Perempuan & Erotika Media Massa
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Hampir setiap hari kita disuguhi berita, gambar, serta foto-foto yang penuh dengan daya erotis menghiasi keseharian kita. Disadari atau tidak, media punya pamrih dalam menyuguhkan itu semua kepada pembaca dan kita semua.
Wanita menjadi objek dalam konteks ini. Hampir di setiap situs tiap harinya kita akan dengan mudah menemukan perempuan dengan telanjang dada, adegan cium, bahkan adegan senggama pun tak luput masuk ke media-media kita. Fenomena erotika media massa memang menjadi pilihan yang cukup bertaruh untuk memperbesar dan memperoleh kapital.
Kemampuan media massa yang begitu besar menerbitkan berita-beritanya, tak kan lepas dari peran perempuan sebagai objek dalam erotica media massa. Erotica media massa di definisikan oleh Sarlito dan Ristanti Kolopaking,sebagai “pemberitaan baik artikel maupun gambar yang mengandung makna erotik, seperti menampilkan telanjang dada pada tubuh wanita,dan menampilkan adegan cium bahkan senggama”.
Apalagi, era digital dan modernitas semakin menghantarkan perempuan kita untuk lebih mau menampilkan citra erotis dari pada yang lebih elegan, sopan, atau katakanlah feminin karena didasari oleh motif mencari kapital juga.
Keadaan ini menjadi lumrah atas klaim gaji yang cukup berterima kepada perempuan yang mau menjadi objek erotis pada media massa. Dari iklan TV, dari iklan sabun, dan iklan-iklan yang lain, dan dari penyiar berita,
Variasi imbalan menjadi motifasi wanita untuk tampil erotis di media massa. Imbalan ini cukup merangsang perempuan untuk berlomba-lomba dengan mendaftarkan diri dan optimisme serta mimpi mendapat gaji yang cukup tinggi.
Ajang pencari bakat dalam dunia entertainment misalnya dengan sekolah model, audisi FI, audisi Indonesian idol, audisi puteri indonesia, sering kali juga menggunakan erotica media sebagai sarana dalam memasarkan produk produk capital ataupun produk non capital.
Pada tahun 19993 majalah Tempo nomor 36 november pernah memuat gambar Dewi sukarno yang dicetak ulang untuk memenuhi kebutuhan pembaca. Film-film pun menyusul dengan adegan yang lebih dari sekedar erotis seperti : “sliver, basic instinct,save me, serta film dari indonesia yang bertajuk :“ cinta &nafsu”, “Ranjang pemikat”, “Selir”, dll.
Ajang pemilihan berbagai nominasi-nominasi pun dihadirkan sebagai apresiasi dan kontrak sosial. Bahwa secara tidak langsung transaksi untuk menyerahkan eksploitasi tubuh perempuan itu sendiri [Bengin, Burhan, juni 2001].
Relasi perempuan dengan Erotika media massa mengilhami bahwasannya erotica media massa seringkali masih relevan dengan keadaan kita sekarang, serta membuat kita merefleksikan kembali bahwasannya perempuan sebagai subjek jelas di kuasai oleh motif kapitalisme dan komersialisasi produk ataupun acara yang menjual.
Ambil saja contoh dalam erotica televisi dalam menyiarkan acara yang berhubungan dengan langsung dengan kapitalisasi. Seperti acara ulang tahun bank BRI dengan alya rohali sebagai icon untuk menaikkan grade acara, dan lain-lain.
Ini merupakan contoh kapitalisasi dan komersialisasi pada tubuh perempuan. Ini menggambarkan bahwasannya nanti akan ada relasi secara cultural dan simbolis. Bahwa tubuh wanita dalam keadaan lain, bisa diidentikkan dengan bodi mobil seperti dalam iklan produk mobil atau motor pada majalah- majalah remaja.
Fenomena terbaru misalnya terjadi pada kekompakan media massa maupun elektronik dalam menyoroti tamara blezinsky yang tampil erotis dalam film terbarunya. Ini dimanfaatkan oleh jaringan komunikasi dan media untuk mengekspose ini dalam acara-acara mereka.
Dengan melihat erotica media massa ini, akan mempengaruhi opini public dan perhatian public yang kalau kita tilik pada dasarnya memang tidak ada relasi kepentingan antara masyarakat dengan Tamara blezinsky dalam konteks ini.
Mungkin kita mesti merefleksikan kembali apakah memang erotica media massa dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan atau justru sebaliknya malah menindas dan mengeksploitasi perempuan. Begitu.
*)penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Presidium kawah Institute Indonesia [pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner]
Hampir setiap hari kita disuguhi berita, gambar, serta foto-foto yang penuh dengan daya erotis menghiasi keseharian kita. Disadari atau tidak, media punya pamrih dalam menyuguhkan itu semua kepada pembaca dan kita semua.
Wanita menjadi objek dalam konteks ini. Hampir di setiap situs tiap harinya kita akan dengan mudah menemukan perempuan dengan telanjang dada, adegan cium, bahkan adegan senggama pun tak luput masuk ke media-media kita. Fenomena erotika media massa memang menjadi pilihan yang cukup bertaruh untuk memperbesar dan memperoleh kapital.
Kemampuan media massa yang begitu besar menerbitkan berita-beritanya, tak kan lepas dari peran perempuan sebagai objek dalam erotica media massa. Erotica media massa di definisikan oleh Sarlito dan Ristanti Kolopaking,sebagai “pemberitaan baik artikel maupun gambar yang mengandung makna erotik, seperti menampilkan telanjang dada pada tubuh wanita,dan menampilkan adegan cium bahkan senggama”.
Apalagi, era digital dan modernitas semakin menghantarkan perempuan kita untuk lebih mau menampilkan citra erotis dari pada yang lebih elegan, sopan, atau katakanlah feminin karena didasari oleh motif mencari kapital juga.
Keadaan ini menjadi lumrah atas klaim gaji yang cukup berterima kepada perempuan yang mau menjadi objek erotis pada media massa. Dari iklan TV, dari iklan sabun, dan iklan-iklan yang lain, dan dari penyiar berita,
Variasi imbalan menjadi motifasi wanita untuk tampil erotis di media massa. Imbalan ini cukup merangsang perempuan untuk berlomba-lomba dengan mendaftarkan diri dan optimisme serta mimpi mendapat gaji yang cukup tinggi.
Ajang pencari bakat dalam dunia entertainment misalnya dengan sekolah model, audisi FI, audisi Indonesian idol, audisi puteri indonesia, sering kali juga menggunakan erotica media sebagai sarana dalam memasarkan produk produk capital ataupun produk non capital.
Pada tahun 19993 majalah Tempo nomor 36 november pernah memuat gambar Dewi sukarno yang dicetak ulang untuk memenuhi kebutuhan pembaca. Film-film pun menyusul dengan adegan yang lebih dari sekedar erotis seperti : “sliver, basic instinct,save me, serta film dari indonesia yang bertajuk :“ cinta &nafsu”, “Ranjang pemikat”, “Selir”, dll.
Ajang pemilihan berbagai nominasi-nominasi pun dihadirkan sebagai apresiasi dan kontrak sosial. Bahwa secara tidak langsung transaksi untuk menyerahkan eksploitasi tubuh perempuan itu sendiri [Bengin, Burhan, juni 2001].
Relasi perempuan dengan Erotika media massa mengilhami bahwasannya erotica media massa seringkali masih relevan dengan keadaan kita sekarang, serta membuat kita merefleksikan kembali bahwasannya perempuan sebagai subjek jelas di kuasai oleh motif kapitalisme dan komersialisasi produk ataupun acara yang menjual.
Ambil saja contoh dalam erotica televisi dalam menyiarkan acara yang berhubungan dengan langsung dengan kapitalisasi. Seperti acara ulang tahun bank BRI dengan alya rohali sebagai icon untuk menaikkan grade acara, dan lain-lain.
Ini merupakan contoh kapitalisasi dan komersialisasi pada tubuh perempuan. Ini menggambarkan bahwasannya nanti akan ada relasi secara cultural dan simbolis. Bahwa tubuh wanita dalam keadaan lain, bisa diidentikkan dengan bodi mobil seperti dalam iklan produk mobil atau motor pada majalah- majalah remaja.
Fenomena terbaru misalnya terjadi pada kekompakan media massa maupun elektronik dalam menyoroti tamara blezinsky yang tampil erotis dalam film terbarunya. Ini dimanfaatkan oleh jaringan komunikasi dan media untuk mengekspose ini dalam acara-acara mereka.
Dengan melihat erotica media massa ini, akan mempengaruhi opini public dan perhatian public yang kalau kita tilik pada dasarnya memang tidak ada relasi kepentingan antara masyarakat dengan Tamara blezinsky dalam konteks ini.
Mungkin kita mesti merefleksikan kembali apakah memang erotica media massa dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan atau justru sebaliknya malah menindas dan mengeksploitasi perempuan. Begitu.
*)penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Presidium kawah Institute Indonesia [pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner]
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda