Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Sabtu, Maret 13, 2010

Identitas!!!


Oleh Arif saifudin yudistira*)

Persoalan identitas belum selesai hingga saat ini. Apalagi di negeri yang makin dan kian carut marut seperti negeri ini. Identitas menjadi penting dan pelik untuk dibicarakan dan dipersoalkan. Indonesia, mengalami persoalan identitas yang sudah kian parah. Mochtar Lubis pernah mengungkapkan tentang identitas manusia indonesia yang begitu sinis dalam satire yang cukup menggelikan.Dalam bukunya Manusia Indonesia [sebuah pertanggungjawaban],1981. Mochtar Lubis menyebut bahwa manusia indonesia mengalami persoalan mentalitas yang hipokrit atau munafik dan enggan bertanggungjawab.
Pernyataan Muchtar lubis sampai saat ini masih menjadi relevan dengan mentalitas manusia indonesia. Ia mengatakan : kita semua mengutuk korupsi tetapi terus-menerus saja melakukan korupsi dan dari hari kehari. Di samping itu, kita juga mengatakan bahwa hukum di negeri ini untuk semua orang,tetapi pencuri kakao masih saja termarginalkan,dll.
Kritik identitas ini juga mendapat perhatian lebih dari seorang futurolog alvin toeffler dalam bukunya the third wave,bahwasannya kita terpaksa harus menciptakan dan merumuskan kembali mentalitas kita di gelombang ketiga ini. Modernitas memang membawa sebuah resiko yang sepertinya tidak bisa kita abaikan begitu saja. Identitas menjadi penting untuk menentukan karakter negeri ini di tengah arus yang serba tidak karuan ini.
Persoalan identitas ini sudah mulai menggelisahkan di berbagai kalangan. Negeri ini dulu pernah mendapat sebutan negeri tersopan, aman, nyaman, akan tetapi sekarang sudah tidak ada lagi identitas yang seperti itu. Sebab negeri ini sudah dicap pula sebagai sarang kekerasan, sarang koruptor, negeri kriminil.



Apakah kemudian identitas nasional kita pun demikian?. Kita cukup prihatin juga melihat identitas partai politik kita yang mulai kabur pula dalam menentukan landasan dan visi perjuangannya,siapa yang diperjuangkan? Dan untuk siapa mereka berjuang?. Kasus century menjadi cermin bagi kita semua bahwasannya identitas politik negeri ini pun sudah mulai kabur.
Persoalan identitas pun mulai merambah pula pada masalah moralitas. Dulu begitu jelas mendefinisikan masalah dan persoalan moralitas. Akan tetapi saat ini, moralitas kita sepertinya juga tidak bisa kita jelaskan moralitas macam apa yang ada di negeri ini. Kita sudah cukup mengelus dada mendengar remaja-remaja kita yang terlampau jauh dengan masalah moralitas ini. Tidak hanya itu, kalangan jompo pun semakin mirip dengan lagu-lagu pop tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi.
Identitas pun menjadi sebab negeri ini dipenuhi berbagai persoalan yang sulit untuk kita pecahkan. Begitupun identitas dalam dunia pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita sudah dikatakan oleh muchtar buchori sejak lama, dengan mengatakan bahwasannya lonceng kematian pendidikan di indonesia sudah bergema, HAR Tilaar menambahkan lagi bahwasannya pendidikan di indonesia sudah mati[2002]. Sedang saat ini, kita mungkin membaca pendidikan di negeri ini sudah menjadi sebuah utopi belaka.
Identitas pendidikan kita menentukan bagaimana kemudian pemimpin-pemimpin bangsa ini 20 tahun ke depan. Bagaimana ketika para mahasiswa kita sudah lupa dengan identitasnya sebagai penyambung lidah rakyat,pengemban amanah rakyat. Bagaimana kemudian pendidikan bisa menciptakan pemimpin-pemimpin berkarakter jika nilai-nilai sudah direduksi menjadi angka-angka dengan menghalalkan segala cara? Penjiplakan hanya salah satu contohnya.
Kemerdekaan yang sudah 64 tahun ini,sepertinya belum juga dirasakan sepenuhnya di negeri ini. Aneh, kita masih mencari-cari lagi identitas kita yang sebenarnya menjadi rumusan yang menjadi dasar negara kita berkali-kali. Pancasila sudah begitu kerap menjadi nyanyian kita tiap upacara hari senin hingga saat ini, akan tetapi mengapa masih saja nilai-nilai identitas nasional yang ada dalam pancasila seolah-olah hanya menjadi simbol semata?.
Ketuhanan menjadi simbol ketika para penguasa saja ketika mau naik jabatan dalam sumpah jabatan.Kemanusiaan yang beradab menjadi nilai yang hanya slogan ketika korban lapindo dibiarkan begitu saja. Persatuan menjadi semboyan dan himbauan semata. Kita pun tahu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan pun sudah berubah menjadi kekuasaan yang dipimpin oleh segelintir orang untuk kepentingan golongan dengan menghalalkan segala cara.
Di tengah pesimisme yang kian parah, negeri ini perlu kiranya memperteguh identitas dirinya, agar optimisme itu bukan hanya bisa dibangun kembali melainkan menjadi spirit kita untuk bangun memperbaiki negeri ini.
Tv, koran, majalah, bahkan internet pun terpaksa harus mengubah kita menjadi pribadi yang lain. Sampai kapankah persoalan identitas ini menjadi selesai ketika kita tidak pernah merasa mempunyai identitas yang pasti?.Persoalan identitas menjadi penting kita bicarakan agar bagaimana kita bisa menentukan sikap yang teguh dan konsisten di jaman ini. Serta menemukan kembali jati diri negeri ini yang sudah mulai dilupakan. Demikian.
Penulis tinggal di klaten, belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda