“Nasionalisme Kita”
Oleh Arif saifudin yudistira
Saya sudah biasa mendengar anak-anak kita tahu bapak Suharto. Sekaligus merasa iri dengan pak harto yang begitu popular sampai saat ini dibanding nama-nama lain seperti Sukarno, Muhammad hatta, Syahrir, dan lain-lain. Nama Pak Harto begitu popular dan begitu hangat menyapa generasi muda kita dibanding nama para founding fathers kita. Ketika ditanya siapa pak Harto rata-rata akan menjawab bapak pembangunan, bapak orde baru, dan lain sebagainya. Bahkan masih banyak pula orang tua kita atau bahkan diantara kita mengatakan : “Kalau saya boleh memilih, saya akan memilih hidup di jaman Suharto yang serba murah, serba makmur, serba mudah dari pada hidup di jaman SBY yang serba mahal, serba sulit, dan lain-lain”. Benak saya pun bergumam : barangkali nenek-nenek kita belum mengerti sejarah betapa kejamnya rezim Suharto, barangkali banyak generasi kita juga belum mengerti rezim suharto dibangun dengan berjuta darah dan kekejaman militer”.
Anak-anak dan generasi kita saat ini belum banyak mengerti sejarah yang digelapkan oleh orde baru selama 32 tahun itu. Selama itu pula saya tidak mengenal tan malaka bapak republic Indonesia yang dilupakan hingga saya masuk di perguruan tinggi. Itupun karena saya membaca buku-bukunya sendiri hingga saya mengenalinya. Tanpa saya membaca buku-buku tentangnya, dan karya-karyanya sendiri, barangkali selama hidup saya tidak akan mengerti tan malaka dan perjuangannya.
Pertanyaannya kemudian adalah apa pentingnya mengenal Tan malaka? apa pentingnya mengenal Sukarno, apa pentingnya mengenal Syahrir dan lain-lain?. Mengenal mereka adalah membaca Indonesia. Mengenal mereka adalah membaca semangat dan jiwa nasionalisme yang tak surut hingga akhir riwayat mereka. Kisah mereka adalah kisah tragis dan teladan yang tiada bandingnya tentang bagaimana memaknai perjuangan dan memaknai nasionalisme yang sesungguhnya.
Muhammad Hatta adalah tokoh yang gigih dengan konsepsi demokrasi ekonominya dengan konsep koperasinya, ekonomi Indonesia dan ekonomi kerakyatan bisa diwujudkan. Syahrir dengan kecerdasan berpolitiknya, sehingga ia ditakuti dan disegani oleh musuh-musuhnya. Dalam novel burung-burung manyar YB mangunwijaya bercerita : “ Mereka pun tahu;bukan Sukarno, tetapi syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya. Justru karena ia halus,justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatic. Orang macam ini mudah sekali memikat opini dunia”. Begitupun Sukarno yang dikenal sebagai sosok orator yang ulung, tapi juga sebagai sosok pria yang romantis di keluarganya.
Dari merekalah kita akan mengenal indonesia. dari merekalah kita menemukan semangat dan pendapat yang berbeda-beda tapi dengan satu tujuan. Dengan satu cinta mereka untuk indonesia merdeka 100 %. Mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan memperjuangkan dan merelakan hidupnya untuk indonesia tercinta.
Lalu, apa jadinya ketika sampai saat ini sejarah negeri ini masih saja belum bisa lurus?. Apa jadinya ketika anak-anak dan remaja kita lebih mengenal suharto tanpa tahu siapa sosok suharto yang sebenarnya?. Ketika hal ini terjadi, yang akan muncul adalah generasi yang hilang, generasi yang tak tahu arah, generasi yang tanpa pegangan.
Karena generasi yang tidak mampu membaca sejarah negerinya, adalah generasi yang jelas tidak mampu memahami pesan-pesan dan spirit para pejuang masa lalu, dan tidak bisa membaca karakteristik masyarakat kita, masa lampau, maupun membaca masyarakat kita di masa yang akan datang.
Jas Merah
Itulah pesan yang disampaikan oleh Sukarno JAS MERAH yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab sejarah adalah kejadian yang bisa diambil pelajaran dalam membaca situasi masa lampau untuk pelajaran di masa saat ini dan yang akan datang. Generasi kita perlu tahu dan memahami riwayat perjuangan para pahlawan kita untuk meneladani, mengilhami, serta menjadikan semangatnya adalah semangat generasi kita saat ini.
Pagi itu, saya semangat sekali mengajar di SMP tempat saya praktek mengajar. Ketika itu saya mencoba menanyakan pada murid-murid saya kelas 3 SLTP, apakah ada diantara anak-anak yang kenal tan malaka?. Mereka serentak menjawab “tidak!”. Tapi ketika saya tanya apakah anak-anak tahu Suharto?. Serentak menjawab “tahu pak…..”. Mereka mengenal pak suharto sebagai presiden kedua republic indonesia, tapi mereka tidak mengenal tan malaka, bahkan terasa asing di mata anak-anak tersebut. Kemudian di malam harinya saya kenal anak mahasiswa baru sebuah universitas di jogja lewat account facebook saya, ia terkejut ketika nama account facebook saya diganti dengan nama “tan muda” ia memberikan komentar tan muda itu makhluk apa?. Tan malaka itu siapa?. Saya hanya bisa sejenak diam, dan merenungkan apa jadinya ketika anak muda dan generasi kita kedepan buta Indonesia. Buta sejarah negerinya. Barangkali nasionalisme kita akan menjadi nasionalisme gincu semata yang hanya gemerlap dan meriah ketika mau peringatan kemerdekaan saja.
Nasionalisme kita hanya akan menjadi nasionalisme lamisan, yang hanya sebagai ritus-ritus belaka tapi miskin esensi, miskin makna. Kita fasih mengikuti upacara bendera setiap hari senin, kita rutin mendoakan pahlawan kita ketika mengheningkan cipta, tapi kita hampa, kita masih meraba, siapa mereka? apa sumbangsihnya bagi negeri ini? apa yang dia tinggalkan untuk kita? dan semangat seperti apa yang mereka wariskan kepada kita?.
Bagaimana kita tahu dan memahami mereka, ketika guru-guru kita tidak mengenalkan pahlawan-pahlawan kita saat ini? pahlawan-pahlawan kita hanya dijadikan museum dalam kelas sebagai hiasan dinding kita dalam keseharian kita, tanpa tahu riwayat dan perjuangan mereka. Apakah kita salah mengajarkan sejarah pada anak-anak kita?. Barangkali ini pertanyaan yang layak kita ajukan kepada kita semua.
Mungkin ada benarnya, sebab pelajaran sejarah kita selama ini hanya dijadikan hafalan semata tanpa kemudian kita tahu dan memahami apa makna yang dikandung dibalik peristiwa sejarah yang ada selama ini. Sejarah kita begitu mahir, begitu luar biasa ketika diukur dengan score A, atau angka 100 tapi begitu miskin esensi ketika dibenturkan dengan budaya dan semangat generasi muda saat ini. Dahulu para founding fathers kita adalah pemuda yang rajin sekali membaca buku, tetapi juga rajin berorasi di depan rakyat kita. Dulu para founding fathers kita adalah tokoh yang bergulat melawan penjajah dengan gigihnya. Akan tetapi, saat ini remaja dan pemuda kita adalah remaja yang rajin dan rutin mengikuti buku mode dan model hape terbaru. Generasi muda kita adalah generasi yang rajin ke mall, rajin mengamati gossip-gossip artis kita.
Kontradiksi inilah yang ada sampai saat ini. Sejarah kita pun juga terbentur masalah kurikulum yang kadang belum juga keluar dari tembok-tembok yang mengikat lagi terkesan kaku. Bukankah sejarah adalah penyajian yang objektif dan jujur?. Tetapi ketika kita melihat pengajaran sejarah kita di sekolah-sekolah kita, kita masih saja sulit menemukan nama tan malaka, riwayat, serta perjuangannya. Anehnya, justru sejarawan belanda Harry.A.Poeze yang meneliti tentang dia, menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menemukan kisah tentangnya.
Padahal tan malaka adalah bapak yang merumuskan tentang indonesia pertama kalinya dengan brosur politiknya dalam naar de republic indonesia. Sehingga sejarah dan pengajaran sejarah kita di sekolah-sekolah perlu dibenahi. Untuk menegaskan kembali, bahwa sejarah adalah kompas, sejarah adalah kaca mata kita dan generasi muda kita untuk melihat lebih jelas bagaimana masa lampau diciptakan, bagaimana keadaan sekarang terbentuk, dan bagaimana masa depan akan dirancang. Tanpa pembenahan metode, tanpa pelurusan sejarah kita kepada generasi kita, maka mustahil bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.
Sejarah dan nasionalisme
Dalam buku roman patjar merah Indonesia, ivan alminsky atau alimin yang waktu itu bertemu dengan kekasihnya, ia mengatakan : “Kekasihku, cintaku padamu bukan main besarnya, akan tetapi cintaku pada tanah airku lebih besar lagi….lebih mempengaruhi diriku. Janganlah bujuk dan rayu aku supaya mengabaikan kewajibanku terhadap tanah airku…..karena dengan berbuat demikian sia-sialah kelak hidupku diatas dunia ini tidak hanya oleh kawan ataupun lawan”.
Sikap alimin tadi adalah sikap seorang yang mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Meski dia begitu cinta pada kekasihnya, tapi ia rela meninggalkan kekasihnya demi tanah air Indonesia yang masih dijajah. Riwayat tersebut tidak akan kita temukan ketika kita tidak membaca sejarah Indonesia. Meskipun ini adalah roman yang setengah fiksi setengah non fiksi, ini adalah kisah sejarah kita yang perlu dijelaskan pada generasi muda kita. Membaca sejarah kita bisa dilakukan dengan membaca buku-buku, karya, dan riwayat tentang para pahlawan dan pejuang kemerdekaan kita.
Kita juga akan menemukan betapa luar biasanya sosok tan malaka yang sepanjang hidupnya dihabiskan di pelarian dan di penjara. Riwayatnya menjadi misteri hingga saat ini, hidupnya dihabiskan untuk merumuskan dan memikirkan nasib negerinya. Sampai-sampai ketika ia menyampaikan pidatonya yang dihadiri jenderal sudirman dalam kongres persatuan perjuangan, jenderal sudirman menyatakan dukungannya dengan kesimpulan : “lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%”.
Sikapnya yang konsisten menjadikannya dimusuhi oleh kawan ataupun lawan. Pemikirannya brilliant, visioner dan futuristic. Sehingga ia seringkali berbeda pendapat dengan kawan-kawannya. Hingga banyak yang tidak tahu sejarah tentangnya menganggap tan malaka seorang yang atheis. Padahal ia adalah sosok yang hafidz al-qur’an. Tanpa membaca karyanya, riwayat tentangnya, kita pun tidak akan tahu siapa dia sebenarnya.
Oleh karena itu, dengan mengetahui sejarah para pejuang kita inilah, kita bisa mendalami semangat dan pesan-pesan yang bisa kita teladani untuk generasi muda kita. Tanpa mengetahui riwayat perjuangannya, membaca karyanya, mana mungkin kita akan tahu betapa sulit para pahlawan kita mempertahankan negeri ini, bagaimana mencintai negeri ini, dan bagaimana menerapkan sikap nasionalisme di era global saat ini.
Bangsa ini begitu kaya akan nama-nama pahlawan dan pejuang-pejuangnya mulai dari aceh sampai merauke. Dari laki-laki hingga pejuang perempuan. Para pahlawan itulah yang mencontohkan bagaimana kita bersikap dan memiliki jiwa nasionalisme yang sesungguhnya. Dengan membaca sejarah negeri ini, membaca riwayat pahlawan negeri kita, akan menjadikan kita orang yang bisa mengilhami, meneladani, dan menumbuhkan sikap nasionalisme yang kuat di dalam diri kita. Serta menumbuhkan kesadaran yang tinggi bahwa sejarah bangsa ini adalah sejarah yang penuh khazanah, penuh perjuangan, dan tidak dibangun dengan budaya foya-foya, tidak dibangun dengan budaya senang-senang, melainkan dibangun dengan semangat nasionalisme yang tinggi dengan semangat rela berkorban sebagai konsekuensinya.
Saya sudah biasa mendengar anak-anak kita tahu bapak Suharto. Sekaligus merasa iri dengan pak harto yang begitu popular sampai saat ini dibanding nama-nama lain seperti Sukarno, Muhammad hatta, Syahrir, dan lain-lain. Nama Pak Harto begitu popular dan begitu hangat menyapa generasi muda kita dibanding nama para founding fathers kita. Ketika ditanya siapa pak Harto rata-rata akan menjawab bapak pembangunan, bapak orde baru, dan lain sebagainya. Bahkan masih banyak pula orang tua kita atau bahkan diantara kita mengatakan : “Kalau saya boleh memilih, saya akan memilih hidup di jaman Suharto yang serba murah, serba makmur, serba mudah dari pada hidup di jaman SBY yang serba mahal, serba sulit, dan lain-lain”. Benak saya pun bergumam : barangkali nenek-nenek kita belum mengerti sejarah betapa kejamnya rezim Suharto, barangkali banyak generasi kita juga belum mengerti rezim suharto dibangun dengan berjuta darah dan kekejaman militer”.
Anak-anak dan generasi kita saat ini belum banyak mengerti sejarah yang digelapkan oleh orde baru selama 32 tahun itu. Selama itu pula saya tidak mengenal tan malaka bapak republic Indonesia yang dilupakan hingga saya masuk di perguruan tinggi. Itupun karena saya membaca buku-bukunya sendiri hingga saya mengenalinya. Tanpa saya membaca buku-buku tentangnya, dan karya-karyanya sendiri, barangkali selama hidup saya tidak akan mengerti tan malaka dan perjuangannya.
Pertanyaannya kemudian adalah apa pentingnya mengenal Tan malaka? apa pentingnya mengenal Sukarno, apa pentingnya mengenal Syahrir dan lain-lain?. Mengenal mereka adalah membaca Indonesia. Mengenal mereka adalah membaca semangat dan jiwa nasionalisme yang tak surut hingga akhir riwayat mereka. Kisah mereka adalah kisah tragis dan teladan yang tiada bandingnya tentang bagaimana memaknai perjuangan dan memaknai nasionalisme yang sesungguhnya.
Muhammad Hatta adalah tokoh yang gigih dengan konsepsi demokrasi ekonominya dengan konsep koperasinya, ekonomi Indonesia dan ekonomi kerakyatan bisa diwujudkan. Syahrir dengan kecerdasan berpolitiknya, sehingga ia ditakuti dan disegani oleh musuh-musuhnya. Dalam novel burung-burung manyar YB mangunwijaya bercerita : “ Mereka pun tahu;bukan Sukarno, tetapi syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya. Justru karena ia halus,justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatic. Orang macam ini mudah sekali memikat opini dunia”. Begitupun Sukarno yang dikenal sebagai sosok orator yang ulung, tapi juga sebagai sosok pria yang romantis di keluarganya.
Dari merekalah kita akan mengenal indonesia. dari merekalah kita menemukan semangat dan pendapat yang berbeda-beda tapi dengan satu tujuan. Dengan satu cinta mereka untuk indonesia merdeka 100 %. Mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan memperjuangkan dan merelakan hidupnya untuk indonesia tercinta.
Lalu, apa jadinya ketika sampai saat ini sejarah negeri ini masih saja belum bisa lurus?. Apa jadinya ketika anak-anak dan remaja kita lebih mengenal suharto tanpa tahu siapa sosok suharto yang sebenarnya?. Ketika hal ini terjadi, yang akan muncul adalah generasi yang hilang, generasi yang tak tahu arah, generasi yang tanpa pegangan.
Karena generasi yang tidak mampu membaca sejarah negerinya, adalah generasi yang jelas tidak mampu memahami pesan-pesan dan spirit para pejuang masa lalu, dan tidak bisa membaca karakteristik masyarakat kita, masa lampau, maupun membaca masyarakat kita di masa yang akan datang.
Jas Merah
Itulah pesan yang disampaikan oleh Sukarno JAS MERAH yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab sejarah adalah kejadian yang bisa diambil pelajaran dalam membaca situasi masa lampau untuk pelajaran di masa saat ini dan yang akan datang. Generasi kita perlu tahu dan memahami riwayat perjuangan para pahlawan kita untuk meneladani, mengilhami, serta menjadikan semangatnya adalah semangat generasi kita saat ini.
Pagi itu, saya semangat sekali mengajar di SMP tempat saya praktek mengajar. Ketika itu saya mencoba menanyakan pada murid-murid saya kelas 3 SLTP, apakah ada diantara anak-anak yang kenal tan malaka?. Mereka serentak menjawab “tidak!”. Tapi ketika saya tanya apakah anak-anak tahu Suharto?. Serentak menjawab “tahu pak…..”. Mereka mengenal pak suharto sebagai presiden kedua republic indonesia, tapi mereka tidak mengenal tan malaka, bahkan terasa asing di mata anak-anak tersebut. Kemudian di malam harinya saya kenal anak mahasiswa baru sebuah universitas di jogja lewat account facebook saya, ia terkejut ketika nama account facebook saya diganti dengan nama “tan muda” ia memberikan komentar tan muda itu makhluk apa?. Tan malaka itu siapa?. Saya hanya bisa sejenak diam, dan merenungkan apa jadinya ketika anak muda dan generasi kita kedepan buta Indonesia. Buta sejarah negerinya. Barangkali nasionalisme kita akan menjadi nasionalisme gincu semata yang hanya gemerlap dan meriah ketika mau peringatan kemerdekaan saja.
Nasionalisme kita hanya akan menjadi nasionalisme lamisan, yang hanya sebagai ritus-ritus belaka tapi miskin esensi, miskin makna. Kita fasih mengikuti upacara bendera setiap hari senin, kita rutin mendoakan pahlawan kita ketika mengheningkan cipta, tapi kita hampa, kita masih meraba, siapa mereka? apa sumbangsihnya bagi negeri ini? apa yang dia tinggalkan untuk kita? dan semangat seperti apa yang mereka wariskan kepada kita?.
Bagaimana kita tahu dan memahami mereka, ketika guru-guru kita tidak mengenalkan pahlawan-pahlawan kita saat ini? pahlawan-pahlawan kita hanya dijadikan museum dalam kelas sebagai hiasan dinding kita dalam keseharian kita, tanpa tahu riwayat dan perjuangan mereka. Apakah kita salah mengajarkan sejarah pada anak-anak kita?. Barangkali ini pertanyaan yang layak kita ajukan kepada kita semua.
Mungkin ada benarnya, sebab pelajaran sejarah kita selama ini hanya dijadikan hafalan semata tanpa kemudian kita tahu dan memahami apa makna yang dikandung dibalik peristiwa sejarah yang ada selama ini. Sejarah kita begitu mahir, begitu luar biasa ketika diukur dengan score A, atau angka 100 tapi begitu miskin esensi ketika dibenturkan dengan budaya dan semangat generasi muda saat ini. Dahulu para founding fathers kita adalah pemuda yang rajin sekali membaca buku, tetapi juga rajin berorasi di depan rakyat kita. Dulu para founding fathers kita adalah tokoh yang bergulat melawan penjajah dengan gigihnya. Akan tetapi, saat ini remaja dan pemuda kita adalah remaja yang rajin dan rutin mengikuti buku mode dan model hape terbaru. Generasi muda kita adalah generasi yang rajin ke mall, rajin mengamati gossip-gossip artis kita.
Kontradiksi inilah yang ada sampai saat ini. Sejarah kita pun juga terbentur masalah kurikulum yang kadang belum juga keluar dari tembok-tembok yang mengikat lagi terkesan kaku. Bukankah sejarah adalah penyajian yang objektif dan jujur?. Tetapi ketika kita melihat pengajaran sejarah kita di sekolah-sekolah kita, kita masih saja sulit menemukan nama tan malaka, riwayat, serta perjuangannya. Anehnya, justru sejarawan belanda Harry.A.Poeze yang meneliti tentang dia, menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menemukan kisah tentangnya.
Padahal tan malaka adalah bapak yang merumuskan tentang indonesia pertama kalinya dengan brosur politiknya dalam naar de republic indonesia. Sehingga sejarah dan pengajaran sejarah kita di sekolah-sekolah perlu dibenahi. Untuk menegaskan kembali, bahwa sejarah adalah kompas, sejarah adalah kaca mata kita dan generasi muda kita untuk melihat lebih jelas bagaimana masa lampau diciptakan, bagaimana keadaan sekarang terbentuk, dan bagaimana masa depan akan dirancang. Tanpa pembenahan metode, tanpa pelurusan sejarah kita kepada generasi kita, maka mustahil bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.
Sejarah dan nasionalisme
Dalam buku roman patjar merah Indonesia, ivan alminsky atau alimin yang waktu itu bertemu dengan kekasihnya, ia mengatakan : “Kekasihku, cintaku padamu bukan main besarnya, akan tetapi cintaku pada tanah airku lebih besar lagi….lebih mempengaruhi diriku. Janganlah bujuk dan rayu aku supaya mengabaikan kewajibanku terhadap tanah airku…..karena dengan berbuat demikian sia-sialah kelak hidupku diatas dunia ini tidak hanya oleh kawan ataupun lawan”.
Sikap alimin tadi adalah sikap seorang yang mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Meski dia begitu cinta pada kekasihnya, tapi ia rela meninggalkan kekasihnya demi tanah air Indonesia yang masih dijajah. Riwayat tersebut tidak akan kita temukan ketika kita tidak membaca sejarah Indonesia. Meskipun ini adalah roman yang setengah fiksi setengah non fiksi, ini adalah kisah sejarah kita yang perlu dijelaskan pada generasi muda kita. Membaca sejarah kita bisa dilakukan dengan membaca buku-buku, karya, dan riwayat tentang para pahlawan dan pejuang kemerdekaan kita.
Kita juga akan menemukan betapa luar biasanya sosok tan malaka yang sepanjang hidupnya dihabiskan di pelarian dan di penjara. Riwayatnya menjadi misteri hingga saat ini, hidupnya dihabiskan untuk merumuskan dan memikirkan nasib negerinya. Sampai-sampai ketika ia menyampaikan pidatonya yang dihadiri jenderal sudirman dalam kongres persatuan perjuangan, jenderal sudirman menyatakan dukungannya dengan kesimpulan : “lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%”.
Sikapnya yang konsisten menjadikannya dimusuhi oleh kawan ataupun lawan. Pemikirannya brilliant, visioner dan futuristic. Sehingga ia seringkali berbeda pendapat dengan kawan-kawannya. Hingga banyak yang tidak tahu sejarah tentangnya menganggap tan malaka seorang yang atheis. Padahal ia adalah sosok yang hafidz al-qur’an. Tanpa membaca karyanya, riwayat tentangnya, kita pun tidak akan tahu siapa dia sebenarnya.
Oleh karena itu, dengan mengetahui sejarah para pejuang kita inilah, kita bisa mendalami semangat dan pesan-pesan yang bisa kita teladani untuk generasi muda kita. Tanpa mengetahui riwayat perjuangannya, membaca karyanya, mana mungkin kita akan tahu betapa sulit para pahlawan kita mempertahankan negeri ini, bagaimana mencintai negeri ini, dan bagaimana menerapkan sikap nasionalisme di era global saat ini.
Bangsa ini begitu kaya akan nama-nama pahlawan dan pejuang-pejuangnya mulai dari aceh sampai merauke. Dari laki-laki hingga pejuang perempuan. Para pahlawan itulah yang mencontohkan bagaimana kita bersikap dan memiliki jiwa nasionalisme yang sesungguhnya. Dengan membaca sejarah negeri ini, membaca riwayat pahlawan negeri kita, akan menjadikan kita orang yang bisa mengilhami, meneladani, dan menumbuhkan sikap nasionalisme yang kuat di dalam diri kita. Serta menumbuhkan kesadaran yang tinggi bahwa sejarah bangsa ini adalah sejarah yang penuh khazanah, penuh perjuangan, dan tidak dibangun dengan budaya foya-foya, tidak dibangun dengan budaya senang-senang, melainkan dibangun dengan semangat nasionalisme yang tinggi dengan semangat rela berkorban sebagai konsekuensinya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda