Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, Januari 05, 2011

Demokrasi Minus Perwakilan???


Oleh Arif saifudin yudistira*)

Apakah yang terjadi dengan demokrasi di kampus kita ini?. Beranjak dari pertanyaan tadi, kita serasa merasakan demokrasi sepertinya hambar dan tidak lagi makanan yang enak dalam kehidupan di kampus kita tercinta. Apakah demokrasi kita saat ini adalah demokrasi electoral threshold yang hanya sebatas pemilihan umum saja.

Apakah demokrasi kita cukup berhenti pada pola pemilihan orang dan regenerasi kemudian selesai dalam tahapan pelantikan pemimpin yang baru?. Kita saat ini sudah mengalami masa-masa lesu, masa-masa yang sudah lama disebut oleh lyotard, bahwasannya kecerdasan manusia kini berubah pada kecerdasan artificial, artinya rutinitas-rutinitas kemahasiswaan kita ternyata belum mampu menunjukkan bahwa kita benar-benar melaksanakan tugas sebagai elemen pergerakan mahasiswa.

Saya jadi teringat kata-kata soe hok gie : Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran” .[Gie].

Pergulatan menuju kebenaran dalam proses demokratisasi bukan hanya kemudian ditentukan subjektifitas para pemegang kepentingan pada satu sisi tetapi merupakan kebulatan tekad untuk mencapai tujuan dari cita-cita masyarakat kampus. Demokrasi yang menjadi cita-cita luhur mahasiswa tidak lain dan tidak bukan sebagaimana termaktub dalam AD/ART KAMA UMS.

Lalu mengapa demokrasi kita seolah-olah tidak mengarah pada tujuan yang dicita-citakan tersebut?. Proses demokratisasi tidak mungkin dibangun secara baik, tanpa pemahaman yang cukup akan pemaknaan dan interpretasi dari buku konstitusi kita. Mahasiswa mempunyai kedaulatan tersebut, dan diberi kewenangan untuk melaksanakan kedaulatan tersebut. Problematika yang muncul adalah pengesampingan buku konstitusi kita, sehingga kesatuan dan kesepakatan yang muncul dalam buku konstitusi kita adalah suara-suara dari berbagai kelompok kepentingan mahasiswa yang muncul dalam bentuk partai mahasiswa.

Dimana kemudian partai mahasiswa memiliki kebutuhan akan aktualisasi maupun tempat untuk bereksistensi dalam dunia mahasiswa. Darisinilah sebenarnya, demokrasi ala kampus bisa berjalan dengan optimalisasi perkaderan dan transformasi dari partai mahasiswa dalam konteks student government di universitas.

Wakil dan Yang diwakili


Meski sudah jelas partai mahasiswa mewakili kelompok kepentingan mahasiswa, tetapi masih saja muncul pertanyaan di mata mahasiswa, apa benar kalian mewakili kepentinganku?. Partai kita saat ini memang masih belum beranjak pada tradisi pelimpahan kekuasaan saja. Bukan lagi pada pelimpahan konsep, kontinuisasi visi-misi yang dibawa, apalagi pengejawantahan konsepsi dan nilai luhur manifesto politik partai mahasiswa.

Ketika demikian halnya, kita adalah mewakili diri kita sendiri, artinya, partai mahasiswa membawa kepentingan yang absurd, sebab ini tercermin dari berbagai program-program yang dilaksanakan ternyata bukanlah program yang menyentuh pada kepentingan dan penyaluran aspirasi mahasiswa. Sudah diungkapkan oleh jurgen habremas, komunikasi di ruang public adalah sarana yang efektif untuk menembus kekosongan dan rutinitas-rutinitas semu yang ada saat ini.

Meski hal ini sudah menjadi kultur yang diwariskan, tetap belum muncul juga kritik yang keras dari mahasiswa atau dari yang diwakili ketika melihat wakil-wakil kita demikian. Sehingga kondisi yang muncul memang kondusif, tetapi tidak dinamis apalagi progresif revolusioner. Mahasiswa merasa abai terhadap wakil-wakilnya dan merasa tidak ada kepentingan dengan partai mahasiswa, begitupun sebaliknya.

Problem konstitusional dan perkaderan

Mengakhiri tulisan saya, kembali pada persoalan yang ada saat ini. Persoalan perkaderan mahasiswa di tingkat fakultas maupun universitas akibat krisis kualitas maupun kuantitas memang problem yang krusial yang perlu diselesaikan. Salah satu strategi untuk itu tidak lain menyadarkan kembali bahwa kita punya kedaulatan, kita punya buku konstitusi.
Di sisi lain, perlu peran dari birokrasi kampus dalam kerangka besar keilmuan, bagaimana kemudian dinamika kemahasiswaan dihidupkan. Selain dari pada kerangka perkaderan dan peningkatan kualitas dari pada kepemimpinan dan juga mentalitas pejuang yang membawa kepada semangat sebagaimana yang disuarakan soe hok gie : “saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran”.Begitu.

Penulis adalah kabid kader partai PSS 2009/2010.
Tulisan dimuat di koran pabelan UMS hari rabu,5 januari 2010

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda