Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Februari 28, 2010

Menarik Benang Merah Sexs & Politik

Oleh Arif saifudin yudistira
“Apa yang ada dalam luar diri kita sebenarnya
bisa kita baca melalui analisa tubuh kita”
(Afrizal Malna, dalam sebuah diskusi)




Tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa, begitu menurut Foucault.

Fenomena kontemporer menjawab akan kejanggalan relasi ini. Bidang-bidang korporasi yang begitu besar pun tidak terlepas dari relasi seks dan tubuh. Tubuh kita sebagai suatu bagian dari fenomena dan bagian dari alat kacamata analisa akan dengan gamblang menjelaskan fenomena modernitas saat ini.


Persepsi yang dibangun adalah “cantik itu putih”. Maka konstruksi budaya baru yang akan dibentuk dengan iklan ini, secara tidak sadar mengubah persepsi konsumen dan masyarakat pada umumnya, bahwa “cantik itu putih”.

Ini membuat para wanita yang kulitnya hitam, ikut-ikutan mencoba produk itu. Akan tetapi, ketika wanita secara alamiah sudah berada dalam iklim dengan kulit sawo matang atau hitam, maka tidak akan mungkin merubah warna kulitnya. Kepentingan para pembuat iklan itu jelas: laba sebesar-besarnya.


Industri Periklanan dan Tubuh Manusia

Mari kita simak industri periklanan kita. Bagaimana produk kecantikan bisa laku keras? Mereka tentu tidak akan memakai bintang iklan puteri Indonesia yang kulitnya hitam betul untuk menawarkan produk sabun, kosmetik, dan lain-lain. Selain itu, dari sisi penampilan, dari sisi bentuk tubuh tentu sangat diperhatikan dalam menentukan bintang iklan.

Persepsi yang dibangun dalam iklan pun jelas bahwa “cantik itu putih”. Dengan demikian, maka konstruksi budaya baru yang akan dibentuk dengan iklan ini, secara tidak sadar mengubah persepsi konsumen dan masyarakat pada umumnya, bahwa “cantik itu putih”. Persepsi ini berkembang, menggoda para wanita yang kulitnya hitam, untuk ikut-ikutan mencoba produk itu. Akan tetapi, ketika wanita secara alamiah sudah berada dalam iklim dengan kulit sawo matang atau hitam, maka tidak akan mungkin merubah warna kulitnya. Kepentingan para pembuat iklan itu jelas: laba sebesar-besarnya.

Contoh lain yang bisa kita lihat adalah fenomena mode montor matix yang hampir tiap tahun berubah. Produk tersebut tidak akan mungkin laku keras sebelum ada penelitian mengenai selera masyarakat. Sebaliknya, iklan tersebut juga berusaha keras untuk “menggoda” masyarakat supaya terus menerus mengikuti mode. Begitupun dengan fenomena model dan jenis hape, mobil, dan lain-lain.

Perhatian dunia iklan akan seks, tubuh dan pasar juga merambah pada dunia perpolitikan kita. Permasalahan seks dan gender saat ini memang tidak lagi dipandang sebagai hal yang tabu. Akan tetapi, perlu kita kaji lebih jauh apa sebenarnya efek dan relasi dari fenomena-fenomena tersebut.

“Dalam setiap masyarakat, tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggung jawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa”.


Iklan dan Seks

Di Indonesia sendiri, fenomena mesin politik dalam memanfaatkan bahasa tubuh dan para artis menjadi hal yang lumrah atau biasa. Kehadiran Angelina Sondakh, kehadiran Eko Patrio, dan artis yang lain seakan membuat mata kita tercengang.

Bagaimana kemudian seorang artis yang biasanya memanfaatkan bahasa tubuhnya dalam menarik perhatian publik, ternyata menjadikan keuntungan partai dan rejeki yang mengantarkan artis tersebut menjadi wakil rakyat. Partai Amanat Nasional pun mempunyai nama sindiran Partai Artis Nasional. Sutrisno Bachir dan Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat memang membaca relasi tubuh, dan kuasa ini dengan cukup cerdik.

Sebab dalam politik tidak ada salah benar, tidak ada hitam, putih selain kepentingan itu sendiri. Dan saat ini, setiap pemilu kita temukan partai politik membawa kepentingan mereka sendiri-sendiri.

Tidak hanya itu, bahasa tubuh dalam iklan politik pun seakan menjadi salah satu alat untuk mencapai tujuan politik dengan mesin politiknya. Fenomena ini bisa dilihat pada baliho, banner, spanduk ataupun pamflet-pamflet yang ada di sekitar rumah atau pinggiran jalan raya yang dipasang oleh para calon legislatif kita.

Michael Foucault pun sudah lama mengungkapkan ini : “Dalam setiap masyarakat, tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggung jawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa, baik di dalam ‘anatomi metafisik’ pun dalam arti ‘teknik politis’”. Lebih jauh lagi foucault juga mengatakan: ”Teknologi politis terhadap tubuh akhirnya sampai pada perhatian terhadap tubuh yang tadinya harus disiksa - sampai pada tubuh yang harus dilatih agar disiplin”.

Kebijakan-kebijakan politik pun akhirnya mau tidak mau membawa relasi seks, tubuh, dan kuasa. Penempatan lokalisasi Pekerja Seks, kebijakan kondom gratis, kolam renang syariah, hadirnya Perda Syariah, sampai pada UU anti pornografi

“Dalam setiap masyarakat, tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggung jawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa, baik di dalam ‘anatomi metafisik’ pun dalam arti ‘teknik politis’” (Foucault).


Seks & Politik

Melihat relasi seks, tubuh, dan kekuasaan membuat kita merefleksikan kembali apakah memang kebijakan politik, sosial dan ekonomi, serta kebijakan publik yang lain sudah mencerminkan ranah keberpihakan atau justru hanya pada pemenuhan kepentingan pemodal dan kepentingan golongan dan kelompok tertentu semata.

Misalnya pada UU anti pornografi, obyek yang “kurang diuntungkan” adalah perempuan. Sebab, bagaimana kemudian UU pornografi bisa menjelaskan fenomena iklan yang cenderung mengeksploitasi para perempuan. Bagaimana kemudian UU pornografi menjelaskan pekerja perempuan yang diharuskan memakai pakaian seragam yang di desain seksi, untuk menjual “tubuh” perempuan itu.

Lalu, bagaimana UU anti pornografi menghadapi pekerja Seks dan prostitusi yang seringkali diganjar peraturan yang kurang memihak pada perempuan. Pemerintah seringkali beranggapan, bahwa persoalan seks, prostitusi dan degradasi moral cukup diselesaikan dengan kebijakan lokalisasi. Bahkan sering pula oknum-oknum tertentu merazia para Pekerja Seks untuk menarik “uang setoran”.

Relasi seks, tubuh, dan kekuasaan atau politik akan mempengaruhi bagaimana kemudian seorang pemangku jabatan menciptakan kebijakan yang memihak ataukah sebaliknya menciptakan yang hanya berorientasi pada korporat dan pemodal saja. Demikian.

Tulisan dimuat di majalah Bhinneka

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda