Mudik Dan Ironi Kemenangan
Oleh arif saifudin yudistira*)
Kerja adalah bagian dari hidup manusia dalam menjalani laku hidupnya. Kerja pula yang menuntut manusia harus berpindah dari kampung halamannya mencari berkah dan karunia Tuhan yang tersebar di berbagai kalangan di bumi nusantara ini. Etos kerja dan persoalan perut inilah yang membawa masyarakat desa dengan kulturnya bermigrasi ke kota untuk mendapatkan iming-iming hasil dan penghasilan lebih meski kadang realitanya tak seperti yang diharapkan.
Kata kerja ini pula yang kemudian membawa masyarakat kita penuh dengan kejenuhan dan kepenatan. Bosan dan membutuhkan suasana yang sejuk, tenang, ramah, dan penuh dengan salam sapa sebagaimana mereka dulu berasal yakni kembali ke desa. Rasa kangen bertumpah, disertai rasa kebosanan inilah yang membawa masyarakat kita kepada satu budaya mudik.
Mudik bukan hanya sekadar aktifitas yang rutinitas semata kalau kita telusuri lebih jauh. Pertama, Mudik menjelaskan bahwa kita bukan manusia satu dimensi sebagaimana yang dikatakan Herbert Marcuse. Kita bukan manusia mekanik sebagaimana yang dikatakan lyotard. Tetapi kita adalah makhluk sejarah. Yang sadar dan faham betul bahwa menekuni jejak-jejak cultural-historis kita kembali dengan harapan bahwa kita bisa melangkah dna menentukan peta masa depan dengan hal-hal yang gemilang dan kejayaan. Itulah yang ingin dicapai ketika seseorang dengan penuh semangat bahkan rela kehilangan nyawa hanya untuk menekuni dan melwati kembali jejak-jejak cultural –historisnya kembali.
Kedua, Dalam budaya masyarakat kita, kita mengenal tradisi halal bi halal yakni saling memaafkan di hari raya. Masyarakat kita menghadirkan tradisi tersebut tidak lain dan tidak bukan karena latar belakang agama yang menuntunkan umatnya setelah membersihkan diri dari dosa kepada Tuhannya, maka dosa kepada manusia mesti dibersihkan pula dengan saling memberi maaf dan meminta maaf. Oleh karena itu, nuansa mudik yang dilakukan masyarakat kota yang mudik ke desa, juga mengharapkan ampunan dan do’a dari masyarakatnya. Mereka pulang dengan mengeluarkan uang yang banyak dengan imbalan panen do’a, berkah dan ampunan dari Tuhan dan manusia di sekelilingnya.
Terakhir, mudik memberikan gambaran bahwa pemerintah ternyata belum mampu mensejahterakan desa dengan segala potensinya dan menciptakan ketenteraman lahir dan batin serta kecukupan ekonomi warganya sehingga masih banyak para pekerja yang rela bertaruh nyawa ke negeri seberang menjadi TKI dan TKW. Serta rutinitas yang sering kita lihat, perbaikan jalan raya akan terlihat ketika menjelang lebaran tiba. Ini menjadi gambaran bahwa ternyata perbaikan jalan adalah hal yang kadang lalai dilakukan pemerintah, meskipun pajak terus dibayar oleh rakyat kita.
Pantaskah perayaan kemenangan???
Apakah kita sejatinya sudah menang? Sudah merdeka? Dan menikmati kemerdekaan?. Pertanyaan diatas pantas kita ajukan bukan hanya karena momentum kemerdekaan yang ada di ramadhan kali ini, tapi dalam konteks yang lebih besar, apa yang sebenarnya sudah dilakukan bangsa ini selama 66 tahun kemerdekaan ini. Apakah memang bangsa ini kurang dalam melakukan puasa?mengingat kita adalah bangsa yang sudah begitu tabah dengan berbagai bencana alam dan peringatan dari Tuhan. Atau apakah pemimpin bangsa ini yang memang tidak ada iktikad baik melakukan penegasan bahwa kita adalah bangsa yang besar dan sudah semestinya berada di tempat yang besar.
Pertanyaan diatas dijawab dengan masih kurang pekanya para pemimpin umat maupun pemimpin Negara ini dengan pembagian zakat yang kerap membawa korban dan begitu banyaknya jumlah para penerimanya. Masyarakat kita belum sadar betul bahwa mestinya negeri ini menjadi negeri yang berlimpah ruah kejayaan. Tetapi sebaliknya negeri ini berlimpah ruah kemiskinan, berlimpah ruah korupsi dan dramatisasi elit politik kita.
Jadi ketika takbir, tahmid dan tahlil berucap mestinya ini adalah ironi yang besar. Sebab, negeri ini masih berlimpah ruah kejahatan tersistematis, korupsi yang terorganisir, masih kalah dengan kebaikan, persatuan yang lemah dan lain sebagainya. Maka takbir di hari raya kita, mestinya diganti dengan istighfar di mana-mana agar Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik bagi negeri kita. Sebab takbir mestinya adalah perayaan kemenangan. Sedang negeri ini ternyata belum menang hingga kini.
Etos social yang diajarkan selama kita puasa, serta etos berperang melawan hawa nafsu selama kita puasa, mestinya dijadikan pelajaran penting bahwa kemungkaran di negeri ini masih banyak dan perlu diberantas. Perlawanan terhadap ketidakadilan dan kemungkaran terbesar yakni penguasa yang dzolim adalah wajib dilakukan bagi umat islam.
Sudah waktunya konsolidasi dan persatuan umat digalakkan agar puasa yang membekas dalam diri kita menjadi spirit dalam melakukan gerakan dan pembaruan di negeri ini. Sudah waktunya rakyat yang mestinya bergerak ketika saluran-saluran aspirasi rakyat tidak mampu menampung dan menyalurkan aspirasinya. Agar cita-cita kemerdekaan 100 % yang dicita-citakan oleh para founding fathers kita bukan lagi menjadi mimpi-mimpi yang semu.
*) Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda