Cita_Cita
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)1
“Manusia tanpa harapan, ia mayat berjalan”
[YB mangun wijaya,]
“Cita-cita itu ialah memperindah martabat manusia,
memuliakannya, mendekatkan kepada kesempurnaan”[RA.Kartini]
Betapa dalam dan bermaknanya cita-cita, ia ibarat sebuah ruh yang akan menghidupkan bara semangat dalam diri ini. Ia yang menggerakkan jiwa kita untuk terus optimis menjalani kehidupan ini, ia sinar disaat kita dalam gelap, ia adalah penghibur disaat kita kehilangan asa. Yah, cita-cita adalah segalanya bagi orang yang masih memiliki daya atau harapan untuk hidup.
Pernyataan YB mangun wijaya diatas tidaklah berlebihan, apalah arti hidup dan kehidupan ini tanpa adanya sebuah cita-cita atau harapan. Bahkan agama pun memotivasi umatnya dengan harapan-harapan. Harapan akan kebahagiaan akan kehidupan selanjutnya, harapan akan kehidupan yang kekal, dan sebagainya. Manusia tanpa cita-cita iamayat berjalan.
Tanpa cita-cita manusia tidak layak disebut manusia. Hidupnya berantakan, hidupnya penuh dengan ketidakjelasan, hidupnya dipenuhi dengan kekurangan dan ketidakpuasan. Bayangkan saja betapa tidak menentunya dan betapa tidak enaknya hidup tanpa tahu kemana kita melangkah, kemana hidup ini harus digerakkan, kemana kehidupan ini akan bermuara?.
Saya cukup terkesima dan takjub sekaligus tertegun ketika membaca roman pacar merah indonesia yang menceritakan sosok alimin yang meniggalkan cintanya demi sebuah cita-cita. Ia mengatakan kepada kekasihnya :
“Kekasihku, cintaku padamu bukan main besarnya, akan tetapi cintaku pada tanah airku lebih besar lagi….lebih mempengaruhi diriku. Janganlah bujuk dan rayu aku supaya mengabaikan kewajibanku terhadap tanah airku…..karena dengan berbuat demikian sia-sialah kelak hidupku diatas dunia ini tidak hanya oleh kawan ataupun lawan”[Ivan Alminsky].
Betapa dahsyatnya cita-cita mampu mengalahkan cinta seorang perempuan. Sungguh cita-cita begitu mempunyai daya pengaruh yang kuat untuk mendorong manusia melakukan sesuatu dalam hidupnya. Alimin menunjukkannya, begitupun tan malaka. rela meningalkan semuanya, demi satu cita-cita kemerdekaan indonesia 100 %.
Sosok berikutnya yang menunjukkan betapa kerasnya dan betapa kuat cita-cita mendorongnya mengarungi penjara kehidupannya menjalani hidup dalam kungkungan adat, demi terang dan demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan nasib rakyatnya. Kartini menunjukkannya.
Ia pernah menuliskan dalam suratnya kepada nyonya abendanon : ”Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar,penuh duri, onak, lubang;jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin.....belumdirintis!walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu,walaupun saya sudah akan patah ditengah jalan;saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meretas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumi putera”[Kartini].
Betapa gigih dan kuat seorang kartini lantang bersuara, melalui tulisannya. Sebab ia yakin melalui tulisanlah ia akan berjuang, karena tidak memungkinkan ia melakukan perjuangan lebih dari itu karena keadaan sosio-kultur masyarakat pada waktu itu. Kartini menunjukkan cintanya, menunjukkan kepeduliannya kepada nasib perempuan bumi putera demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Di dalam surat lain ia mengatakan : ” Perempuan sebagai pendukung peradaban!Bukannya karena perempuan yang dipandang cocok untuk tugas itu,tetapi karena saya sendiri juga yakin benar-benar bahwa dari perempuan dapat dipancarkan pengaruh besar, yang berakibat sangat jauh,baik yang bermanfaat maupun yang merugikan. Perempuanlah yang paling banyak dapat membantu manusia menerima pendidikannya yang pertama-tama, di pangkuan anak belajar merasa, berfikir, berbicara, dan makin lama makin mengerti saya, bahwa pendidikan yang paling awal itu tidak tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimana ibu-ibu bumi putera dapat mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik?”
Kartini melawan, melawan dengan segala keterbatasannya, ia ingin bahwa seluruh dunia tahu, seluruh dunia mendengar, bahwa perempuan juga berhak akan pendidikan, untuk tujuan kemanusiaan dan untuk tujuan bangsa dan peradaban negerinya. Indonesia.
Darimana kartini memperoleh dorongan yang sekuat itu, darimana kartini memperoleh keberanian semacam itu, dari sebuah perenungan dan dari sebuah cita-citanya. Ia mengatakan : ”Cita-cita kami menjadi satu dengan kehidupan kami,Kami tidak dapat hidup tanpa cita-cita,”.
Yah, dengan cita-citalah bangsa dan negara ini ada, dan dengan cita-citalah revolusi akan dapat kita selesaikan, dan dengan cita-cita pulalah kemerdekaan 100 % dapat diwujudkan, maka jangan takut menyuarakan cita-cita kita semua. Sebab ketakutan hanya akan membuat kita terkungkung dalam kegelapan. Demikian.
Penulis adalah presidium kawah institute indonesia, dimuat di koran pabelan UMS
“Manusia tanpa harapan, ia mayat berjalan”
[YB mangun wijaya,]
“Cita-cita itu ialah memperindah martabat manusia,
memuliakannya, mendekatkan kepada kesempurnaan”[RA.Kartini]
Betapa dalam dan bermaknanya cita-cita, ia ibarat sebuah ruh yang akan menghidupkan bara semangat dalam diri ini. Ia yang menggerakkan jiwa kita untuk terus optimis menjalani kehidupan ini, ia sinar disaat kita dalam gelap, ia adalah penghibur disaat kita kehilangan asa. Yah, cita-cita adalah segalanya bagi orang yang masih memiliki daya atau harapan untuk hidup.
Pernyataan YB mangun wijaya diatas tidaklah berlebihan, apalah arti hidup dan kehidupan ini tanpa adanya sebuah cita-cita atau harapan. Bahkan agama pun memotivasi umatnya dengan harapan-harapan. Harapan akan kebahagiaan akan kehidupan selanjutnya, harapan akan kehidupan yang kekal, dan sebagainya. Manusia tanpa cita-cita iamayat berjalan.
Tanpa cita-cita manusia tidak layak disebut manusia. Hidupnya berantakan, hidupnya penuh dengan ketidakjelasan, hidupnya dipenuhi dengan kekurangan dan ketidakpuasan. Bayangkan saja betapa tidak menentunya dan betapa tidak enaknya hidup tanpa tahu kemana kita melangkah, kemana hidup ini harus digerakkan, kemana kehidupan ini akan bermuara?.
Saya cukup terkesima dan takjub sekaligus tertegun ketika membaca roman pacar merah indonesia yang menceritakan sosok alimin yang meniggalkan cintanya demi sebuah cita-cita. Ia mengatakan kepada kekasihnya :
“Kekasihku, cintaku padamu bukan main besarnya, akan tetapi cintaku pada tanah airku lebih besar lagi….lebih mempengaruhi diriku. Janganlah bujuk dan rayu aku supaya mengabaikan kewajibanku terhadap tanah airku…..karena dengan berbuat demikian sia-sialah kelak hidupku diatas dunia ini tidak hanya oleh kawan ataupun lawan”[Ivan Alminsky].
Betapa dahsyatnya cita-cita mampu mengalahkan cinta seorang perempuan. Sungguh cita-cita begitu mempunyai daya pengaruh yang kuat untuk mendorong manusia melakukan sesuatu dalam hidupnya. Alimin menunjukkannya, begitupun tan malaka. rela meningalkan semuanya, demi satu cita-cita kemerdekaan indonesia 100 %.
Sosok berikutnya yang menunjukkan betapa kerasnya dan betapa kuat cita-cita mendorongnya mengarungi penjara kehidupannya menjalani hidup dalam kungkungan adat, demi terang dan demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan nasib rakyatnya. Kartini menunjukkannya.
Ia pernah menuliskan dalam suratnya kepada nyonya abendanon : ”Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar,penuh duri, onak, lubang;jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin.....belumdirintis!walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu,walaupun saya sudah akan patah ditengah jalan;saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meretas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumi putera”[Kartini].
Betapa gigih dan kuat seorang kartini lantang bersuara, melalui tulisannya. Sebab ia yakin melalui tulisanlah ia akan berjuang, karena tidak memungkinkan ia melakukan perjuangan lebih dari itu karena keadaan sosio-kultur masyarakat pada waktu itu. Kartini menunjukkan cintanya, menunjukkan kepeduliannya kepada nasib perempuan bumi putera demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Di dalam surat lain ia mengatakan : ” Perempuan sebagai pendukung peradaban!Bukannya karena perempuan yang dipandang cocok untuk tugas itu,tetapi karena saya sendiri juga yakin benar-benar bahwa dari perempuan dapat dipancarkan pengaruh besar, yang berakibat sangat jauh,baik yang bermanfaat maupun yang merugikan. Perempuanlah yang paling banyak dapat membantu manusia menerima pendidikannya yang pertama-tama, di pangkuan anak belajar merasa, berfikir, berbicara, dan makin lama makin mengerti saya, bahwa pendidikan yang paling awal itu tidak tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimana ibu-ibu bumi putera dapat mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik?”
Kartini melawan, melawan dengan segala keterbatasannya, ia ingin bahwa seluruh dunia tahu, seluruh dunia mendengar, bahwa perempuan juga berhak akan pendidikan, untuk tujuan kemanusiaan dan untuk tujuan bangsa dan peradaban negerinya. Indonesia.
Darimana kartini memperoleh dorongan yang sekuat itu, darimana kartini memperoleh keberanian semacam itu, dari sebuah perenungan dan dari sebuah cita-citanya. Ia mengatakan : ”Cita-cita kami menjadi satu dengan kehidupan kami,Kami tidak dapat hidup tanpa cita-cita,”.
Yah, dengan cita-citalah bangsa dan negara ini ada, dan dengan cita-citalah revolusi akan dapat kita selesaikan, dan dengan cita-cita pulalah kemerdekaan 100 % dapat diwujudkan, maka jangan takut menyuarakan cita-cita kita semua. Sebab ketakutan hanya akan membuat kita terkungkung dalam kegelapan. Demikian.
Penulis adalah presidium kawah institute indonesia, dimuat di koran pabelan UMS
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda