Saatnya Menegakkan Revolusi
Menggugat tulisan Saeful Achyar”mengenang revolusi kita”
Oleh arif saifudin yudistira*)
September yang baru saja berlalu memang bulan dengan dinamika sejarah yang tida kbisa kita lupakan begitu saja. Tulisan saudara saiful achyar pada hari selasa (27/9/11) dengan tajuk “mengenang revolusi kita”menunjukkan bahwa generasi muda kita saat ini lemah dalam memahami sejarah bangsanya. Akibatnya, sejarah bangsa kita difahami secara serpihan melalui nukilan-nukilan kata-kata mutiara para pendiri negeri ini sebagaimana yang dilakukan oleh saudara saeful achyar. Membaca sejarah sebagai potongan puzzle akan membuyarkan kompleksitas realitas historis negeri ini dan mengakibatkan kita buta dalam memahami sejarah. Oleh karena itu tulisan ini mencoba meluruskan hal tersebut.
John roosa menuliskan dalam bukunya Dalih pembunuhan massal bahwa teori kudeta ini mirip kudeta merangkak yang perlahan dan pasti mengkudeta pemimpin negeri ini, Wertheim pun dengan sindiran halus mengatakan : “Tidak mungkin angkatan darat tidak ada campur tangan”. Lebih lanjut john roosa mengulas ini dengan sebutan “Soeharto menggunakan politik simulachrum yang membuat seolah-olah terjadi pembunuhan kepada para jenderal-jenderal oleh gerwani dengan membuat simulakra melalui pembangunan sumur lubang budaya tanpa didukung data-data forensik sehingga menampakkan seolah-olah telah terjadi pembunuhan yang kejam sampai-sampai dilukiskan dengan pemotongan alat kelamin”.
Buku-buku tentang pemberontakan G30 S cukup memberikan gambaran terang siapa dibalik gerakan tersebut seperti buku G30 S yang ditulis Julius pour, John Roosa, juga yang pernah ditulis asvi warman adam akan memberikan gambaran yang cukup menunjukkan bahwa siapa dibalik dalang gerakan G30 S PKI ini.
Kesalahan memahami sejarah ini dituliskan dalam tulisan saudara Saeful dengan logika yang kacau dan salah kaprah. “Namun tampaknya politik devide at impera masih ampuh memberi magis perpecahan, kehendak yang didambakan sukarno justru memakan anak bangsanya sendiri. Politik nasakom membuahkan saling bertikai dan saling menyerang”.
Dialektika dan polemik yang terjadi saat itu tidak seperti yang digambarkan saeful yang mengatakan saling menyerang. Padahal konflik yang timbul jelas ada konspirasi antara dua fihak yang bernafsu menggulingkan kekuasaan yang menjadikan G30 S/PKI sebagai dalih. Dan kelompok sukarno dan kelompoknya yang berkehendak imperialisme segera diwujudkan.
Saeful menjadi korban konspirasi tersebut dengan menjadikan film G30 S PKI sebagai sumber data dan analisa. Ini menjadikan kita ragu dan naif karena belajar PKI dengan orang yang mencoba mengaburkan konsepsi sejarah PKI. Dari situlah sebenarnya tulisan saudara saeful achyar benar-benar membingungkan sejarah kita dan tidak semakin menjadikan titik sejarah itu terang.
Pelaksanaan kata-kata
Konsepsi sukarno tentang revolusi tentu dipaparkan jauh kedalam bukunya Dibawah bendera Revolusi jilid I dan II yang membicarakan panjang lebar tentang hakikat kemerdekaan. Sedangkan saeful achyar di pungkasan esainya menjelaskan “kapan lagi kita akan berevolusi kalau tidak sekarang,guna membangun indonesia”hanya menangkap serpihan dari konsepsi persatuan gaya sukarno. Lebih ironis lagi judul mengenang revolusi membuat kita gerah dan marah seakan-akan revolusi adalah kenangan dan tidak muncul di bumi yang kian runyam ini.
Syahrir menjelaskan dengan gamblang tentang arti dan pemaknaan revolusi ketika bertemu dengan sastra kawannya pemimpin buruh dengan mengatakan :” Revolusi hanya mungkin terjadi bila syarat-syaratnya terpenuhi yaitu syarat-syarat objektif dan syarat-syarat subyektif. Syarat objektif adalah ketidakpuasan rakyat umum merata dalam masyarakat, kekalutan dan lenyapnya disiplin di kalangan aparat pemerintahan dan kebingungan tokoh-tokoh yang memerintah. Sedangkan syarat subyektif adalah manusia-manusia pejuang yang memperjuangkan kebaikan keadaan itu. Keduanya harus tersedia dan juga melihat psikologis massa”(Mengenang Syahrir,Gramedia).
Oleh karena itu, melihat dan belajar dari syahrir tadi, kondisi indonesia sudah memungkinkan untuk syarat obyektif dan syarat subyektif. Diantaranya ketidakpuasan rakyat dimana-mana, masyarakat yang kalut, serta kepemimpinan yang bingung, sedangkan para subyek-subyek sudah menata diri dan melakukan perlawanan kultural melalui gerakan persatuan mahasiswa dan elemen-elemen gerakan pro demokrasi(prodem). Maka dari itu, perlu gerakan kepeloporan dari mahasiswa dan aliansi kerakyatan yang memulai untuk melakukan pengawalan terhadap revolusi ini dan sambil menunggu kondisi psikologis massa untuk revolusi.
Jadi bukan sekadar ajakan yang berisikan pepesan kosong dan bukan sekadar menulis tanpa didasari penguasaan sejarah yang kuat. Jika ini terjadi maka kesalahan konsepsi sejarah akan mengaburkan kita akan pemaknaan hakikat revolusi. Sementara itu, ruang-ruang demokratik kampus tidak dihidupkan sementara kampus mestinya menjadi pusat way of think(Jalan pikir)perubahan masyarakat belum dihidupkan kembali. Maka menegakkan revolusi tidak berhenti di gerakan menulis dan diskusi serta dialektika saja, sementara disana masih banyak rakyat kita sengsara dan nestapa. Tan malaka pernah mengatatakn :”Revolusi itu kesatuan teori dan praktek dan perlu melihat massa rakyat”. Sehingga harapan saeful tentang revolusi tidak mungkin bisa dilaksanakan ketika hanya berujar di media, apalagi menggunakan konsepsi sejarah yang salah. Sebagai pungkasan perlu kita belajar dari Rendra bahwa perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
*) Penulis adalah mahasiswa UMS, aktivis IMM, Presidium Kawah Institute Indonesia Tulisan dipublikasikan di KORAN SOLO POS 4/ 10/2011.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda