Saatnya Kurangi Plastik Demi Bumi
Pada Sabtu (25/9), angin lisus menimpa di beberapa kawasan di Kota Solo, Jogja dan sekitarnya.
Angin lebat ini tidak biasa terjadi bila kita cermati. Bumi kita ini semakin panas, bumi kita ini sepertinya sudah tidak mampu menanggung bebannya lagi. Beban yang dimaksud adalah beban panas yang dikandungnya. Sehingga hujan yang tidak pada musimnya dan angin lisus yang tak wajar karena suhu yang tak menentu.
Isu global warming (pemanasan global) dan climate change (perubahan cuaca) sudah menjadi perhatian negara-negara dunia. Kelakuan manusialah yang mengakibatkan bumi ini sedemikian rupa. Gas emisi yang berlebihan, suhu udara yang tak menentu dan angin lisus yang ada beberapa hari lalu adalah salah satu akibat global warming.
Beberapa tahun yang lalu, saya mengikuti workshop koperasi se-Asia Pasifik. Tema yang diangkat adalah global warming and climate change. Di antara peserta tersebut berasal dari Jepang, Filipina dan Thailand. Beberapa di antara mereka terkejut karena tawaran yang diajukan dari Indonesia telah dilaksanakan oleh koperasi tersebut. Misalnya green product labelling (pemberian label buat produk hijau). Ini sudah dilaksanakan di negara-negara peserta workshop. Saya jadi merasa canggung untuk mengusulkan langkah konkret yang lain. Tanam pohon adalah hal yang seharusnya sudah menjadi praktik dan usaha kita, bukan lagi rekomendasi-rekomendasi semu.
Di negeri ini, kita sepertinya menemukan ironi yang sangat kentara antara teori dan praktik mengatasi pemanasan global ini. Kita masih saja boros soal kertas. Produk kertas dibuang dan tidak didaur ulang padahal kita tahu bahwa kertas berasal dari pohon hutan. Kita juga mengimpor sepeda motor dan mobil setiap tahunnya. Padahal asap kendaraan adalah penyumbang bagi kerusakan alam dan ketidakseimbangan alam kita ini.
Ironi lain adalah kita memperbanyak swalayan sampai masuk desa yang menyumbang plastik begitu besar dan sampah yang mengakibatkan tanah kita sempit dan semakin habis sehingga sampah berserakan di mana-mana.
Hipokrit
Sikap kita terhadap fenomena ini cenderung hipokrit. Ini tampak ketika kita tak kunjung berhenti menyalahkan pabrik, menyalahkan negara industri dan menyalahkan orang lain. Siapa yang bertanggung jawab terhadap semua ini? Kebanyakan dari kita sering mengatakan: pemerintah. Salah siapa ketika sudah seperti ini? Sebagian dari kita pun akan menjawab: pemerintah. Padahal sejatinya adalah tanggung jawab kita. Meski pemerintah adalah penanggung jawab utama, kita pun ikut bertanggung jawab untuk itu. Ini adalah kesalahan kita dan tanggung jawab kita.
Olah karena itu, salah satu solusi konkret yang bisa dilakukan di negeri ini adalah gerakan antiplastik dan pengurangan konsumsi kertas. Gerakan antiplastik adalah salah satu strategi nyata untuk mengatasi global warming dan climate change. Dengan mengurangi plastik dalam kehidupan, kita telah memberikan sumbangsih setidaknya untuk mengurangi panas di bumi ini. Bisa dibayangkan, seandainya manusia setiap hari membuang plastik di bumi ini, padahal bumi kita hanya satu.
Gerakan ini bisa dilakukan dengan : pertama, say no to plastic! Ini bisa kita lakukan dengan menolak pemberian plastik ketika berbelanja di supermarket atau pasar. Kedua, membuang sampah pada tempatnya. Dengan cara itu, kita telah mengurangi polusi.
Ketiga, suarakan dan laksanakan. Dengan menyuarakan kepada setiap keluarga, teman dan lain-lain untuk melakukan gerakan antiplastik, akan memberikan solusi konkret dari bahaya global warming. Keempat, mengurangi dan menghentikan impor barang teknologi, maupun kendaraan yang menyumbang emisi. Misalnya dengan membatasi impor kendaraan bermotor dan mobil akan mengurangi polusi dari emisi yang ditimbulkan dari gas buang CO2.
Terakhir, mengurangi dan membatasi penggunaan kertas. Dengan mengurangi dan membatasi penggunaan dan konsumsi kertas kita, kita sudah menghemat hutan dan pohon kita untuk tidak digunduli dan dihabisi. Kita sudah harus sadar bumi ini akan menimbulkan bencana dan hal-hal lain adalah akibat dari tangan kita sendiri. Apakah kita harus menunggu Tuhan memperingatkan kita? Tentu tidak begitu. -
Oleh : Arif saifudin yudistira
Penulis adalah mahasiswa UMS, presidium kawah institute indonesia, diterima di SOLO POS selasa, 5 oktober 2010
1 Komentar:
di negara lain sudah dilaksanakan, tapi di negara kita baru menjadi ide,, benar2 ironis..
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda