Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, April 18, 2011

Virilisasi dan Dominasi Maskulin

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Dominasi lelaki sepertinya menjadi motifasi bagi para feminis untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan lelaki dan meruntuhkan dominasi maskulinitas hingga saat ini. Hal ini mereka lakukan melalui berbagai formasi gerakan dan cara untuk menunjukkan bahwasannya perempuan sebagai makhluk adalah sejajar dalam setiap peranan kehidupan. Gerakan feminisme yang lahir sejak sebelum abad 19 maupun pada gelombang kedua berusaha untuk menuntut kesetaraan akses,kesetaraan upah, kesempatan kerja, dan penolakan penindasan terhadap perempuan secara fisik dan rumah tangga[Gelb 1987,269;Jordan dan weedon1995,182].
Perempuan mulai menunjukkan kepada dunia bahwasannya ada yang tidak benar dengan perlakuan terhadap mereka sehingga mereka perlu melakukan gerakan yang berusaha membebaskan mereka untuk memperoleh hak yang sama dalam ruang public dan kehidupan manusia pada umumnya. Kita tahu pasca terjadinya revolusi industry gerakan feminisme muncul akibat dominasi kapitalisme yang membawa buruh-buruh dan pekerja perempuan terdesak, sehingga gerakan perempuan dan perngorganisasian perempuan lebih ditekankan pada bagaimana menghadapi perlakuan yang adil dan mereka mulai melakukan aksi-aksi pengorganisasian untuk melawan dominasi dan penindasan yang muncul akibat kapitalisme. Sedang di amerika, muncul gerakan perempuan yang menolak perlakuan tidak setara di depan hukum,dan perlakuan yang tidak adil yang bersifat rasisme.
Tetapi, saat ini gerakan perempuan lebih modern dari pada gerakan perempuan pada waktu itu. Misalkan perempuan mulai bersuara tentang pelayanan kesehatan, tentang partisipasi politik, kesetaraan hak dan peran, meskipun belum konsisten dalam prakteknya. Membicarakan gerakan perempuan yang bisa mencapai tujuannya yaitu gerakan yang tidak hanya teoritis tetapi praktis sebagaimana yang dilakukan kartini terasa sulit pada era modernitas seperti sekarang.
Persoalannya bukan sekedar tentang metode, bagaimana konsepsi yang jelas, tetapi juga secara kodrati perempuan masih tetap saja disebut sebagai sosok yang belum utuh[Judith butler,93]. Simone de behavoir dalam buku second sex juga mengatakan dengan bahasa yang tak jauh berbeda dengan mengatakan perempuan tetaplah menjadi sosok yang lain. Artinya biar bagaimanapun juga perempuan melakukan gerakan pembebasan, perempuan tetap menjadi sosok yang kedua daripada laki-laki.
Pierre Bourdieu menjelaskan dalam bukunya La domination masculine mengungkapkan : “ Tubuh dan gerakan-gerakannya merupakan matriks-matriks yang mencakup segala yang universal yang tunduk pada suatu kerja kontruksi social. Simbolisme yang didekatkan kepada tubuh dan gerakannya itu bersifat konvensional sekaligus “bermotivasi” yang diterima sebagai hal yang setengah natural” .
Konstruksi ini dibangun sudah sejak kita melahirkan budaya itu sejak kecil. Bourdieu fasih menceritakan ini pada contoh-contoh virilisasi yang ada pada lelaki yang tidak terlepas dari konstruk budaya. Ini terlihat pada beberapa hal di budaya kita misalnya pada permainan anak-anak kita. Laki-laki biasa main panjat-panjatan, main lari-lari, tapi perempuan bermain pasar-pasaran, bermain bandulan[ayunan] yang secara fisik harus mengakui kegagahan dan dominasi lelaki. Contoh yang lain adalah Cukur rambut dikatakan sebagai awal peralihan gerbang masuk ke dunia maskulin, dan puncaknya pada khitanan. Selain itu virilisasi atau defiminisasi itu juga terjadi sejak anak berusia dini. Ini terjadi ketika anak laki-laki sudah tidak lagi menyusui kepada ibunya sehingga ritus pemisahan dilakukan untuk fungsi mengemansipasi laki-laki terhadap ibunya dan untuk memastikan maskulinisasi progresif anak laki-laki itu dengan mendorong dan mempersiapkannya untuk menghadapi dunia luar[bourdieu].

Dominasi lelaki

Laki-laki ditempatkan pada posisi eksterior resmi, public, tinggi,dan discontinue. Sedang perempuan ditempatkan pada posisi dan entitas yang negative, dan keberadaannya diakui karena kekurangannya. Ini terjadi karena pendisiplinan tubuh yang dilakukan oleh kita secara tidak langsung dan tidak sadar telah membentuk pola yang mengakui pada “kepatuhan feminine yang menemui penafsiran kodrati dalam fakta bahwa perempuan membungkuk, merendahkan diri, meringkuk, dan menempatkan dirinya di bawahdalam pose-pose melengkung,tidak kaku, sebab docilitas korelatif memang dianggap cocok dengan perempuan. Hingga Pierre Bourdieu mengungkapkan tantangannya dalam buku La domination masculine : “Banyak orang yang bisa saja menolak fakta diatas, dengan mengatakan zaman sekarang sejumlah perempuan telah melepaskan diri dari norma-norma dan bentuk-bentuk traditional pembawaan diri di tempat yang dibuat oleh perempuan secara terkontrol.untuk menggagalkan pendapat itu cukuplah kita menunjukkan bahwa tubuh feminine sekaligus ditawarkan dan ditolak merupakan wujud adanya disponibilitas simbolik”.
Selain itu, kekerasan simbolik yang dijadikan dalih gerakan pembebasam perempuan seringkali menemukan salah arti. Kekerasan symbolic sering diartikan dan ditafsirkan dengan kekerasan seksual dan fisik semata. Akan tetapi lebih dari itu, Michel Bozon mengatakan : “ Menerima pembalikan kenampakan sama saja dengan membuat orang berfikir bahwa perempuanlah yang mendominasi hal semacam ini akan [secara paradoksal] merendahkan perempuan itu secara social”. Contoh yang bisa kita lihat dalam kehidupan kita, perempuan akan merasa rendah diri ketika kawin dengan laki-laki yang secara kapasitas intelektual lebih rendah dari dirinya maupun dalam hal harta, strata social, dan lain-lain.
Kekerasan simbolik tidak mungkin terjadi kecuali suatu tindakan mengetahui,dan tindakan menganggap buruk praktik yang dilakukan di luar kesadaran sehingga menghadirkan “kekuatan hipnotis”[Pierre bourdieu]. Sehingga, secara konstruk budaya, dan konstruksi social, virilisasi dan dominasi lelaki tetap menjadi satu tantangan bagi gerakan feminisme untuk sekedar mengakui atau malah meruntuhkan kedua hal tersebut. Demikian.


*)Penulis adalah KADER IMM KOM.KIP CABANG SURAKARTA, pendiri komunitas Tanda Tanya, dan belajar di UMS.Pemenang Juara Kompetisi Essai Immawati DPD JATENG

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda