Refleksi Kritis Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh Arif saifudin yudistira*)
“ Ganjaran didapatkan oleh mereka yang bisa
menemukan dalih-dalih yang pintar untuk mendukung ketidakadilan,dan hukuman didapatkan oleh mereka yang mencoba menghilangkan ketidakadilan”
[Betrand Russel]
Gambaran yang diungkapkan oleh betrand russel tadi seperti mencerminkan keadaan negeri ini dalam melakukan upaya penegakan hukum di indonesia. Sepertinya hukum hanya milik orang yang memiliki ”kuasa”.
Hukum hanya menjadi sekedar simbolik semata, dan menjadi sebuah permainan bagi orang-orang yang mempunyai ”kuasa” tadi. Kuasa disini memiliki makna bisa bervariasi. Bisa kuasa dalam bentuk modal, modal sosial, modal material, ataupun modal intelektual.
Prita dan minah hanya salah satu contoh para kaum tak punya berhadapan dengan masalah hukum. Pasrah dan tak berdaya karena mereka tak punya kuasa. Nasib penegakan hukum ini tidak terlepas dari mentalitas para pejabat hukum maupun pejabat publik.
Pertanyaan kemudian, apakah hubungan komitmen aparat penegak hukum akan berbanding lurus dengan kualitas penegakan hukum di negeri ini?. Pertanyaan ini menjadi tidak mudah dijawab ketika dikatikan dengan konteks indonesia.
Apakah sistem hukum yang salah ataukah manusianya yang memaknai dan menginterpretasikan hukum yang salah?.Menjadi hal yang dilematis karena sebenarnya aturan hukum kita adalah warisan kolonial yang belum banyak mengalami perubahan pada satu sisi. Akan tetapi, pada sisi lain, manusia indonesia sudah demikian akut dalam hal budaya penegakan hukumnya.
Faktanya, indonesia masih menempati 5 besar untuk kategori negara paling korup. Belum lagi masalah-masalah jual- beli kasus yang sudah bukan lagi menjadi rahasia yang umum. Kasus yang belum lama misalnya pada kasus pelanggaran pemilu. Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau ”siapa yang bayar, siapa yang menang” yang punya duitlah yang menang.
Maka tidak heran, pemimpin yang dihasilkan dari membeli suara rakyat, akan balas dendam dengan menindas rakyatnya pula dengan menelorkan kebijakan yang kurang berfihak pada rakyat.
Budaya korupsi di indonesia sudah begitu mengakar baik dari kalangan bawah sampai dengan kalangan atas. Baik dari kalangan rakyat, sampai kalangan pemerintah. Budaya ini terbentuk bukan dalam proses yang singkat melainkan dalam proses dan rentan historis yang panjang.
Email durkheim mengatakan bahwasannya kebudayaan itu adalah sesuatu yang berada di luar kemampuan kita,diluar kemampuan perseorangan,dan memaksakan kehendaknya pada para individu.
Budaya korupsi pun tidak jauh berbeda, salah satu studi kasus pada korupsi penggunaan waktu. Sebelumnya dosen terlambat ataupun mahasiswa terlambat adalah kesalahan fatal, akan tetapi karena sudah membudaya, ini dianggap wajar. Dan inipun merambah pada korupsi uang.
Bagaimana seharusnya???
Kembali kepada permasalahan di indonesia, apakah kemudian kita menyalahkan sistem kita atau kemudian kita menyalahkan orang-orang yang kurang kapabel dalam penegakan sistem hukum kita?.
Hubungan sistem hukum kita dengan aparat penegak hukum kita tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Menurut hemat kami, dua-duanya menjadi hal yang fundamental dalam menentukan kualitas penegakan hukum di indonesia.
Sistem hukum kita perlu kita perbaiki pada satu sisi, akan tetapi, kita perlu generasi yang cerdas bukan hanya secara intelektual, akan tetapi cerdas pula secara nurani atau moralitas. Sehingga, penegakan hukum di indonesia juga dipengaruhi aspek manusiawinya.
Dengan menyiapkan generasi cerdas secara intelektual dan secara moral,maka ke depan diharapkan negeri ini mulai bangkit dan menata kembali upaya penegakan hukum ini menjadi lebih berkualitas.
Di negeri ini masih banyak para pemikir yang mulai menyadari kesalahan dan kekurangan aturan dan sistem hukum kita. Sebut saja Prof. Satjipto Raharjo yang menawarkan konsepsi hukum progresifnya.
Kegelisahan para intelektual dan para akademisi inilah yang diharapkan mampu mengubah keadaan hukum kita menjadi benar, sehingga dengan aturan yang benar-benar diterapkan untuk kemaslahatan manusia, untuk kebaikan umat, maka negeri diharapkan mampu menciptakan kondisi yang aman, nyaman dan damai dalam masyarakat.
Ketika sistem kita sudah cukup bagus, maka tinggal bagaimana menggiatkan budaya sadar hukum dalam setiap kehidupan. Kebiasaan ini bisa dimulai dari lingkup terkecil bangsa, yaitu mulai dari lingkungan keluarga.
Sebab pendidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat akan lebih berhasil dalam mengubah kultur masyarakat, dari pada pendidikan formal.Dengan demikian, cita-cita mewujudkan masyarakat yang sadar hukum masyarakat yang sadar aturan menjadi sesuatu yang bukan hanya mimpi, tetapi sebuah usaha bersama semua elemen masyarakat dan negara. Demikian.
Penulis adalah mahasiswa UMS, presidium kawah institute indonesia, tulisan ini di muat di koran pabelan 26- 01- 2010
“ Ganjaran didapatkan oleh mereka yang bisa
menemukan dalih-dalih yang pintar untuk mendukung ketidakadilan,dan hukuman didapatkan oleh mereka yang mencoba menghilangkan ketidakadilan”
[Betrand Russel]
Gambaran yang diungkapkan oleh betrand russel tadi seperti mencerminkan keadaan negeri ini dalam melakukan upaya penegakan hukum di indonesia. Sepertinya hukum hanya milik orang yang memiliki ”kuasa”.
Hukum hanya menjadi sekedar simbolik semata, dan menjadi sebuah permainan bagi orang-orang yang mempunyai ”kuasa” tadi. Kuasa disini memiliki makna bisa bervariasi. Bisa kuasa dalam bentuk modal, modal sosial, modal material, ataupun modal intelektual.
Prita dan minah hanya salah satu contoh para kaum tak punya berhadapan dengan masalah hukum. Pasrah dan tak berdaya karena mereka tak punya kuasa. Nasib penegakan hukum ini tidak terlepas dari mentalitas para pejabat hukum maupun pejabat publik.
Pertanyaan kemudian, apakah hubungan komitmen aparat penegak hukum akan berbanding lurus dengan kualitas penegakan hukum di negeri ini?. Pertanyaan ini menjadi tidak mudah dijawab ketika dikatikan dengan konteks indonesia.
Apakah sistem hukum yang salah ataukah manusianya yang memaknai dan menginterpretasikan hukum yang salah?.Menjadi hal yang dilematis karena sebenarnya aturan hukum kita adalah warisan kolonial yang belum banyak mengalami perubahan pada satu sisi. Akan tetapi, pada sisi lain, manusia indonesia sudah demikian akut dalam hal budaya penegakan hukumnya.
Faktanya, indonesia masih menempati 5 besar untuk kategori negara paling korup. Belum lagi masalah-masalah jual- beli kasus yang sudah bukan lagi menjadi rahasia yang umum. Kasus yang belum lama misalnya pada kasus pelanggaran pemilu. Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau ”siapa yang bayar, siapa yang menang” yang punya duitlah yang menang.
Maka tidak heran, pemimpin yang dihasilkan dari membeli suara rakyat, akan balas dendam dengan menindas rakyatnya pula dengan menelorkan kebijakan yang kurang berfihak pada rakyat.
Budaya korupsi di indonesia sudah begitu mengakar baik dari kalangan bawah sampai dengan kalangan atas. Baik dari kalangan rakyat, sampai kalangan pemerintah. Budaya ini terbentuk bukan dalam proses yang singkat melainkan dalam proses dan rentan historis yang panjang.
Email durkheim mengatakan bahwasannya kebudayaan itu adalah sesuatu yang berada di luar kemampuan kita,diluar kemampuan perseorangan,dan memaksakan kehendaknya pada para individu.
Budaya korupsi pun tidak jauh berbeda, salah satu studi kasus pada korupsi penggunaan waktu. Sebelumnya dosen terlambat ataupun mahasiswa terlambat adalah kesalahan fatal, akan tetapi karena sudah membudaya, ini dianggap wajar. Dan inipun merambah pada korupsi uang.
Bagaimana seharusnya???
Kembali kepada permasalahan di indonesia, apakah kemudian kita menyalahkan sistem kita atau kemudian kita menyalahkan orang-orang yang kurang kapabel dalam penegakan sistem hukum kita?.
Hubungan sistem hukum kita dengan aparat penegak hukum kita tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Menurut hemat kami, dua-duanya menjadi hal yang fundamental dalam menentukan kualitas penegakan hukum di indonesia.
Sistem hukum kita perlu kita perbaiki pada satu sisi, akan tetapi, kita perlu generasi yang cerdas bukan hanya secara intelektual, akan tetapi cerdas pula secara nurani atau moralitas. Sehingga, penegakan hukum di indonesia juga dipengaruhi aspek manusiawinya.
Dengan menyiapkan generasi cerdas secara intelektual dan secara moral,maka ke depan diharapkan negeri ini mulai bangkit dan menata kembali upaya penegakan hukum ini menjadi lebih berkualitas.
Di negeri ini masih banyak para pemikir yang mulai menyadari kesalahan dan kekurangan aturan dan sistem hukum kita. Sebut saja Prof. Satjipto Raharjo yang menawarkan konsepsi hukum progresifnya.
Kegelisahan para intelektual dan para akademisi inilah yang diharapkan mampu mengubah keadaan hukum kita menjadi benar, sehingga dengan aturan yang benar-benar diterapkan untuk kemaslahatan manusia, untuk kebaikan umat, maka negeri diharapkan mampu menciptakan kondisi yang aman, nyaman dan damai dalam masyarakat.
Ketika sistem kita sudah cukup bagus, maka tinggal bagaimana menggiatkan budaya sadar hukum dalam setiap kehidupan. Kebiasaan ini bisa dimulai dari lingkup terkecil bangsa, yaitu mulai dari lingkungan keluarga.
Sebab pendidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat akan lebih berhasil dalam mengubah kultur masyarakat, dari pada pendidikan formal.Dengan demikian, cita-cita mewujudkan masyarakat yang sadar hukum masyarakat yang sadar aturan menjadi sesuatu yang bukan hanya mimpi, tetapi sebuah usaha bersama semua elemen masyarakat dan negara. Demikian.
Penulis adalah mahasiswa UMS, presidium kawah institute indonesia, tulisan ini di muat di koran pabelan 26- 01- 2010
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda