Amuk Massa di Negeri Pancasila
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Kekerasan sudah menjadi sebuah senjata yang paling disukai rakyat di negeri ini. Kekerasan muncul seperti bahaya laten yang setiap saat mudah terjadi di negeri ini. Rakyat sudah tidak mampu menahan emosi dan himpitan persoalan yang ada di negeri ini. Lebih baik mahasiswa yang bergerak, daripada rakyat yang bergerak sendiri, itulah ungkapan soe hok gie yang relevan hingga saat ini.
Rakyat bergerak, sebab mahasiswa sebagai kalangan intelektual dan penyambung lidah rakyat dianggap belum mampu menyuarakan aspirasi mereka, sehingga rakyat menjadi sensitive menanggapi permasalahan. Sebagian rakyat menilai demonstrasi yang dilakukan mahasiswa adalah tidak murni, dan hanya meluapkan emosi saja. Selain itu, masalah kemiskinan, pendidikan, masalah sosial, hingga kerukunan umat beragama menjadi faktor yang dominan untuk menciptakan amuk massa.
Kekerasan menjadi (dianggap) wajar karena memang pendidikan kita mengajarkan demikian. Pendidikan kita mengajarkan kekerasan simbolik yang tidak sadar membentuk mentalitas kita. Ketidakmampuan kita dan ketidaktahuan kita akan sejarah kekerasan di negeri ini misalnya, adalah bentuk kekerasan simbolik yang nyata di negeri ini. Anak-anak kita buta akan sejarah negerinya. Negeri ini sebenarnya sudah lelah dengan kekerasan. Sampai ada yang menyebut Indonesia adalah violence state[02/10/2010].
Selain kekerasan yang ada di dunia pendidikan, sebenarnya kita adalah negeri yang mengalami kekerasan sejak dulu. Baik secara psikologis, secara fisik, maupun secara mentalitas. Sejak Indonesia belum merdeka, kita mengalami kekerasan yang cukup lama dari para penjajah kita. Penjajahan tersebut menuntut kita untuk melakukan perlawanan hingga kita merdeka. Pada masa penjajahan, mentalitas kita diserbu habis-habisan hingga menjadi bangsa yang bodoh, miskin, dan membungkuk di mata asing. Di masa itu, banyak rakyat kita mengabdi pada penguasa asing, dan berwatak hipokrit. Penjajahan memberangus mental kritis rakyat Indonesia. Hingga munculah para pejuang yang berwatak baja seperti syahrir,kartini, tan malaka, sukarno, dan lain-lain.
Kekerasan yang dilakukan terus-menerus akhirnya memunculkan berbagai amuk massa yang merupakan ekspresi dari kemarahan rakyat atas kondisi yang tidak seimbang. Mulai dari tragedy tri sakti, semanggi, ambon,aceh, poso, sampit dan lain-lain. Dan kita mengenal tragedy 65 yang merupakan tragedy pembunuhan massal yang paling mengerikan di negeri ini.
Konflik yang terjadi selama ini muncul karena pemerintah tidak mampu memfungsikan lembaga-lembaganya secara optimal. Jika pemerintah mampu memfungsikan lembaga-lembaga negaranya dengan baik, niscaya kekerasan dan amuk massa tidak akan terjadi. Lembaga-lembaga penegak hukum seperti polri, kejaksaan, dan tni dinilai lemah dan kurang tanggap menghadapi konflik di masyarakat. Kita tahu konflik di tarakan Kalimantan timur yang ternyata disaksikan oleh aparat penegak hukum yang dinilai lamban menyelesaikan konflik yang ada. Tindakan yang sering muncul adalah tindakan reaktif, bukan antisipatif, sehingga konflik terjadi baru kemudian aparat muncul.
Selain karena kelambanan aparat dalam menyelesaikan persoalan yang ada, kekerasan yang menimbulkan amuk massa terjadi karena rakyat lelah menonton ulah para pemimpin negeri ini yang tidak semestinya terjadi. Drama century, ulah DPR yang rajin bolos dan membangun istana, kasus rekening gendut polri, dan persoalan lain yang membuat rakyat jenuh dan geram.
Persoalan HAM dan persoalan kemanusiaan lain sepertinya hanya menjadi buku catatan sejarah yang tak menemui penyelesaian hingga kini. Kita tahu permasalahan HAM yang ditimbulkan sejak semasa orde baru yang mendapatkan tuntutan masyarakat hingga saat ini belum juga selesai dan tindak lanjut yang jelas. Malah hanya menajadi ajang monumental dan refleksi serta komoditi bagi elit politik penguasa.
Kehilangan jati diri
Konflik yang ada hingga saat ini mencerminkan bahwa negeri ini sudah kehilangan jati diri dan karakternya. Betapa pancasila yang ada kini hanya tinggal slogan dan hafalan di sekolahan-sekolahan kita, tanpa aplikasi yang konkret. Keadaban yang menjadi sila kedua saat ini mulai luntur. Generasi kita adalah generasi yang rapuh meski pendidikan sudah menjadi popular ketimbang masa-masa dulu.
Kemajuan dalam dunia pendidikan kita sepertinya tidak seimbang dengan kemampuan sumber daya manusianya untuk menciptakan masyarakat yang bermental pancasilais dan masyarakat yang beradab. Mentalitas hipokrit, korup dan instant justru lebih dominan ketimang karakter pekerja keras, konsisten, teguh dalam prinsip. Maklum pendidikan kita sebagaimana kritik rendra dalam puisinya “kita harus berhenti membeli rumus-rumus dan diktat-diktat asing” sehingga pola adopsi lebih muncul ketimbang pola integrasi. Gaya-gaya internationalisasi di dunia pendidikan justru menggerus karakteristik dan budaya ketimuran. Maka tidak heran, kita menjadi manusia-masnusia yang kehilangan identitas.
Rekomendasi strategis
Oleh karena itu, amuk massa bisa dicegah melalui beberapa hal diantaranya : Pertama, optimalisasi peran semua elemen masyarakat. Perlu optimalisasi dari berbagai elemen masyarakat baik lembaga penegak hukum, maupun warga masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kedua,Peningkatan kesejahteraan baik secara politik,ekonomi, dan social. Dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi, politik, dan social akan mengurangi keresahan masyarakat secara psikologis dan mencegah terjadinya kekerasan. Ketiga, Perlunya tindakan antisipatif. Hal ini bisa dilakukan dengan peningkatan sosialisasi tentang dampak yang ditimbulkan akibat adanya konflik, resolusi konflik, dan manajemen konflik. Terakhir, perlunya pemahaman dan pengamalan pancasila secara konstekstual. Dengan pengamalan pancasila secara optimal di kehidupan masyarakat, akan menjadikan negeri ini sesuai dengan cita-cita yang diharapkan. Begitu.
*)Penulis adalah presidium kawah institute Indonesia, belajar di UMS.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda