Kuasa Tubuh Perempuan Dan Erotika Media Massa
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Tubuh perempuan sampai saat ini tetap menjadi dilemma dalam era modernitas. Pemaknaan eksploitasi tentu berbeda dengan apresiasi yang ditujukan pada perempuan yang eksis di dunia entertainment dengan menggunakan kuasa tubuh. Tubuh perempuan sudah begitu sesak di serbu dengan berbagai alat kecantikan dan juga pijat estetika yang tidak lain dan tidak bukan untuk kepentingan kapitalisasi. Tidak salah wanita eksis, tampil cantik dengan berbagai produk yang mampu mereka beli. Meski tidak banyak perempuan sadar bahwa tubuh perempuan tidak harus dilihat dari sisi sosok tapi juga inner beauty dalam bentuk kecerdasan misalnya.
Beberapa bulan ini kita dihebohkan berbagai berita artis yang menggelitik masyarakat kita. Begitu banyak gossip dan entertaintment yang memuat topic yang memuat perempuan tetapi distereotipkan dengan “foto-foto syur dan nakal”. Berderet nama artis masuk dalam hot issue entertainment bahkan sampai puteri Indonesia pun tak kalah jadi objek pemberitaan tersebut. Hampir setiap hari kita disuguhi berita, gambar, serta foto-foto yang penuh dengan daya erotis menghiasi keseharian kita. Disadari atau tidak, media punya pamrih dalam menyuguhkan itu semua kepada pembaca dan kita semua.
Wanita menjadi objek dalam konteks ini. Hampir di setiap situs tiap harinya kita akan dengan mudah menemukan perempuan dengan telanjang dada, adegan cium, bahkan adegan senggama pun tak luput masuk ke media-media kita. Fenomena erotika media massa memang menjadi pilihan yang cukup bertaruh untuk memperbesar dan memperoleh kapital.
Kemampuan media massa yang begitu besar menerbitkan berita-beritanya, tak kan lepas dari peran perempuan sebagai objek dalam erotica media massa. Erotica media massa di definisikan oleh Sarlito dan Ristanti Kolopaking,sebagai “pemberitaan baik artikel maupun gambar yang mengandung makna erotik, seperti menampilkan telanjang dada pada tubuh wanita,dan menampilkan adegan cium bahkan senggama”.
Apalagi, era digital dan modernitas semakin menghantarkan perempuan kita untuk lebih mau menampilkan citra erotis dari pada yang lebih elegan, sopan, atau katakanlah feminin karena didasari oleh motif mencari kapital juga. Keadaan ini menjadi lumrah atas klaim gaji yang cukup berterima kepada perempuan yang mau menjadi objek erotis pada media massa. Dari iklan TV, dari iklan sabun, dan iklan-iklan yang lain, dan dari penyiar berita,
Variasi imbalan menjadi motifasi wanita untuk tampil erotis di media massa. Imbalan ini cukup merangsang perempuan untuk berlomba-lomba dengan mendaftarkan diri dan optimisme serta mimpi mendapat gaji yang cukup tinggi. Misal saja artis tamara blezinsky yang dibayar satu milyar dalam adegan dan sesi pemotretan dalam film “air terjun pengantin”.
Bila ditilik dari sejarah kita, sebenarnya erotica ini sudah berlangsung sejak lama, missal pada tahun 1993 majalah Tempo nomor 36 november pernah memuat gambar Dewi sukarno yang dicetak ulang untuk memenuhi kebutuhan pembaca. Film-film pun menyusul dengan adegan yang lebih dari sekedar erotis seperti : “sliver, basic instinct,save me, serta film dari indonesia yang bertajuk :“ cinta &nafsu”, “Ranjang pemikat”, “Selir”, dll.
Ajang pemilihan berbagai nominasi-nominasi pun dihadirkan sebagai apresiasi dan kontrak sosial. Bahwa secara tidak langsung transaksi untuk menyerahkan eksploitasi tubuh perempuan itu sendiri [Bengin, Burhan, juni 2001]. Dalam era saat ini misalnya banyak ajang pencarian bakat, masih saja menampilkan erotica media massa, baik ajang pemilihan miss Indonesia, puteri Indonesia, ajang penyanyi dangdut, dan lain sebagainya. Meski UU Pornografi dan pornoaksi sudah disahkan tetap saja belum mengubah perempuan dalam objek kapitalisasi.
Relasi perempuan dengan Erotika media massa mengilhami bahwasannya erotica media massa seringkali masih relevan dengan keadaan kita sekarang, serta membuat kita merefleksikan kembali bahwasannya perempuan sebagai subjek jelas di kuasai oleh motif kapitalisme dan komersialisasi produk ataupun acara yang menjual. Secara tidak sadar, dunia digital tetap saja tidak mampu dibendung dengan berbagai riuh arus informasi yang menjejali kita setiap harinya. Meskipun UU ITE melindungi para korban, tapi perlu satu kewaspadaan yang sangat bagi para artis dan para generasi muda. Sudah banyak kasus yang mestinya menjadi pelajaran buat diri kita, bahwa bermain-main di dunia maya bisa jadi merugikan kita. Sebut saja fenomena terbaru artis pretty sinta yang tanpa sadar foto-fotonya beredar di dunia maya, juga syahrini yang mengalami kasus serupa.
Akibatnya, nama baik dan juga karir yang dibangun perempuan dengan susah payah hancur gara-gara satu peristiwa saja, itupun dari hal yang tidak disengaja. Perempuan dalam hal ini selain sebagai korban, ternyata juga sebagai obyek kapitalisasi. Dengan maraknya berita dan rating yang cukup memuaskan dari pemirsa, maka iklan pun bisa digenjot cukup fantastis. Dengan begitu, yang diuntungkan tetap saja para kapitalisasi dan industry media dan entertainment. Mungkin kita mesti merefleksikan kembali apakah memang erotica media massa dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan atau justru sebaliknya malah menindas dan mengeksploitasi perempuan.Begitu.
*) Penulis adalah Mahasiswa UMS, bergiat di IMM Surakarta
Tulisan Dimuat di Koranopini.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda