Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Kamis, Maret 17, 2011

Demokrasi Ala Kaum Demokrat???


Oleh Arif saifudin yudistira*)


Tidak bisa kita remehkan dan kita anggap sebelah mata, sepak terjang partai demokrat dalam mengusung sosok SBY menjadi presiden di negeri ini. Meski banyak fihak dan kalangan menilai SBY menggunakan politik citra dan pemprofilan yang berlebihan, serta gaya politik melankolis di hadapan rakyat, sampai saat ini rakyat masih percaya SBY adalah presidenku. Begitulah realita masyarakat kita, tanpa sadar mereka adalah “kawanan pandir” yaitu masyarakat yang tanpa sadar mengikuti sebuah propaganda, sebagaimana yang dikatakan noam Chomsky. Propaganda tersebut tidak lain adalah propaganda dari para kaum yang mengaku para kaum democrat dalam hal ini para kader dan simpatisan partai democrat.
Para kaum demokrat ini mengikuti system demokrasi yang seolah-olah adalah demokrasi sebenarnya, tetapi sebaliknya adalah sebuah propaganda saja. Propaganda ini dilakukan secara continue, secara bertahap, sistematis, dan rapi, sehingga rakyat sebagai pengikut demokrasi ini tanpa sadar mengikuti pola pikir yang ada selama ini.
Kita begitu dipuji sebagai negara paling demokratis karena telah memilih langsung dengan aman, dan lancar, meski dalam demokrasi yang dibangun baru pada tahap demokrasi threshold[sekadar pemilihan] saja. Kita belum mampu mengejewantahkan kehendak dari para pemilih akan mimpi-mimpi kesejahteraan dan mimpi-mimpi kemakmuran yang tak kunjung datang.
Menurut Chomsky, ada dua tipe demokrasi. Demokrasi yang pertama, masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang mempunyai alat untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan mereka sendiri. Kedua, public harus dihalangi untuk mengatur urusan mereka,dan alat-alat informasi harus diatur secara ketat. Tipologi kedua inilah yang justru umum terjadi termasuk di negara kita ini, meski secara pola berubah.
Perubahan pola itu, terletak pada penghalangan urusan warga atau rakyat, karena saat ini masyarakat kita sudah begitu terbuka dibanding dengan orde baru, rakyat sudah memiliki saluran untuk menyalurkan aspirasinya dan kritiknya. Hanya saja, pola pembentukan opini public dan pola propaganda inilah yang justru digunakan sebagai alat untuk melemahkan dan mengatur masyarakat kita.
Propaganda pemerintah jika didukung kelas berpendidikan,dan tak terjadi penyimpangan, maka pengaruhnya akan sangat besar, begitulah Chomsky berpendapat. Begitu juga dengan demokrasi yang ada di negeri kita selama ini. Para tehnokrat, para intelektual dibalik pemerintahan SBY seberapapun kesalahan yang ada dalam kebijakan SBY tetap saja tidak mampu mempengaruhi opini public bahwa SBY adalah salah dalam mengambil kebijakan. Ini terlihat jelas ketika Faisal basri mengatakan isu neo liberalisme, isu privatisasi, nasionalisasi adalah isu usang dan kurang data bila diangkat dalam tataran mahasiswa. Kita masih ingat ketika budiono mau diangkat menjadi wakil presiden, kontroversi ini akhirnya berakhir dengan pesimisme rakyat, dengan mengatakan : “ neolib tidak neolib, toh budiono tetap jadi wakil presiden”.

Rekayasa Opini

Sedari awal partai democrat yang mengusung SBY sebagai presiden sudah memahami betul tehnik propaganda dan karakteristik sosiologis masyarakat Indonesia. Rakyat kita begitu suka dengan gaya melankolis yang mengudang perhatian dan simpati. Maka SBY menggunakan tipologi ini dalam kepemimpinannya.
Partai sebagai mesin dalam memproduksi “rekayasa persetujuan”dalam propaganda, menggunakan opini public dan slogan-slogan kosong yang sampai saat ini masih popular. Pola-pola seperti ini sangat mirip dengan yang digunakan oleh obama ketika kampanye. Slogan-slogan seperti “ we need change”, “change, we can believe in” tidak jauh berbeda dengan yang digunakan SBY. “kita bisa”, “SBY presidenku”, sampai pada slogan yang sering dipakai “lanjutkan”. Kesemua slogan tersebut meskipun kosong makna, tapi juga membius rakyat kita sehingga apapun yang dinilai para kritikus maupun gerakan oposisi terhadap pemerintahan SBY, tetap saja “SBY presidenku” adalah kalimat yang sudah terbenam di hati rakyat. Apalagi mengingat saat ini, tidak ada oposisi yang real yang dilakukan partai, meski ada yang mengaku konsisten masih oposisi terhadap SBY.
Pada tahap tertentu, akhirnya masyarakat kita cenderung jenuh menghadapi fenomena politik dan drama para elit di negeri ini. Sikap kejenuhan ini pun berubah pada sikap apatisme rakyat kita. Kalaupun ada sebuah gerakan oposisi pemerintah, yang ada saat ini adalah gerakan yang hanya berupa semangat yang melibatkan interaksi kelompok-kelompok kepentingan yang se- ide. Sehingga gerakan yang muncul yang bisa dilihat adalah gerakan protes dan gerakan momentum yang mahasiswa terlibat disana.
Ini mengakibatkan grand issue yang menjadi titik tembak dan kritik menjadi kabur dan tidak begitu sampai pada masyarakat. Demokrasi yang saat ini ada di negeri kita cenderung mengarah pada demokrasi progresif sebagaimana dikatakan oleh Lippman. “Kawanan pandir, dalam demokrasi ditempatkan sebagai penonton, bukan sebagai pemain”. Artinya, setelah terjadi proses pemilu, rakyat meminjamkan kekuatannya pada pemimpin yang dipilih, dan mereka kembali pada posisi sebelumnya sebagai penonton.
Persis seperti demokrasi yang ada di negeri kita saat ini, pertarungan-pertarungan wacama, pertarungan opini yang ada hanya terjadi di tataran elit-elit politik kita yaitu intelektual dan tehnokrat pro SBY atau oposisi pemerintah. Sehingga, rakyat tetap kembali pada tipologi yang diungkapkan Lippman sebagai “penonton” saja.
Maka tidak heran, substansi demokrasi yang dicita-citakan para founding fathers kita mewujudkan masyarakat adil dan makmur tak kunjung usai. Sementara cita-cita rakyat yang awam yang menginginkan harga sembako murah, sekolah murah, kesehatan murah, pun tidak juga tercapai. Lalu kita bertanya, inikah demokrasi yang diinginkan para penguasa kita?. Tentu tidak demikian.


Penulis adalah Presidium Kawah Institute Indonesia, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda