Mentalitas inferior yang membudaya
Oleh Arif saifudin yudistira*)
”Orang Jawa sifatnya pemurah, terutama di mana ia hendak membuktikan kasihnya kepada kepalanya, kepada keturunan orang-orang yang dipatuhi oleh orangtuanya; dan ia merasa kurang hormat kepada junjungannya turun-temurun jika ia menjejak keraton tanpa membawa persembahan.”
Max Havelaar, Multatuli
Betapa adat-istiadat dan kesopanan orang Jawa sangat luar biasa pada waktu itu. Rakyat sangat kental dengan sistem masyarakat feodal yang memungkinkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat begitu kuat. Rakyat begitu hormat dan taat kepada raja, gubernur, bupati dan lain-lain. Rasa hormat ini dibawa sampai pada suatu ketidakwajaran yang membawa mereka kepada kebiasaan yang tidak lazim. Misalnya membersihkan tanah lapang atau alun-alun dilakukan dengan gotong-royong yang hebat, hanya untuk harga diri seorang bupati, bahkan tanpa upah. Mereka merasa malu jika ada tamu datang apalagi orang asing melihat tanah lapang kotor, ini dinilai merendahkan harga diri bupati.
Sikap hormat yang berlebihan ini membawa mentalitas yang tidak baik hingga saat ini. Mentalitas demikian dijadikan alat bagi penjajah. Pada waktu itu, tanpa sadar, seorang bupati bisa dengan mudah menyerahkan laporannya kepada residen Belanda. Para bupati pada waktu itu begitu tunduk dan hormat kepada residen yang sebenarnya adalah bawahannya. Akan tetapi, dia sangat kejam dan keras terhadap rakyatnya untuk memenuhi permintaan residen misalnya pada waktu tanam paksa.
Sikap dan mentalitas yang inferior ini ternyata dibawa hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian kita, dari tingkat desa hingga negara, mentalitas seperti ini sepertinya sudah melekat. Kebiasaan hormat yang berlebihan ketika lurah datang, bahkan ketika seorang pejabat datang ke suatu kota. Lihat saja, ketika presiden atau pejabat pemerintah datang ke suatu kota, pasti disambut dengan keamanan berlipat, jalan-jalan terpaksa macet untuk lima menit menunggu pejabat atau presiden lewat. Karena itu, pemimpin negara tidak pernah merasakan susahnya macet.
Masih segar dalam ingatan kita ketika Presiden AS, George Bush, datang ke Indonesia. SBY merasa perlu membuat helipad di Bogor hanya untuk menyambut Presiden Bush. Selain itu, jalan-jalan dijaga ketat oleh ribuan tentara dan polisi untuk mengamankan tamu yang sama sekali tidak istimewa. Berapa banyak dana yang dikeluarkan dalam sekali penyambutan, meskipun kita tahu kedatangan bush tidak lain adalah demi memperlancar kepentingannya melancarkan kolonialisasi di Indonesia secara halus.
Kita mesti ingat bahwa UU No 27/2007 tentang penanaman modal disahkan pada masa kepemimpinan SBY. Kedatangan Bush secara tidak langsung berimplikasi pada kebijakan pemerintah untuk meneruskan penghisapan yang dilakukan Amerika melalui Freeport dan ExxonMobil di Cepu.
Sikap inferior ini pun kembali dimunculkan SBY ketika menyambut Presiden Obama. Padahal Obama secara tidak langsung menyindir ini. Dia bercerita saat kecil dulu, suka naik becak tapi ketika dia datang ke Jakarta, becak-becak tidak ada.
Terlena
Kita begitu terlena dengan sikap Obama yang memuji dunia Islam, kita begitu senang dengan sikap Obama memberikan beasiswa kepada mahasiswa ke Amerika. Tapi, kita lupa bahwa Freeport yang sangat menguntungkan Amerika, ExxonMobil yang menyedot minyak kita adalah hal lain yang perlu dipikirkan.
Barangkali karena SBY adalah orang Jawa, sikap dan budaya yang sejak dulu melekat pada orang Jawa begitu diunggulkan hingga saat ini. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananda Toer dalam novelnya Jejak Langkah: “Jawa terus menerus kalah terhadap Eropa, manusianya, buminya dan pikirannya.”
Mentalitas pakewuh, inlander, begitu tampak ketika kita menyambut presiden negara adikuasa. Mungkin kita bisa berkaca kepada Iran yang sangat sederhana istana negaranya, sangat sederhana pula menyambut para tamu negara. Mentalitas inferior ini sudah selayaknya kita hilangkan dari negeri ini. Sebab, mentalitas seperti inilah yang akan berakibat fatal. Menjual negeri sendiri kepada orang asing atau penjajah adalah salah satu akibat dari sikap inferior. Inilah sebab hingga saat ini kita masih belum merasakan kemerdekaan.
Sikap inferior inilah yang membawa kita pada kebodohan yang dipelihara. Selama sikap ini tidak dihapuskan dan masih membudaya, jangan kita berharap kita bisa bersaing dengan negeri lain.
Kita pernah punya presiden yang sangat tegas menentang oportunisme apalagi sampai pada inferioritas. Presiden Soekarno mengajarkan agar negeri ini berdaulat di bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan maju dalam hal budaya. Dalam buku Di bawah Bendera Revolusi, dia menyatakan, “Kita harus percaya pada kepandaian dan tenaga kita sendiri dengan menolak tiap-tiap politik oportunisme yakni tiap-tiap politik yang menghitung-hitung; ini tidak bisa, itu tidak bisa.”
Mahasiswa Bahasa Inggris UMS
tulisan dimuat di SOLO POS 16 november 2010
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda