Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Senin, Juli 12, 2010

Puisi & Kematian Bahasa???

Oleh Arif saifudin yudistira*)

Pengalaman kepenyairan di negeri ini begitu kompleks. Puisi mengisahkan penyair dalam berbagai kegetiran dan persimpangan kehidupan. Menulis puisi adalah pilihan yang mematikan dan sesuatu yang remeh. Remeh sebab pemerintah tak perlu ribut dan memutar kepala hanya untuk mengurusi dan menghidupi puisi. Puisi menjadi jalan keras untuk orang-orang Indonesia. Mungkin hanya di negeri ini para penyair yang sibuk dengan berbagai aktifitas yang serba keras. Sebab sejarah sastrawan Indonesia tentu berbeda dengan para sastrawan eropa yang mayoritas adalah kaum borjuis yang mengisi waktu luangnya. Sejarah sastra kita adalah sejarah sastra yang penuh dengan cerita dan makna. Barangkali itu pula yang menjadi sebab mengapa sastrawan sulit konsisten dan istiqomah mendalami sastranya di negeri ini.
Sebagaimana penuturan acep zam-zam noor. Bagi acep zam-zam noor menulis puisi memerlukan latihan yang berat, perlu “khusyuk, sabar, tulus, penuh cinta, tanpa pamrih, dan tidak gampang naik darah”[kompas 22 agustus 2009]. Lebih lanjut ia mengatakan, “sebenarnya metode menulis puisi saya ini sebenarnya lahir dari kebiasaan saya sehari-hari”. Kebiasaan sehari-hari acep sebagai seorang kolektor batu, pemelihara ikan, dan bonsai. Dari kebiasaan hidup itulah lahir sebuah metode menulis puisi. Bagi acep menulis puisi ibarat menggosok batu akik dengan sabar, hingga melahirkan spirit kekhusyukan, ketulusan, dan kecintaan. Maka dengan sensitifitas dan kecintaan yang tinggi itulah, lahir puisi yang bernilai dan bermakna bagi pembaca.
Pengalaman ini tentu berbeda dengan pengalaman afrizal malna. suatu kali afrizal pernah bercerita tentang pertanyaan seseorang yang menanyakan padanya tentang ”Apa batasan puisi?””Bagaimana cara menulis puisi yang baik?”. Afrizal pun menjawab dengan jawaban : Bisakah pertanyaan itu menjadi lebih baik lagi?”Apa itu cinta? Apa itu waktu?””Bagaimanakah hubungan tubuh dengan bahasa?”. [kompas,25 mei 2008]. Jawaban afrizal memang menjadi jawaban yang mungkin berbeda dengan kebiasaan para guru-guru kita di sekolah dulu. puisi, pantun, dan soneta, atau sejenisnya seperti mati di tangan guru-guru kita. Sebut saja pantun yang belum berubah hingga kini : “Bila ada sumur diladang, bolehkah kita menumpang mandi?,kalau ada umur yang panjang bolehkah kita berjumpa lagi”.
Puisi menjadi mati, atau sempit ketika memasuki pelajaran dan sekat-sekat yang formalistik. Barangkali guru-guru kita pada waktu itu pun mengalami pelajaran dan pengalaman yang sama ketika memasuki di bangku kuliah. Afrizal pun menyarankan mengubah itu semua dengan pertanyaan sederhana tapi kaya makna, apa itu cinta?. Apa itu waktu?. Dan apa hubungan tubuh dengan bahasa?.[kompas,25 mei 2008]. Maka dengan jawaban praktis pula, afrizal bercerita tentang puisi dan kepenyairan dengan mengatakan : Bebaskan saja tubuhmu supaya kamu bisa memasuki narasi tubuhmu sendiri.
Jawaban afrizal seperti ada kesamaan dengan acep zam-zam noor, kepenyairan, puisi, dan bahasa lahir bisa jadi tidak dari tubuh lagi, melainkan lahir dari cinta dan intuisi yang khusyuk, dan tulus. Cinta, khusyuk, dan tulus ini jarang dimiliki oleh penyair yang tergoda oleh motif-motif sepele. Uang, harta, ketenaran, bukanlah sesuatu yang menggoda bagi penyair, melainkan lebih dari itu, spirit berbagi, spirit memberi, dan spirit kehidupan itu barangkali menjadi sesuatu yang lebih unggul dari pada sekedar motif-motif duniawi tadi.
Kematian bahasa
Bahasa indonesia mengalami proses dan sejarah yang panjang di negeri ini. Bahasa indonesia pun mengalami gesekan dan pertempuran sengit dengan pengaruh kolonial dan bahasa-bahasa lain. Sehingga bahasa indonesia mengalami proses yang mengakibatkan bahasa indonesia menjadi seperti sekarang ini. Sehingga bahasa seringkali latah, gagap, bahkan menjadi kaku, ketika sampai di ruang-ruang pembelajaran bernama sekolah, kampus, dan lain-lain.
Guru, dosen, atau bahkan profesor bahasa sekalipun seringkali menjadi kaku untuk menjelaskan apa yang seringkali kita gunakan ini[bahasa indonesia]. Ini nyata ketika diungkapkan seorang guru yang mengeluh bagaimana ia dipaksa menjadi guru bahasa indonesia padahal ia seorang guru matematika di sekolahan. Kelatahan ini pun dialami dosen yang mengajarkan bagaimana menceritakan “tips membuat novel”,tips membuat puisi, tips menulis esai sastra, dan lain sebagainya. Bahasa menjadi miskin esensi ketika direduksi menjadi sekedar tugas atau makalah yang diitumpuk, disetor, dinilai oleh dosen dan menjadi bungkus kacang rebus.
Pertanyaannya kemudian kelatahan-kelatahan tadi apakah menandakan sebuah kematian bahasa?. atau kematian pelajaran bahasa?. Pertanyaan ini bisa kita jawab dari kisah keseharian di negeri ini. Seringkali para guru-guru kita, para pengajar kita, dan para dosen kita adalah penyampai bahasa, penyampai kurikulum bahasa,tapi bukan penulis novel, penulis puisi, atau penulis cerpen, yang lebih parah, mereka malas, mereka enggan melakukan pembelajaran sastra, sehingga ego intelektual pun menjadi lebih tinggi.
Tak heran, bahasa menjadi mati, tidak luwes, tidak hidup di tangan mereka-mereka. Apa jadinya 5- 10 tahun ke depan ketika bahasa mengalami siklus yang seperti ini. Apakah benar, kematian bahasa terjadi karena pelembagaan, pengkurikuluman, dan penginstitusian bahasa?.
Sepertinya saya sulit untuk menjawab tidak. Saya heran ketika melihat dan mendengar sendiri sejarah latar belakang afrizal yang mengatakan ” saya tidak suka ujian, tapi saya ikuti semua pelajaran ”. Ini begitu ironis dengan keadaan mahasiswa dan dosen-dosen kita sekarang, mereka mengejar score, mengejar kenaikan pangkat,mengejar uang, dan lain-lain melalui institusi bahasa.
Mungkinkah bahasa menjadi sesuatu yang berkembang ketika dihadapkan dengan penyempitan, pendisiplinan, dan kekakuan ketika di ruang pembelajaran?. Mungkinkah kita akan melepaskan tubuh kita untuk mengikrarkan niat kita tidak hanya mengajarkan menulis puisi, tapi juga membaca dan mengilhaminya?. Mungkinkah sastra dan bahasa bisa berkembang,ketika dihadapkan dengan kemalasan budaya baca kita?.

Penulis adalah pendiri komunitas tanda tanya UMS ,presidium kawah institute indonesia, belajar di universitas muhammadiyah surakarta.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda