Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, November 20, 2011

Dunia Politik Yang tak Puitis


arif saifudin yudistira*)

Dunia politik di negeri ini seperti sedang menunjukkan wajah aslinya. Betapa kita disuguhi fenomena yang membuat drama, tragedy, peristiwa politik dalam keseharian kita menjadi catatan yang lalu lalang begitu saja layaknya laju kendaraan yang menghilang dalam sekejap pandang. Negara saat ini tidak lagi bisa mengatur kebusukan, kelemahan system, dan rahasianya menjadi bahasa-bahasa yang puitik sehingga tak tampak lagi keburukan dan kebusukannya.

Meskipun dengan berbagai cara baik melalui menghadirkan layar semu dalam dunia perpolitikan kita, ternyata rakyat sebagai objek yang dibohongi dengan fenomena-fenomena yang menipu sudah terbiasa dengan retorika politisi kita yang sama sekali tak menyentuh hati rakyat kita. Politisi kita tak pandai mengolah kata dan rasa sebagaimana para penyair melakukan itu, sehingga mereka tak bisa mengungkapkan peristiwa, fenomena atau bahkan rahasia mereka melalui bahasa-bahasa simbolis yang indah.

Dunia puisi tak jauh berbeda dengan dunia politik. Politik mengurusi masalah social, sedang puisi melibatkan kata dan rasa untuk menghasilkan bahasanya sendiri. Politisi yang tak puitis maka akan berkomentar dengan melihat fenomena dan fakta sebagai sesuatu yang tampak di depan mata. Lihat betapa di negeri ini kita sering melihat politisi kita kehabisan kata-kata ketika diwawancarai wartawan terkait perkara korupsi dan sebagainya. Mereka kehilangan bahasa mereka, atau gagap mengungkapkan bahasanya.

Puisi menciptakan seni berbahasa yang membedakan orang yang memiliki kemampuan memadukan antara rasa dan kata ke dalam bahasa yang lain. Ketika seseorang memiliki kemampuan puitis ini, maka imajinasi bisa menjelma dalam kehidupannya. Sedang sensitifitas tetap ada dalam dirinya. Sebab sensitifitas itulah yang akan memberikan inspirasi bagi mereka menciptakan dan menciptakan lagi karya dalam bentuk statement, komentar, atau tanggapan sebagaimana yang dilakukan para politisi kita.

Politik dan puisi adalah art(seni) yang membutuhkan keterampilan dan proses yang panjang hingga mencapai puncak estetikanya masing-masing. Puncak estetika politik sebagaimana yang dikatakan aristoteles ialah pencapaian kebajikan untuk umat manusia. Sedang puncak estetika puisi bisa ditafsirkan dengan berbagai pandangan.

Ideologi

Di dalam kita berpuisi pun memerlukan ideology sebagai satu fondasi atau motif yang mendasari para penyair membuat puisi. Ideologi ini sempat mengalami polemic antara sastra untuk rakyat, atau sastra humanisme universal. Melalui lekra dan manikebu itulah para sastrawan kita menyatakan motif mereka masing-masing.

Akan tetapi ketika melihat kondisi politik di negeri ini sepertinya kita sudah kehilangan ideologis. Para politisi kita memburu harta dan tahta untuk kepentingan pribadi dan partainya, seolah-olah kekuasaan adalah milik partai politik digunakan untuk partai politik, dan kembali untuk kemakmuran anggota partai politik. Demokrasi seperti inilah yang saat ini menghiasi bumi pertiwi kita. Sehingga demokrasi criminal inilah yang direproduksi, dan dimanipulasi untuk melanggengkan politik rente.

Di masa orde lama, puisi adalah politik. Politik pun menggunakan bahasa yang puitis. Orde lama memungkinkan rakyat berbicara politik, sebab politik adalah kerja yang digaungkan dan digelorakan untuk menciptakan persatuan. Begitupun puisi adalah metode dan cara untuk menggairahkan politik dengan tujuan sarana pencapaian revolusi.

Berbeda dengan orde baru, politik dan puisi adalah sama hal yang tak boleh dibiarkan lama hidup dan tumbuh di negeri ini. Hingga dunia politik menjadi dunia yang penuh terror dan mencekam. Orde baru mematikan puisi-puisi rakyat, sehingga penuh dengan ketenteraman, kedamaian tapi penuh dengan was-was. Orde baru memaknai politik dan puisi adalah titah sang presiden sehingga rakyat tidak diberi kebebasan untuk melakukan perlawanan terhadapnya.

Kritik

Di era pemerintahan SBY kini, puisi jadi bertebaran di mana-mana sebagai sarana untuk mengungkapkan kekesalan, kegaduhan, ketidakpuasan, dan kegagalan pemerintah kita. Puisi hadir dari aktifis adi massardi dengan judul “negeri para bedebah”. Tidak hanya itu, lirik dari bona naputulu yang berjudul “andai aku gayus tambunan” adalah kritik akan bobroknya hukum di negeri ini.

“Seperti para koruptor” adalah puisi kritik dari Slank yang menggambarkan betapa korupsi telah menjadi subur di negeri ini. Puisi-puisi dan syair-syair ini menghadapi resiko dan juga tantangan bagi para pelantunnya. Sebagaimana pengakuan bona yang mendapatkan terror yang mengganggu. Puisi dipilih karena memiliki nilai estetika yang tinggi, tapi menohok. Kehadiran puisi inilah yang menjadi bukti bahwa para sastrawan, budayawan dan para kritikus untuk melancarkan kritiknya pada penguasa.

Barangkali itu pula alasan taufik ismail mengirimkan puisi peringatan dan kritik terhadap pemerintahan SBY pada hari ulang tahunnya(9/9/2011) Inilah kutipan puisi taufik ismail : …..Karena sepanjang sejarah negara kita belum pernah ruwetnya masalah yang membelit bangsa seruwet sekarang ini. Artinya kompleks masalah yang dihadapi oleh bangsa ini.

…….kita hidup di zaman ketika perilaku bangsa mulai berubah, sedikit-sedikit tersinggung, acung kepalan dan marah-marah lalu merusak, membakar dan menumpahkan darah,menggoyang-goyang pagar besi.

..Bukan kepalang beban tanggung jawab yang anda pikul lebih berat dari zaman-zaman sebelumnya, jauh jauh lebih berat, bersihkanlah yang kotor-kotor dari pemerintahan anda. Puisi dan politik sebenarnya saling berhubungan erat. Puisi adalah sarana yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang berbau politik. Gesekan antara puisi dan politik tetap akan terjadi di negeri ini sebab manusia memerlukan bahasa symbol untuk melakukan sesuatu. Yang terjadi kini, adalah politik yang kehilangan bahasa puitisnya. Sebab politisi kita tidak mampu mengemban dan menunaikan tugasnya layaknya para penyair yang memadukan rasa dan kata. Maka tak heran, dunia politik kita sama sekali tak puitis hari ini.


*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Bergiat di Kawah institute indonesia

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda