Merindukan Sesosok Kartini
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Tulisan ini lahir atas kegelisahan dan keringnya tokoh perempuan Indonesia yang muncul sebagaimana kartini pada waktu itu. Kartini adalah sosok pejuang wanita Indonesia yang mampu bersuara keras kepada orang tuanya, kepada lingkungannya, kepada negerinya tentang arti pembebasan perempuan. Meski dia terhimpit dan dipingit oleh orang tuanya, ia tidak buta, ia tidak tuli, dan melawan semua ini dengan keyakinan dan perbuatan.
Kartini yakin, dengan menulis suatu saat ada orang yang akan memperhatikan tulisannya, dengan melawan di lingkungan keluarganya, melawan system yang ada pada waktu itu yang memarginalkan perempuan. Keyakinannya itu ia tuangkan dalam suratnya kepada nyonya abendanon :” Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang;jalan itu berbatu-batu,berjendal-jendul,licin……belum dirintis!dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke jalan itu,walaupun saya akan sudah patah di tengah jalan,saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meretas jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumi putera. Saya sudah akan puas apabila orangtua anak-anak perempuan lain yang juga hendak berdiri sendiri,tidak akan lagi dapat mengatakan :”masih belum ada seorangpun diantara kita yang telah berbuat demikian”.
Kartini menulis, belajar dan mengilhami penderitaan kaum perempuan bumi putera yang mengalami keterkungkungan, mengalami penindasan, dan mengalami diskriminasi dalam hal pendidikan, dan lain-lain. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi perempuan kita pada saat ini. Banyak di negeri ini penindasan perempuan yang secara tidak sadar telah membuat negeri ini menjadi negeri yang rapuh. “tegaknya negara adalah tegaknya kaum perempuan”begitulah al-hadist berpesan yang dituliskan kembali oleh sukarno dalam buku Sarinah.
Betapa tidak, kita melihat prostitusi dan perzinaan seperti sudah sedemikian parah di negeri ini. Perdagangan perempuan, penelantaran bayi perempuan, pemerkosaan, dan juga deskriminasi perempuan masih saja ada di negeri ini. Cita-cita kartini yang dulu didengung-dengungkan saya rasa belum tercapai hingga saat ini. Ternyata penindasan perempuan lebih banyak ketimbang pembelaan perempuan. Jumlah kursi perempuan yang disuarakan partai hanya sebagai legitimasi partai bahwa partai telah memenuhi aspirasi kaum perempuan.
Kebijakan-kebijakan yang diambil terhadap penindasan perempuan ternyata belum menunjukkan bahwasannya perempuan memang layak mendapatkan tempat dan diperlakukan sebagaimana kaum laki-laki. Sebut saja kebijakan tentang 30% wakil perempuan dalam legislative, kemudian kebijakan tentang prostitusi, kebijakan tentang penindasan para TKI perempuan, kebijakan tentang pendidikan kaum perempuan, dan lain sebagainya.
Kebijakan yang selama ini ditelorkan hanya sebatas lamisan dan belum menyentuh pada pokok persoalan yang dihadapi perempuan. Bahkan dewasa ini muncul pula “pelecehan sexual” yang dilakukan terhadap perempuan di dalam angkutan umum sebagaimana dituliskan oleh mustainah SM [28/710].
Kartini tidak sendiri…
Untuk menghadapai penindasan terhadap perempuan yang kian marak pada waktu itu kartini tidak sendiri dan tidak mampu melakukan sendiri. Oleh karena itu, perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan mustahil ketika hanya dilakukan oleh LSM-LSM perempuan, dan institusi-institusi saja. Kartini pernah menuliskan ini dalam surat pribadinya : “Saya putus asa, dengan rasa pedih saya puntir-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia seorang diri saja saya merasa tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang aduh alangkah kejamnya,dilindungi oleh ajaran islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan : kurbannya.
Kebodohan perempuan yang ternyata sampai saat ini melindungi penindasan perempuan. Pernyataan kartini sampai saat ini masih relevan. Hal ini saya temukan ketika saya bertanya kepada kebanyakan teman saya perempuan tentang cita-cita mereka. Apa cita-citamu?. Hampir kebanyakan menjawab menjadi ibu rumah tangga. Belum banyak perempuan yang bercita-cita besar seperti kartini yang membebaskan perempuan bumi putera dari ketertindasan dan kebodohan.
Pendidikan belum menjamin
Pendidikan yang selama ini dianggap bagian dari solusi ketertindasan terhadap perempuan ternyata belum juga menjamin perempuan menjadi pribadi yang merdeka, berintegritas, dan mampu setara dengan kaum lelaki. Betapa tidak, perempuan sering saja malu dalam beropini di ranah pendidikan, selain itu, mereka jarang sekali menduduki sebagai pemimpin dalam lingkup organisasi kemahasiswaan, kalaupun ada rata-rata mereka hanya difungsikan sebagai simbol saja.
Pendidikan pun belum memberikan wacana yang cukup memadai tentang pembebasan perempuan. Kita lihat saja, universitas maupun lembaga pendidikan justru malah menjadi tempat nomer satu untuk memasarkan trend dan berbagai aksesoris modern bagi kaum perempuan yang tanpa disadari justru semakin membuat penilaian terhadap perempuan semakin dinilai rendah. Hal ini muncul karena ”mitos kecantikan” yang pernah disuarakan naomi wolf hanya sekedar menjadi buku yang rapi sebagai hiasan perpustakaan saja dan menjadi wacana yang dimuseumkan. Sebab itulah, pendidikan belum menjamin bahwa perempuan perlu dibebaskan dari penjara pikirannya, dari penjara keterbelakangannya, dan lain sebagainya.
Selain itu, ketidakmampuan lembaga pendidikan melepaskan ikatan yang kuat dari kepentingan lembaga-lembaga pendonor, ketidakmampuan LSM-LSM keluar dari kepentingan negara ataupun kepentingan para penyumbang dana mengakibatkan pendidikan perempuan seringkali sebatas wacana tanpa aplikasi. Oleh karena itu, perempuan sulit sekali berdaya. HAR Tilaar pernah menuliskan tentang hal ini. ” Manusia yang diberdayakan oleh pendidikan hanya mungkin diwujudkan kalau lembaga-lembaga pendidikan tersebut mempunyai otonomi, lepas dari berbagai kungkungan baik oleh masyarakat maupun oleh negara”inilah pendidikan yang memberdayakan manusia”.
Saya yakin, sosok kartini baru akan muncul, tapi keyakinan saya ini tentu akan dibuktikan dan dijawab oleh zaman. Bahwa masih ada perempuan-perempuan negeri ini yang masih peduli dengan nasib bangsanya. Yang ia tidak butuh pamor, tidak butuh imbalan materi, tapi ia ingin melihat perempuan berjaya dan sadar akan ketertindasannya.
*)Penulis adalah pendiri komunitas tanda tanya UMS, belajar di universitas muhammadiyah surakarta
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda