Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Februari 14, 2010

"Reposisi Muhammadiyah Di tengah Dinamika Kebangsaan"



Oleh Arif Saifudin yudistira*)

Memasuki abad ke 2, muhammadiyah perlu menata kembali peranannya dalam dinamika politik kebangsaan di negeri ini. Penting kiranya muhammadiyah untuk merumuskan kembali kemana posisi muhammadiyah ini ditempatkan.
Meski sudah menjadi khittoh perjuangan muhamadiyah untuk tidak mengambil politik praktis, akan tetapi perlu kiranya diambil langkah-langkah yang bijak untuk menghadapi era perpolitikan yang semakin dinamis dan iklim demokratisasi di Indonesia yang makin maju ini.
Tawaran yang diajukan Pak din syamsudin selaku ketua PP muhammadiyah saat ini cukup bijak, yaitu mengambil peran politik “akomodatif”.Dengan membebaskan kader-kadernya untuk berpolitik pada partai apapun itu dengan tetap mempertahankan jiwa dan spirit muhammadiyah.
Selama ini, muhammadiyah meski kader-kadernya punya inisiatif mendirikan partai dan aktif di partai politik, tetap saja tidak membuat muhammadiyah berubah prinsip dan melenceng dari khittoh.
Meski demikian, diakui muhammadiyah saat ini memang belum banyak memberi perubahan dalam membentuk watak dan karakter bangsa. Meski muhamadiyah sudah berusia satu abad dan memberikan sumbangsih yang cukup besar pada Negara ini, akan tetapi perlu diakui kita memang belum banyak memberikan perubahan yang signifikan akan watak dan karakter bangsa.
Buya syafii pun pernah mengatakan, “seandainya islam membolehkan kita untuk pesimis, maka saya orang yang pertama kali pesimis memandang keadaan negeri ini”. Negeri ini memang sedang sakit sedemikian parah. Penyakit moralitas bangsa, politik kita yang belum bisa arif dan dewasa menerima kekalahan, dan politik kekuasaan, menjadi masalah besar bangsa ini.
Di tengah permasalahan bangsa yang akut ini, muhammadiyah sudah memberikan sesuatu melalui amal usahanya ; di bidang pendidikan, di bidang kesehatan, maupun di bidang- bidang yang lain. Akan tetapi ini diakui belum banyak memberikan perubahan yang berarti.
Dalam rentan waktu yang cukup lama, hendaknya muhammadiyah lebih bijak dan dewasa lagi dalam mengambil posisinya dihadapkan dengan dinamika politik bangsa selama ini.
Pilihan untuk berada pada posisi yang moderat, masih cukup relevan diambil. Mengingat kebanyakan kader muhammadiyah juga lebih aktif pada posisi-posisi kepartaian tersebut.
Hal ini tidak masalah, akan tetapi, yang menjadi masalah dan pilihan yang cukup berat adalah apakah kemudian kita perlu mengorbankan muhammadiyah pada kepentingan partai politik tertentu?, ataukah muhammadiyah terlalu nista untuk kecewa ketika muhammadiyah tidak diakomodir dalam pemerintahan atau negara?.
Muhammadiyah besar, muhammadiyah mempunyai modal sosial yang cukup untuk senantiasa mandiri dan berdikari.Oleh karena itu, terlalu nista ketika muhammadiyah sambat ketika tidak diakomodir di pemerintahan.

Peran muhammadiyah dalam membentuk dan membangun watak dan karakter bangsa ini menjadi lebih penting dari pada sekedar ”rebutan kue”. Sebab pada dasarnya, muhammadiyah akan menjadi gerakan yang nihil, ketika ia tidak bisa memberikan sumbangsih terhadap permasalahan bangsa yang ada selama ini.
Buya syafii maarif menyarankan agar pola perkaderan kita mesti diubah agar kita bisa menata ulang posisi muhammamadiyah dalam dinamika kebangsaan saat ini. Jika semula filosofi yang dibangun adalah kader persyarikatan, kader umat, kader bangsa, maka perlu diubah menjadi kader kemanusiaan, kader bangsa, kader umat, dan baru kader persyarikatan.
Alasannya karena pertama, misi islam sebagai ”rahmatan lilngalamiin” mengharuskan kita memasuki gelanggang kehidupan melalui kemanusiaan. Agar peranan kita diperhitungkan oleh fihak lain, maka perlu kita membenahi dulu permasalahan internal kit.
Kedua, dari kader kemanusiaan maka kita turun selangkah sebagai kader bangsa. Karena kita hidup di tengah nafas dan teritori negara bangsa indonesia. Oleh karena itu, dermaga dan cita-cita kebangsaan perlu dijadikan payung bagi semua umat manusia.
Ketiga,Manusia memang tidak pernah diciptakan dalam kondisi socio-cultural yang tunggal. Sehingga keberagaman adalah merupakan fitroh alami yang perlu kita jaga dan perlu kita pelihara. Sebab, pada dasarnya Tuhan itu anti keseragaman.
Keempat, Adalah keniscayaan jika di dalam kalangan umat yang satu, keberagaman internal menjadi fakta sejak masa lalu. Muhammadiyah dan NU sebagai sayap besar organisasi keagamaan di negeri ini juga perlu membina kader-kadernya dengan cita-cita yang dirumuskannya masing-masing.
Dan sebagai kesimpulan, muhammmadiyah belum bisa roboh seumpama negara ini roboh.Buya mengatakan : “Dan muhammmadiyah yang belum bisa memberikan sumbangsih terhadap kepentingan bangsa ini, berarti bukan muhammadiyah yang sesungguhnya”

Tulisan ini dimuat di info UMS
Penulis adalah MahasiswaUniversitas Muhammadiyah Surakarta, Aktifis IMM Surakarta.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda