Belajar dari Sudjatmoko,21 desember 2009
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Hari ini tepat 20 tahun kepergian sudjatmoko. Seorang tokoh intelektual terbesar di indonesia. Meski pendidikan formalnya tidak pernah dia selesaikan, pemikirannya tetap diakui dunia.
Meski telah merampungkan usianya 20 tahun yang lalu, pemikiran koko masih relevan hingga saat ini. Sebab pemikiran sudjatmoko lahir dari rahim dan khazanah indonesia. Pemikiran dan perenungannya lahir dari keadaan negerinya, sampai pada keadaan dunia. Berbagai bidang seperti tak lewat dari sentuhan dan perhatiannya. Bidang agama, sosial,ekonomi, budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Sudjatmoko meski lahir bukan dari rahim pendidikan formal, ia membuktikan bahwasannya pendidikan tidak selalu dibatasi dengan sekat-sekat dan tembok-tembok besar yang angkuh dan terpisah dari masyarakat.
Dalam kumpulan tulisan yang diterbitkan LP3ES yang berjudul ”Etika pembebasan” ia mengatakan : ”kita harus meruntuhkan tembok yang memisahkan sekolah dari masyarakat, pengajaran harus menjadi bagian dari partisipasi dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat”
Pesan ini masih relevan dengan keadaan pendidikan di tanah air kita ini. Di tengah keadaan pendidikan kita yang masih terpaku dengan logika angka-angka, yang bersi kukuh dengan ujian nasional. Ini merupakan contoh fenomena pendidikan yang memisahkan sekolah dari realitanya.
Apalagi di perguruan tinggi, Mahasiswa saat ini dijejali dengan logika cepat lulus yang akrab di ruang belajarnya dan lalai akan tugas moralnya memikirkan nasib negerinya. Ini menjadi perhatian sudjatmoko dan kontemplasinya di bidang pendidikan, meski ia tidak selesai pada pendidikan formalnya.
Kritik sudjatmoko ini masih relevan dengan pendidikan negeri ini yang masih carut marut dan dalam tahap pembenahan. Oleh karena itu, belajar dari sudjatmoko adalah belajar tentang indonesia pada masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang.
Pemikiran sudjatmoko tidak lepas dari latar belakang sosialnya. Selain menjadi anggota partai sosialis indonesia, ia pun sempat terlibat dalam kegiatan internasional seperti menjadi delegasi PBB, serta mendapatkan gelar doctor honoris causa bidang hukum dari Cedar Crest College Pennsylvania, dan pada 1970 doktor untuk bidang humaniora dari Universitas Yale, Connecticut, AS.
Rektor PBB(1980-1987) ini terkenal dengan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Sehingga pada tahun 1978, ia mendapat hadiah (Rp 8 juta) dari Yayasan Ramon Magsaysay. Pendapat-pendapatnya yang dinilai sebagai, Sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar masa kini, yakni bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40 persen rakyat Asia Tenggara dan Selatan, yang merupakan lapisan paling miskin.
Pemikiran koko di bidang ekonomi dan pembangunan pada waktu itu, patut dijadikan renungan untuk melihat indonesia saat ini. ia mengatakan :” Pada hakekatnya ciri pokok dari usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri, dan bukan investasi modal asing. Hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan hal itu hanya mungkin jikalau ada perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat itu sendiri”....
Ini sangat kontras dengan program SBY 5 tahun mendatang. Menteri keuangan, menteri ekonomi, dan menteri perdagangan seakan-akan sepakat serentak untuk menggalakkan investasi yang sebesar-besarnya dan menumpas habis kebijakan yang menghalang-halanginya.
Ini pun ditutup-tutupi dengan menggunakan bahasa politis untuk kesejahteraan rakyat, demi kemajuan bersama, dan lain-lain. Padahal, pola pembangunan yang demikian, sama halnya mendidik bangsa kita untuk tidak semakin mandiri., serta melepaskan tanggungjawab negara kepada swasta dan asing.
Maka kita tidak perlu heran jika pemerintahan kita saat ini pro neo liberalisme dan pasar. Sebab dari sisi aturan undang-undangnya sudah berfihak pada investor-investor. Seperti pada UU penanaman modal tahun 2007, UU MINERBA, UU ketenagalistrikan,UU BHP, dan lain-lain.
Sampai-sampai Presiden SBY begitu takut dengan permasalahan century yang dikhawatirkan akan mengguncang stabilitas pasar. Ini jelas-jelas menunjukkan bahwa pemerintah kita tidak punya daya tawar dan tidak berdaya lagi dengan jeratan globalisasi dan pasar bebas.
Lebih lanjut koko berpesan : ”yang kita perlukan ialah suatu pola pembangunan yang employment oriented yang mengutamakan keadilan sosial dan memperkuat kesanggupan untuk berdiri diatas kaki sendiri”
Berdiri diatas kaki sendiri tidak akan mungkin dilakukan jika kita masih menggantungkan diri kepada negara lain maupun investor asing terus-menerus. Jika demikian halnya, maka ekonomi nasional kita sudah bergeser dari nilai-nilai ekonomi kerakyatan menuju ekonomi kapitalis.
Merenungi dan mengilhami kembali pesan-pesan koko, akan membuat kita berfikir ulang, bahwa kita perlu menata kembali keadaan negeri ini di semua bidang. Di bidang pendidikan, di bidang ekonomi dan pembangunan, politik, dan lain sebagainya.
Pemikiran sudjatmoko bisa dijadikan refleksi bersama di tengah kondisi negeri ini yang carut-marut di berbagai bidang. Terakhir kali koko juga berpesan bahwa ”penting untuk memiliki keberanian merasa optimis, sebab optimisme perjuangan adalah nilai kehidupan bangsa”. Demikian.
Penulis adalah Presidium Kawah Institute Indonesia, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Hari ini tepat 20 tahun kepergian sudjatmoko. Seorang tokoh intelektual terbesar di indonesia. Meski pendidikan formalnya tidak pernah dia selesaikan, pemikirannya tetap diakui dunia.
Meski telah merampungkan usianya 20 tahun yang lalu, pemikiran koko masih relevan hingga saat ini. Sebab pemikiran sudjatmoko lahir dari rahim dan khazanah indonesia. Pemikiran dan perenungannya lahir dari keadaan negerinya, sampai pada keadaan dunia. Berbagai bidang seperti tak lewat dari sentuhan dan perhatiannya. Bidang agama, sosial,ekonomi, budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Sudjatmoko meski lahir bukan dari rahim pendidikan formal, ia membuktikan bahwasannya pendidikan tidak selalu dibatasi dengan sekat-sekat dan tembok-tembok besar yang angkuh dan terpisah dari masyarakat.
Dalam kumpulan tulisan yang diterbitkan LP3ES yang berjudul ”Etika pembebasan” ia mengatakan : ”kita harus meruntuhkan tembok yang memisahkan sekolah dari masyarakat, pengajaran harus menjadi bagian dari partisipasi dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat”
Pesan ini masih relevan dengan keadaan pendidikan di tanah air kita ini. Di tengah keadaan pendidikan kita yang masih terpaku dengan logika angka-angka, yang bersi kukuh dengan ujian nasional. Ini merupakan contoh fenomena pendidikan yang memisahkan sekolah dari realitanya.
Apalagi di perguruan tinggi, Mahasiswa saat ini dijejali dengan logika cepat lulus yang akrab di ruang belajarnya dan lalai akan tugas moralnya memikirkan nasib negerinya. Ini menjadi perhatian sudjatmoko dan kontemplasinya di bidang pendidikan, meski ia tidak selesai pada pendidikan formalnya.
Kritik sudjatmoko ini masih relevan dengan pendidikan negeri ini yang masih carut marut dan dalam tahap pembenahan. Oleh karena itu, belajar dari sudjatmoko adalah belajar tentang indonesia pada masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang.
Pemikiran sudjatmoko tidak lepas dari latar belakang sosialnya. Selain menjadi anggota partai sosialis indonesia, ia pun sempat terlibat dalam kegiatan internasional seperti menjadi delegasi PBB, serta mendapatkan gelar doctor honoris causa bidang hukum dari Cedar Crest College Pennsylvania, dan pada 1970 doktor untuk bidang humaniora dari Universitas Yale, Connecticut, AS.
Rektor PBB(1980-1987) ini terkenal dengan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Sehingga pada tahun 1978, ia mendapat hadiah (Rp 8 juta) dari Yayasan Ramon Magsaysay. Pendapat-pendapatnya yang dinilai sebagai, Sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar masa kini, yakni bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40 persen rakyat Asia Tenggara dan Selatan, yang merupakan lapisan paling miskin.
Pemikiran koko di bidang ekonomi dan pembangunan pada waktu itu, patut dijadikan renungan untuk melihat indonesia saat ini. ia mengatakan :” Pada hakekatnya ciri pokok dari usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri, dan bukan investasi modal asing. Hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan hal itu hanya mungkin jikalau ada perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat itu sendiri”....
Ini sangat kontras dengan program SBY 5 tahun mendatang. Menteri keuangan, menteri ekonomi, dan menteri perdagangan seakan-akan sepakat serentak untuk menggalakkan investasi yang sebesar-besarnya dan menumpas habis kebijakan yang menghalang-halanginya.
Ini pun ditutup-tutupi dengan menggunakan bahasa politis untuk kesejahteraan rakyat, demi kemajuan bersama, dan lain-lain. Padahal, pola pembangunan yang demikian, sama halnya mendidik bangsa kita untuk tidak semakin mandiri., serta melepaskan tanggungjawab negara kepada swasta dan asing.
Maka kita tidak perlu heran jika pemerintahan kita saat ini pro neo liberalisme dan pasar. Sebab dari sisi aturan undang-undangnya sudah berfihak pada investor-investor. Seperti pada UU penanaman modal tahun 2007, UU MINERBA, UU ketenagalistrikan,UU BHP, dan lain-lain.
Sampai-sampai Presiden SBY begitu takut dengan permasalahan century yang dikhawatirkan akan mengguncang stabilitas pasar. Ini jelas-jelas menunjukkan bahwa pemerintah kita tidak punya daya tawar dan tidak berdaya lagi dengan jeratan globalisasi dan pasar bebas.
Lebih lanjut koko berpesan : ”yang kita perlukan ialah suatu pola pembangunan yang employment oriented yang mengutamakan keadilan sosial dan memperkuat kesanggupan untuk berdiri diatas kaki sendiri”
Berdiri diatas kaki sendiri tidak akan mungkin dilakukan jika kita masih menggantungkan diri kepada negara lain maupun investor asing terus-menerus. Jika demikian halnya, maka ekonomi nasional kita sudah bergeser dari nilai-nilai ekonomi kerakyatan menuju ekonomi kapitalis.
Merenungi dan mengilhami kembali pesan-pesan koko, akan membuat kita berfikir ulang, bahwa kita perlu menata kembali keadaan negeri ini di semua bidang. Di bidang pendidikan, di bidang ekonomi dan pembangunan, politik, dan lain sebagainya.
Pemikiran sudjatmoko bisa dijadikan refleksi bersama di tengah kondisi negeri ini yang carut-marut di berbagai bidang. Terakhir kali koko juga berpesan bahwa ”penting untuk memiliki keberanian merasa optimis, sebab optimisme perjuangan adalah nilai kehidupan bangsa”. Demikian.
Penulis adalah Presidium Kawah Institute Indonesia, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda