Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Oktober 23, 2011

Menimbang Efektifitas Gerakan Gender




Oleh arif saifudin yudistira*)

Saya sayang kepada perempuan,saya menaruh perhatian besar kepada nasibnya, karena dia tidak dihargai,dan ditindas seperti yang masih terdapat dalam banyak negeri di dalam abad terang ini”(Surat Kartini kepada NY abendanon-mandri dan suaminya)

Perempuan setelah abad 19 pasca revolusi industry, membawa mereka bermigrasi ke ruang public dengan menunjukkan eksistensinya memasuki dunia kerja, ternyata harus dibayar mahal dengan berbagai resiko dan perjuangan yang cukup panjang. Bahkan hingga kini, perempuan adalah objek yang sangat massif bagi dunia industry. Hadirnya industry menghidupi perempuan namun tanpa sadar menjadikan ia mangsa yang empuk bagi penjajahan cultural dan ideologis. Betapa kita dilihatkan fenomena di kota-kota besar, perempuan dengan profesi sebagai sekretaris, buruh pabrik, dan juga artis mereka mau tidak mau dihadapkan pilihan yang sulit antara materi dengan persoalan tubuhnya. Sehingga dari cara bergaya, cara berpakaian dan aturan dunia industry menuntut mereka tampil erotis.

Institusi atau lembaga perusahaan kerap menuntut budaya penertiban dalam bentuk pakaian seragam para buruh wanita ini, juga para pekerja kantoran dengan dalih modernitas, profesionalitas, dan perempuan tetap menjadi objektifikasi bagi kebijakan perusahaan. Persoalan tubuh perempuan tentu tidak bisa kita lepaskan dari dunia industry, kapitalisme, dan juga budaya masyarakat kita. Di china beberapa bulan lalu ada seorang berganti pakaian di kereta api toh tidak menimbulkan sesuatu apa.

Di barat, berpakaian seksi bahkan adalah kebiasaan mereka, tapi tidak menimbulkan persoalan yang merisaukan seperti di negeri kita. Ada apa dengan budaya masyarakat kita? Lebih lanjut ada apa dengan kebijakan pemerintah kita sehingga hal tersebut bisa terjadi?.

Patologi Cinta

Secara teoritik, freud menjelaskan ini dengan gamblang dalam bukunya Cilization and Its discontent. Disana ia menjelaskan ; “cinta dengan sasaran yang terlarang sungguh-sungguh penuh dengan cinta yang bersifat indrawi menurut asalnya, cinta ini begitu tenang dalam alam pikiran tak sadar manusia”maka cinta yang seperti ini adalah patologi, yakni sebagai sesuatu kemunduran pada keadaan “narsisme tak terbatas”.

Lebih lanjut Freud menjelaskan yang dituliskan kembali Erich Fromm dalam “The art of love “ : “Bahwa manusia didorong oleh suatu keinginan yang tak terbatas untuk penguasaan seksual terhadap semua wanita, dan bahwa hanya tekanan masyarakatlah yang mencegah manusia dari tindakan menuruti nafsunya”. Bagi Freud, tindakan pelecehan seksual, tindakan yang berorientasi pada nafsu hanya dapat diselesaikan oleh tekanan dari masyarakat dan pencegahan dari masyarakat kita. Ketika masyarakat menganggap ini sebagai sesuatu yang didiamkan, maka hasrat dan naluriah manusia tersebut justru semakin menjadi.

Ketika melihat kasus-kasus yang ada saat ini, perempuan menjadi korban kebijakan, dan menjadi korban nafsu lelaki, ini merupakan gejala patologi cinta yang mengakibatkan cinta jadi pelampiasan nafsu semata. Perempuan jadi sosok yang dijadikan pangkal persoalan, padahal mestinya sebab dan latar belakang kasus pelecehan seksual itu yang perlu kita lihat.

Belum efektif

Fenomena ini mengingatkan kembali kepada aktivis gerakan perempuan dan juga pemerintah, dan kita semua, bahwasannya gerakan pembebasan perempuan ternyata belum efektif di negeri ini. Diskriminasi gender, ketidakadilan terhadap perempuan masih saja terjadi di negeri ini. Meskipun UU pornografi dan porno aksi sudah ditetapkan, pemerintah belum mampu memblokir semua situs porno di negeri ini.

Selain itu, secara filosofis pornografi dipandang dari fisik semata,misalnya segi pakaian, sedangkan yang lebih fundamental adalah pembenahan masyarakat kita tentang budaya menghargai perempuan sebagai sosok yang sama dan setara sehingga keadilan gender bisa terwujud. Selain itu, pemerintah masih saja belum mampu menyeleksi tayangan-tayangan yang berbau erotis yang tiap hari hadir di layar kaca kita baik di dunia entertainment, advertising, dan dunia film kita yang mengumbar erotisme.

Kebersamaan

Ketika melihat fenomena diatas, Dr mansour fakih menyarankan dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan ; “ Segala bentuk yang merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan maka usaha menghentikannya secara bersama perlu digalakkan” Fakih menyarankan gerakan ini bisa dilakukan dengan mencatat kejadian di catatan harian, catatan harian ini akan berguna ketika diproses secara hukum. Menyuarakan uneg-uneg di kolom-kolom surat kabar, surat pembaca misalnya secara serentak, berdemonstrasi secara bersama-sama, atau menyuarakan opininya melalui media massa.

Gerakan ini akan lebih efektif untuk mengurangi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang sudah dipraktekkan di Negara maju dan juga sebagaimana yang dikatakan Freud : “bahwa hanya tekanan masyarakatlah yang mencegah manusia dari tindakan menuruti nafsunya”. Sehingga tidak lagi menempatkan perempuan sebagai pangkal persoalan dalam setiap kasus pelecehan dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Begitu.


*) Penulis adalah mahasiswa bahasa inggris, Universitas muhammadiyah surakarta, bergiat di kawah institute Indonesia







0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda