Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Jumat, Mei 13, 2011

Solo Butuh ruang Berkesenian

Oleh Arif saifudin yudistira*)



Ketika membicarakan ruang kesenian di solo, kita semua mungkin akan merujuk pada taman budaya jawa tengah yang sering dijadikan tempat pentas bagi para pekerja seni. Namun apakah itu bisa dikatakan sebagai “ruang” yang cukup mewadahi berbagai aktifitas kesenian di solo?. Kesenian atau seni adalah salah satu dimensi manusia yang mengajarkan bahwa manusia ada, dan manusia butuh seni sebagai ruang aktualisasi dan ruang eksistensi diri. Barangkali itu pula yang menjadikan Gedung Kesenian Solo ini lahir. Meskipun baru satu tahun hadir di solo, Gedung kesenian solo yang dulunya adalah solo theatre, kini menjadi ruang hidup yang penuh dengan geliat aktifitas seni dan juga berkumpulnya komunitas-komunitas seni. Gedung Kesenian Solo menjadi tempat menunjukkan diri,saling bertukar fikiran sampai pada penilaian apa adanya dari sebuah kesenian yang dipertontonkan. Gedung kesenian solo mencoba mencari format yang berbeda dari gedung-gedung yang lain, ia mempunyai cirri khusus, tidak hanya menghadirkan karya seni, atau pentas seni, tetapi juga ada tindak lanjut yang tidak hanya berakhir di panggung. Kehadiran seni, perlu di kritisi, di apresiasi dan di hargai dengan apa adanya. Begitulah spirit gedung kesenian solo ini lahir.
Hadirnya GKS tidak hanya menjadi suatu kebahagiaan bagi para komunitas film, komunitas graffiti, komunitas fotografi, komunitas music, dan komunitas sastra. Tapi juga sebagai medium, dan tempat terminal dimana para pekerja dari komunitas tersebut memperbincangkan sesuatu dan mewujudkannya ke dalam acara. Ini terbukti, satu tahun berjalan Gedung kesenian solo sudah menghasilkan 60 program yang berjalan. Bahkan, berjalannya program tersebut lahir atas dukungan dan kerja komunitas, hingga tanpa bantuan pemerintah. Hadirnya Gedung Kesenian solo ini bukan mulus-mulus saja, para pengelola sudah siap dengan konsekuensi logis ketika suatu saat nanti gedung kesenian solo ini akan dihancurkan dan dirubuhkan.

Persoalan lahan

Nasib gedung kesenian solo yang dulunya solo theatre tidak jauh beda dengan nasib wayang wong sri wedari, yang mengalami konflik lahan sampai saat ini yang belum selesai, apakah ahli waris yang memenangkan atau pihak wali kota. Ketika pemerintah kota yang memenangkan, akan ada sedikit harapan, bahwa sri wedari dan kompleksnya menjadi milik public dan digunakan untuk masyarakat solo. Selain itu, Gedung kesenian solo pun ternyata belum memiliki arsip administrasi yang kuat, ketika berganti nama dan fungsi dari Solo theatre menjadi gedung kesenian solo. Hal ini tentu menjadi PR tersendiri bagi pengelola untuk memikirkan bagaimana gedung kesenian solo ini akan tetap ada, jika persoalan administrasi yang jadi masalah. Meskipun pihak pemkot menyetujui gedung kesenian solo di kelola oleh pengelolanya, tapi problem administrasi akan menjadi ganjalan tersendiri bagi pemerintah diatasnya sebab dinilai menyalahi aturan dan fungsi bangunan.

Memaknai kembali “ ruang”

Para pengelola GKS sadar diri dan mengerti akan konsekuensi ketika ruang dalam konteks fisik ini hilang. Mereka menyadari, dan berfikir masih bisa ruang-ruang fisik lain yang bisa digunakan di solo untuk mengaktualisasikan kerja seni mereka dan kerja kreatifitas mereka. Ruang dimaknai mereka sebagai terminal untuk menyatukan spirit dan energy. Sehingga, meskipun tidak ada ruang fisik itu, mereka masih bisa melakukan kerja cultural dan mengaktualisasikan dirinya dan bereksistensi di kota ini. Ciri khusus dari “ruang” gedung kesenian solo ini, adalah menyatukan komunitas-komunitas seni dan komunitas lain, untuk saling tidak merasa curiga dan merasa sama-sama belajar menilai dan dinilai akan kerja seninya. Sehingga gedung kesenian solo ini mencoba menarik tema besar yang ingin sesuai dengan misi wali kota yang ingin mewujudkan revolusi budaya yang pernah dicetuskan oleh wali kota kita. Budaya inilah yang diharapkan lahir dari generasi muda dengan kerja kreatifnya. Salah satu event akbar yang diselenggarakan adalah festival film solo yang diadakan baru-baru ini yang mengangkat fiksi pendek yang jarang diangkat oleh industry perfilman Indonesia.

Mengatasi problem ruang

Meski sadar diri, spirit dan kesatuan energy ini yang menjadi modal utama GKS untuk tetap eksis dan menghadirkan satu karya bagi masyarakat solo, tapi tidak dinafikkan GKS butuh ruang dalam konteks fisik. Problem ini menjadi satu masalah ketika pemerintah kota solo tidak segera memberikan alternative ruang tersebut. Pemerintah kota solo melalui kepala dinas pariwisata sebenarnya memberikan sinyal positif akan hadirnya GKS ini, dan berencana ketika format Festival film solo bisa diformat lebih bagus, pemkot akan memasukkan festival film solo menjadi calendar cultural event sejajar dengan pertunjukan seni dan agenda budaya yang lain. Akan tetapi ketika berbicara persoalan ruang gedung kesenian solo, pemerintah kota akan mengusahakan ketika sudah jelas secara administrative, jelas dan lengkap surat dan arsip-arsip yang berhubungan dengan segala sesuatu tentang gedung kesenian solo.
Sebenarnya yang terpenting adalah bukan persoalan ruang secara fisik yang kemudian muncul dalam bentuk seperti taman budaya Surakarta, akan tetapi bagaimana spirit dan kerja komunitas ini lahir dan berkembang yang menjadi penting. Sehingga, ketika hadir ruang dalam bentuk fisik, tidak seperti taman budaya solo yang terkesan hidup dengan berbagai pertunjukan, tetapi sulit menghadirkan ruang berkesenian yang sebenarnya.Sebab taman budaya hanya terkesan fisik saja dan menjadi tempat pertunjukan kesenian, bukan tempat hidupnya seni dan gariah berkesenian di solo. Ternyata solo butuh ruang berkesenian , yang tidak hanya dimaknai sebagai gedung atau bangunan fisik, tapi juga ruang spirit yang menyatukan spirit-spirit tersebut menjadi energy bagi lahir dan berkembangnya kesenian di solo.


*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di diskusi perkotaan balai sudjatmoko solo

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda