Sisi Lain Gemerlap Piala Dunia
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Sepak bola menjadi fenomena yang menarik kita kaji dari berbagai sudut pandang. Selain sepak bola digemari oleh seluruh dunia, negeri ini tidak kalah menjadi supporter dan penggila olahraga ini. Apalagi semenjak dibukanya piala dunia di stadion Johannesburg afrika selatan.
Akan tetapi ada sisi lain yang juga menarik untuk disimak disamping keceriaan dan kemeriahan pembukaan piala dunia, ada juga protes warga afrika selatan terhadap piala dunia. Kebijaksanaan FIFA world cup 2010 yang melakukan dominasi ekonomi di Afrika selatan menjadi fenomena yang membuktikan, sepak bola tidak pernah bisa lepas dari masalah ekonomi. FIFA mengeluarkan kebijakan hanya produk sponsorship yang boleh dijual di sekitar arena world cup. Dan anehnya, para pedagang local yang ingin menjual dan memanfaatkan moment piala dunia, dilarang pemerintah setempat dengan peraturan yang sudah ditetapkan.
Fenomena diatas hanya sebagian kecil bagaimana sepak bola bergelut dalam wilayah perekonomian, begitupun sebaliknya, sepakbola sulit dilepaskan dari aspek ekonomi. Mulai dari kontrak penayangan stasiun televisi, kemudian iklan, sampai pada wilayah infotainment yang mengupas khusus tentang sepak bola.
Kita tahu hampir semua stasiun televisi kita mengupas habis perjalanan tim-tim yang akan berlaga di piala dunia, sampai pada perkembangan pemain dan tim yang akan berlaga di piala dunia dan perjalanan karirnya menjadi berita yang menghiasi televisi kita satu bulan menjelang piala dunia. Tak hanya itu, koran-koran kita pun menyediakan rubric baru khusus piala dunia 2010.
Dominasi ekonomi di afrika selatan oleh FIFA menunjukkan bahwa kebijakan negara untuk melindungi para ekonomi local kalah dengan dominasi huru-hara sepak bola akbar ini. Negara sepertinya didesak oleh dominasi capital yang harus menggusur ekonomi dan pedagang local disana. Intervensi pun muncul melalui aturan yang dilegalkan oleh pemerintah setempat untuk menguatkan dominasi kapitalis. Akibatnya, para pedagang local pun terpaksa mengalah demi nama baik sebagai tuan rumah piala dunia yang ramah terhadap capital asing.
Tidak hanya itu, pembagian hotel di afrika selatan pun menunjukkan adanya diskriminasi yang kentara. Bagaimana kemudian kelas-kelas ekonomi dan negara-negara yang maju diberi fasilitas hotel bintang lima, sedang untuk negara yang masih terbelakang menempati hotel berbintang tiga. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertarungan antar kelas yang dulu digambarkan oleh marx masih saja terjadi sampai saat ini. Fenomena ini memberikan gambaran kepada kita bahwa sepak bola belum bisa menyatukan dan meruntuhkan segala bentuk diskriminasi dan pertarungan kelas menjadi penyatuan dan persamaan dalam laga piala dunia ini.
Sepak bola dan Politik Citra
Semenjak afrika selatan dikabarkan menjadi tuan rumah piala dunia, maka politik pencitraan pun muncul di berbagai media massa. Berbagai media mencoba meyakinkan public bahwa afrika selatan layak menjadi tuan rumah piala dunia. Mulai dari soundtrack piala dunia, sampai pada iklan televisi yang mencoba meyakinkan dan memprofilkan afrika selatan melalui media.
Tidak hanya itu, tiba-tiba saja terompet khas afrika jadi rubric di koran-koran kita yang lebih dikenal dengan vuvuzela. Dengan berbagai pencitraan maka layaklah public memandang afrika selatan sebagai tuan rumah piala dunia. Tapi ketika kita melihat di balik kemeriahan di piala dunia sekarang ini, ada ironi yang luar biasa, bahkan sampai berjalannya piala dunia pun ada saja masyarakat Durban yang melakukan unjuk rasa menuntut hak-haknya karena merasa tersingkir oleh piala dunia.
Rabu(16/6)sebagaimana dikabarkan SOLO POS, ratusan pekerja dan supporter bersama-sama memprotes kondisi yang dialami masyarakat miskin disana. Koordinator aksi Trevor ngawane juga mengatakan “Saat kami menuntut pekerjaan, pendidikan yang lebih baik serta rumah mereka bilang tak ada uang. Tapi tiba-tiba mereka menjadi miliuner dengan membangun stadion”.
Selain itu, para pekerja juga mengeluhkan masalah gaji dan kesejahteraan mereka, ada juga nelayan yang kehilangan pekerjaannya demi dibangunnya hotel yang mewah untuk para turis yang bisa langsung melihat piala dunia. Rajen inderjeeth mengatakan “mereka mengambil kehidupan kami”(SOLO POS, 16/6)
Fenomena diatas menunjukkan bahwa kebijakan kaum pemodal tetap menjadi pemenang dalam pertarungan antar kelas. Kita tahu, afrika selatan masih dikenal sebagai negara yang masih terbelakang, sehingga momentum piala dunia sengaja dimanfaatkan mereka untuk meningkatkan kehidupan mereka. Akan tetapi, kehadiran piala dunia yang diharapkan oleh mereka akan menghadirkan kesejahteraan justru malah berimbas pada kekalahan ekonomi juga kehidupan mereka.
Kebijakan pemerintah afrika selatan untuk membuat aturan yang tidak memihak warganya juga disebabkan adanya politik yang kuat dari FIFA selaku penyelenggara. Tidak hanya itu, para noni-noni belanda yang diduga membawa minuman bir pun dikeluarkan satpam karena alasan sponsor utamalah yang berhak untuk ditayangkan.
Piala dunia yang berjalan meriah dan gemerlap, spektakuler tidak selayaknya mengundang keprihatinan dengan kebijakan yang justru merugikan warga afrika selatan. Ironi semacam ini hendaknya diperhatikan bagi warga dunia dan pemerintahan afrika selatan agar lebih memperhatikan kaum pekerja dan warga disana. Sebab kemeriahan dan gemerlap piala dunia akan terlalu naïf jika dikotori dengan berita yang mencoreng nama afrika selatan selama ini.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kemudian sepak bola yang menjadi symbol pemersatu dunia?. Ataukah sebaliknya, sepak bola menjadi symbol kekuasaan modal yang menembus segala lini termasuk negara sekalipun yang memiliki kedaulatan? Ataukah sepak bola juga harus menggusur para warga yang berhak mencari kehidupan demi gemerlapnya piala dunia?.
*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, Presidium Kawah Institute Indonesia
Sepak bola menjadi fenomena yang menarik kita kaji dari berbagai sudut pandang. Selain sepak bola digemari oleh seluruh dunia, negeri ini tidak kalah menjadi supporter dan penggila olahraga ini. Apalagi semenjak dibukanya piala dunia di stadion Johannesburg afrika selatan.
Akan tetapi ada sisi lain yang juga menarik untuk disimak disamping keceriaan dan kemeriahan pembukaan piala dunia, ada juga protes warga afrika selatan terhadap piala dunia. Kebijaksanaan FIFA world cup 2010 yang melakukan dominasi ekonomi di Afrika selatan menjadi fenomena yang membuktikan, sepak bola tidak pernah bisa lepas dari masalah ekonomi. FIFA mengeluarkan kebijakan hanya produk sponsorship yang boleh dijual di sekitar arena world cup. Dan anehnya, para pedagang local yang ingin menjual dan memanfaatkan moment piala dunia, dilarang pemerintah setempat dengan peraturan yang sudah ditetapkan.
Fenomena diatas hanya sebagian kecil bagaimana sepak bola bergelut dalam wilayah perekonomian, begitupun sebaliknya, sepakbola sulit dilepaskan dari aspek ekonomi. Mulai dari kontrak penayangan stasiun televisi, kemudian iklan, sampai pada wilayah infotainment yang mengupas khusus tentang sepak bola.
Kita tahu hampir semua stasiun televisi kita mengupas habis perjalanan tim-tim yang akan berlaga di piala dunia, sampai pada perkembangan pemain dan tim yang akan berlaga di piala dunia dan perjalanan karirnya menjadi berita yang menghiasi televisi kita satu bulan menjelang piala dunia. Tak hanya itu, koran-koran kita pun menyediakan rubric baru khusus piala dunia 2010.
Dominasi ekonomi di afrika selatan oleh FIFA menunjukkan bahwa kebijakan negara untuk melindungi para ekonomi local kalah dengan dominasi huru-hara sepak bola akbar ini. Negara sepertinya didesak oleh dominasi capital yang harus menggusur ekonomi dan pedagang local disana. Intervensi pun muncul melalui aturan yang dilegalkan oleh pemerintah setempat untuk menguatkan dominasi kapitalis. Akibatnya, para pedagang local pun terpaksa mengalah demi nama baik sebagai tuan rumah piala dunia yang ramah terhadap capital asing.
Tidak hanya itu, pembagian hotel di afrika selatan pun menunjukkan adanya diskriminasi yang kentara. Bagaimana kemudian kelas-kelas ekonomi dan negara-negara yang maju diberi fasilitas hotel bintang lima, sedang untuk negara yang masih terbelakang menempati hotel berbintang tiga. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertarungan antar kelas yang dulu digambarkan oleh marx masih saja terjadi sampai saat ini. Fenomena ini memberikan gambaran kepada kita bahwa sepak bola belum bisa menyatukan dan meruntuhkan segala bentuk diskriminasi dan pertarungan kelas menjadi penyatuan dan persamaan dalam laga piala dunia ini.
Sepak bola dan Politik Citra
Semenjak afrika selatan dikabarkan menjadi tuan rumah piala dunia, maka politik pencitraan pun muncul di berbagai media massa. Berbagai media mencoba meyakinkan public bahwa afrika selatan layak menjadi tuan rumah piala dunia. Mulai dari soundtrack piala dunia, sampai pada iklan televisi yang mencoba meyakinkan dan memprofilkan afrika selatan melalui media.
Tidak hanya itu, tiba-tiba saja terompet khas afrika jadi rubric di koran-koran kita yang lebih dikenal dengan vuvuzela. Dengan berbagai pencitraan maka layaklah public memandang afrika selatan sebagai tuan rumah piala dunia. Tapi ketika kita melihat di balik kemeriahan di piala dunia sekarang ini, ada ironi yang luar biasa, bahkan sampai berjalannya piala dunia pun ada saja masyarakat Durban yang melakukan unjuk rasa menuntut hak-haknya karena merasa tersingkir oleh piala dunia.
Rabu(16/6)sebagaimana dikabarkan SOLO POS, ratusan pekerja dan supporter bersama-sama memprotes kondisi yang dialami masyarakat miskin disana. Koordinator aksi Trevor ngawane juga mengatakan “Saat kami menuntut pekerjaan, pendidikan yang lebih baik serta rumah mereka bilang tak ada uang. Tapi tiba-tiba mereka menjadi miliuner dengan membangun stadion”.
Selain itu, para pekerja juga mengeluhkan masalah gaji dan kesejahteraan mereka, ada juga nelayan yang kehilangan pekerjaannya demi dibangunnya hotel yang mewah untuk para turis yang bisa langsung melihat piala dunia. Rajen inderjeeth mengatakan “mereka mengambil kehidupan kami”(SOLO POS, 16/6)
Fenomena diatas menunjukkan bahwa kebijakan kaum pemodal tetap menjadi pemenang dalam pertarungan antar kelas. Kita tahu, afrika selatan masih dikenal sebagai negara yang masih terbelakang, sehingga momentum piala dunia sengaja dimanfaatkan mereka untuk meningkatkan kehidupan mereka. Akan tetapi, kehadiran piala dunia yang diharapkan oleh mereka akan menghadirkan kesejahteraan justru malah berimbas pada kekalahan ekonomi juga kehidupan mereka.
Kebijakan pemerintah afrika selatan untuk membuat aturan yang tidak memihak warganya juga disebabkan adanya politik yang kuat dari FIFA selaku penyelenggara. Tidak hanya itu, para noni-noni belanda yang diduga membawa minuman bir pun dikeluarkan satpam karena alasan sponsor utamalah yang berhak untuk ditayangkan.
Piala dunia yang berjalan meriah dan gemerlap, spektakuler tidak selayaknya mengundang keprihatinan dengan kebijakan yang justru merugikan warga afrika selatan. Ironi semacam ini hendaknya diperhatikan bagi warga dunia dan pemerintahan afrika selatan agar lebih memperhatikan kaum pekerja dan warga disana. Sebab kemeriahan dan gemerlap piala dunia akan terlalu naïf jika dikotori dengan berita yang mencoreng nama afrika selatan selama ini.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kemudian sepak bola yang menjadi symbol pemersatu dunia?. Ataukah sebaliknya, sepak bola menjadi symbol kekuasaan modal yang menembus segala lini termasuk negara sekalipun yang memiliki kedaulatan? Ataukah sepak bola juga harus menggusur para warga yang berhak mencari kehidupan demi gemerlapnya piala dunia?.
*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, Presidium Kawah Institute Indonesia
1 Komentar:
setiap negara punya kuasa untuk mengatur warganya. termasuk pemerintah Afrika Selatan, dengan lebih dari 48 juta penduduknya akan sulit klo semua kepentingan warganya harus dipenuhi pemerintah AFsel. kebijakan pemerintah untuk melarang warganya berjualan, kemudian peraturan tentang penginapan dsb,merupakan wujud kuasa pemerintah untuk kepentingan bersama warganya, dan itu wajar dan sah-sah saja.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda