingga pasal 10 dalam RUU ini belum jelas siapa yang berperan dalam berbagai kebijakan ini. Karena, jangan sampai para spekulan dan swasta besar yang justru memiliki andil lebih besar.

Land Grabbing

Praktik land grabbing-penguasaan tanah dalam luasan besar di tangan satu dua orang,termasuk asing justru dihalalkan oleh pemerintah melalui UU no.25 tahun 2007. Melalui peraturan presiden nomer III tahun 2007 membolehkan kepemilikan modal asing sampai 95 persen pada budidaya pertanian tanaman pangan. Meskipun, MK telah membatalkan pasal 22 yang mengizinkan penguasaan lahan hingga 90 tahun.

Land-grabbing ini tak hanya Nampak pada bagaimana tak ada keberfihakan pada petani gurem, tapi yang lebih Nampak adalah ketika Negara merampas tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan utamanya di tanah jawa yang makin sempit. Pembangunan tol, pembangunan perumahan, dan juga pembangunan perluasan jalan. Hal ini menunjukkan bahwasannya cita-cita kebangsaan kita dalam rangka menegakkan pasal 33 ayat 2 :“bumi,air, dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara”semakin tak terlaksana.

Jalan yang memungkinkan tak lain adalah segera melaksanakan reforma agraria yang mesti harus berkonfrontasi kembali dengan kepentingan asing dan para pemodal. Kebijakan ini tentu membutuhkan kepemimpinan yang tegas untuk menegakkan politik pangan kita. Mungkinkah kebijakan ini bisa dilaksanakan oleh pemimpin negeri kita?. Rasanya akan jadi mustahil,sebab negara ini memang tak ada politik pangan yang jelas untuk mewujudkan dan menegakkan kedaulatan pangan.

*)Penulis adalah mahasiswa Universitas muham,adiyah Surakarta, presidium kawah institute Indonesia

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda