Negeri Krisis
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Negeri ini sepertinya sudah tidak berdaya menghadapi krisis yang ada di berbagai lini kehidupan. Krisis ekonomi, budaya, politik, sosial, hingga krisis mentalitas. Negara sepertinya hanya jadi penjaga malam saja, ketika keadaan benar-benar parah barulah negara turun tangan. Image yang timbul pun di masyarakat “ada presiden atau tidak ada presiden sama saja, tidak banyak yang berubah” begitulah keluh seorang pedagang kaki lima. Adanya pemerintahan sepertinya tidak berimbas banyak pada nasib mereka-mereka ini, yang terjadi justru malah keadaan yang semakin miskin. Lihat saja betapa masyarakat miskin semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, sementara penghasilan mereka belum juga beranjak dari penghasilan biasanya.
Dibidang ekonomi kita masih saja belum bisa terlepas dari jeritan hutang. Hutang menjadi kewajiban di setiap pemerintahan kita. Hutang menjadi penolong sekaligus virus yang mematikan bagi independensi kebijakan perekonomian kita. Gali lobang tutup lobang pun menjadi semboyan bagi para ekonom dan pemerintah kita. Ekonomi makro di perhitungkan sedemikian rupa, investasi dijadikan andalan. Akan tetapi ekonomi rakyat, dikesampingkan. Padahal sejatinya ekonomi kerakyatan itulah yang menopang kesemua korporat-korporat besar itu. Menyitir pidato sukarno dalam “indonesia nenggugat” Ia mengatakan : “........kini sudah melar jadi raksasa imperialisme modern yang empat macam “saktinya”: Pertama,Indonesia tetap hanya menjadi negeri pengambil bekal hidup. Kedua, Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa. Ketiga, Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing. Keempat, Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang ratusan, ribuan-ribuan jumlahnya. Bukan hanya milik Belanda, tetapi juga modal Inggris, modal Amerika, juga modal Jepang, dan lain-lain. Sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional karenanya. Terutama “sakti” yang keempat inilah, yang membikin Indonesia menjadi daerah eksploitasi dari kapital asing, menjadi lapang usaha bagi modal-modal kelebihan dari negeri-negeri asing, adalah yang paling hebat dan makin lama, makin bertambah hebatnya.
Pernyataan sukarno tadi sepertinya terjadi di negeri ini sekarang. Kedaulatan itulah yang kini semakin hilang di negeri ini. Pertambangan kita terjerat dengan undang-undang yang kita buat sendiri UU PMA, UU MINERBA< UU MIGAS, dan lain-lain. Sepertinya kita sudah tidak yakin dengan kemampuan kita sendiri dalam mengelola sumber daya alam karena mentalitas pemimpin kita yang lemah.
Krisis juga melanda di dunia politik kita. 5 tahun terakhir politik negeri ini diwarnai dengan politik citra yang tidak hanya membuat rakyat kita terkesima dengan koitmen semu, tapi juga menggiring rakyat kita pada kepentingan pragmatis semata. Politik kita telah berubah dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan dan kepuasan pribadi semata. Politik dijadikan kendaraan super ekspress untuk mendapatkan roti bahkan menghilangkan etik politik.
Partai politik hanya sekedar mencari pamor, kepuasan rakyat hanya diukur dari kepuasan hasil survey semata, tanpa kemudian melihat kondisi rakyat yang sebenarnya. Politik yang idealnya memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan berubah menjadi politik yang memperjuangkan citra dan kepuasan persepsi semata.
Rakyat sebenarnya sudah sedemikian capek, sehingga cenderung pragmatis. Tanggung jawab partai politik dalam melakukan pendidikan politik menjadi sedemikian penting sebab dengan mencerdaskan rakyat dan mendidik rakyat menjadi kader militan untuk kepentingan bangsa dan negara urgen diperlukan.Sehingga rakyat bukan hanya sebuah objek yang dimanfaatkan ketika mau pemilu saja. Ini yang biasanya terjadi.
Krisis melanda mentalitas kita. Korupsi menjadi sesuatu yang dilindungi dan dibenarkan dan diabsahkan dalam logika kemasyarakatan kita. Para koruptor yang ada saat ini belum juga mengalami efek jera dalam melakukan tindakan ini. Ketidakbecusan lembaga hukum kita begitu nampak, padahal semakin banyak lembaga yang mengurusi kearah sana. Kepolisian, KPK, satgas mafia hukum dan lain-lain. Akan tetapi bertambahnya jumlah lembaga penegak hukum belum mengurangi jumlah koruptor, tapi cenderung semakin bertambah banyak. Sebut saja yang baru-baru ini mencuat. Bagaimana rakyat akan percaya membayar pajak, kalau-kalau pajak yang dibayarkan malah dikorupsi.
Mentalitas kita sepertinya sudah akut dan kronis. Penyakit mentalitas kita yang idealnya bisa disembuhkan dengan pendidikan kita. Akan tetapi pendidikan kita saat ini cenderung materialistik pula. Kecerdasan yang ada saat ini hanya cenderung menuju pada kecerdasan artifisial semata sebagaimana yang dikatakan lyotard.
Pendidikan sebagai solusi
Pendidikanlah yang akan mengantarkan kita keluar dari krisis multidimensional ini. Pemerintah harus bertenggungjawab pada penyelenggaraan dan kualitas pendidikan kita. Pasca dibatalkannya UU BHP oleh mahkamah konstitusi problem pendidikan kita masih saja ada. Salah satu problem tersebut adalah masalah kepedulian pemerintah dalam mengurusi, dan meruwat pendidikan di negeri ini.
Pendidikanlah yang menjadikan mentalitas-mentalitas para calon pemimpin negeri ini berubah dan mampu merubah keadaan ini. Anak-anak kita harus tahu problem di negeri ini. Bukan semakin dijauhkan dari realitas yang akut ini. Yang terjadi selama ini pendidikan kita justru mengalienasi kita dari realitasnya. Kepentingan cepet dapat kerja, cepet hidup mapan seolah menjadi jualan universitas-universitas kita. Maka yang terjadi akhlak, etik, moralitas luput dari garapan pendidikan kita.
Dengan mendekatkan pendidikan dengan realitas inilah anak-anak kita akan tahu negeri ini perlu dibangun dengan optimisme dan kerja keras, perlu dibangun dengan mentalitas baja dan dengan nurani. Sehingga kita masih tetap optimis hidup di negeri krisis. Begitu.
Penulis adalah presidium kawah institute indonesia, tinggal di surakarta
Negeri ini sepertinya sudah tidak berdaya menghadapi krisis yang ada di berbagai lini kehidupan. Krisis ekonomi, budaya, politik, sosial, hingga krisis mentalitas. Negara sepertinya hanya jadi penjaga malam saja, ketika keadaan benar-benar parah barulah negara turun tangan. Image yang timbul pun di masyarakat “ada presiden atau tidak ada presiden sama saja, tidak banyak yang berubah” begitulah keluh seorang pedagang kaki lima. Adanya pemerintahan sepertinya tidak berimbas banyak pada nasib mereka-mereka ini, yang terjadi justru malah keadaan yang semakin miskin. Lihat saja betapa masyarakat miskin semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, sementara penghasilan mereka belum juga beranjak dari penghasilan biasanya.
Dibidang ekonomi kita masih saja belum bisa terlepas dari jeritan hutang. Hutang menjadi kewajiban di setiap pemerintahan kita. Hutang menjadi penolong sekaligus virus yang mematikan bagi independensi kebijakan perekonomian kita. Gali lobang tutup lobang pun menjadi semboyan bagi para ekonom dan pemerintah kita. Ekonomi makro di perhitungkan sedemikian rupa, investasi dijadikan andalan. Akan tetapi ekonomi rakyat, dikesampingkan. Padahal sejatinya ekonomi kerakyatan itulah yang menopang kesemua korporat-korporat besar itu. Menyitir pidato sukarno dalam “indonesia nenggugat” Ia mengatakan : “........kini sudah melar jadi raksasa imperialisme modern yang empat macam “saktinya”: Pertama,Indonesia tetap hanya menjadi negeri pengambil bekal hidup. Kedua, Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa. Ketiga, Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing. Keempat, Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang ratusan, ribuan-ribuan jumlahnya. Bukan hanya milik Belanda, tetapi juga modal Inggris, modal Amerika, juga modal Jepang, dan lain-lain. Sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional karenanya. Terutama “sakti” yang keempat inilah, yang membikin Indonesia menjadi daerah eksploitasi dari kapital asing, menjadi lapang usaha bagi modal-modal kelebihan dari negeri-negeri asing, adalah yang paling hebat dan makin lama, makin bertambah hebatnya.
Pernyataan sukarno tadi sepertinya terjadi di negeri ini sekarang. Kedaulatan itulah yang kini semakin hilang di negeri ini. Pertambangan kita terjerat dengan undang-undang yang kita buat sendiri UU PMA, UU MINERBA< UU MIGAS, dan lain-lain. Sepertinya kita sudah tidak yakin dengan kemampuan kita sendiri dalam mengelola sumber daya alam karena mentalitas pemimpin kita yang lemah.
Krisis juga melanda di dunia politik kita. 5 tahun terakhir politik negeri ini diwarnai dengan politik citra yang tidak hanya membuat rakyat kita terkesima dengan koitmen semu, tapi juga menggiring rakyat kita pada kepentingan pragmatis semata. Politik kita telah berubah dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan dan kepuasan pribadi semata. Politik dijadikan kendaraan super ekspress untuk mendapatkan roti bahkan menghilangkan etik politik.
Partai politik hanya sekedar mencari pamor, kepuasan rakyat hanya diukur dari kepuasan hasil survey semata, tanpa kemudian melihat kondisi rakyat yang sebenarnya. Politik yang idealnya memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan berubah menjadi politik yang memperjuangkan citra dan kepuasan persepsi semata.
Rakyat sebenarnya sudah sedemikian capek, sehingga cenderung pragmatis. Tanggung jawab partai politik dalam melakukan pendidikan politik menjadi sedemikian penting sebab dengan mencerdaskan rakyat dan mendidik rakyat menjadi kader militan untuk kepentingan bangsa dan negara urgen diperlukan.Sehingga rakyat bukan hanya sebuah objek yang dimanfaatkan ketika mau pemilu saja. Ini yang biasanya terjadi.
Krisis melanda mentalitas kita. Korupsi menjadi sesuatu yang dilindungi dan dibenarkan dan diabsahkan dalam logika kemasyarakatan kita. Para koruptor yang ada saat ini belum juga mengalami efek jera dalam melakukan tindakan ini. Ketidakbecusan lembaga hukum kita begitu nampak, padahal semakin banyak lembaga yang mengurusi kearah sana. Kepolisian, KPK, satgas mafia hukum dan lain-lain. Akan tetapi bertambahnya jumlah lembaga penegak hukum belum mengurangi jumlah koruptor, tapi cenderung semakin bertambah banyak. Sebut saja yang baru-baru ini mencuat. Bagaimana rakyat akan percaya membayar pajak, kalau-kalau pajak yang dibayarkan malah dikorupsi.
Mentalitas kita sepertinya sudah akut dan kronis. Penyakit mentalitas kita yang idealnya bisa disembuhkan dengan pendidikan kita. Akan tetapi pendidikan kita saat ini cenderung materialistik pula. Kecerdasan yang ada saat ini hanya cenderung menuju pada kecerdasan artifisial semata sebagaimana yang dikatakan lyotard.
Pendidikan sebagai solusi
Pendidikanlah yang akan mengantarkan kita keluar dari krisis multidimensional ini. Pemerintah harus bertenggungjawab pada penyelenggaraan dan kualitas pendidikan kita. Pasca dibatalkannya UU BHP oleh mahkamah konstitusi problem pendidikan kita masih saja ada. Salah satu problem tersebut adalah masalah kepedulian pemerintah dalam mengurusi, dan meruwat pendidikan di negeri ini.
Pendidikanlah yang menjadikan mentalitas-mentalitas para calon pemimpin negeri ini berubah dan mampu merubah keadaan ini. Anak-anak kita harus tahu problem di negeri ini. Bukan semakin dijauhkan dari realitas yang akut ini. Yang terjadi selama ini pendidikan kita justru mengalienasi kita dari realitasnya. Kepentingan cepet dapat kerja, cepet hidup mapan seolah menjadi jualan universitas-universitas kita. Maka yang terjadi akhlak, etik, moralitas luput dari garapan pendidikan kita.
Dengan mendekatkan pendidikan dengan realitas inilah anak-anak kita akan tahu negeri ini perlu dibangun dengan optimisme dan kerja keras, perlu dibangun dengan mentalitas baja dan dengan nurani. Sehingga kita masih tetap optimis hidup di negeri krisis. Begitu.
Penulis adalah presidium kawah institute indonesia, tinggal di surakarta
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda