De- Sakralisasi Liburan
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Liburan menjadi waktu yang amat ditunggu-tunggu manusia modern untuk sekedar melepaskan kepenatan, atau sekedar untuk mengisi waktu luang. Liburan pun menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi karyawan yang sibuk dengan aktifitas kerjanya. Manusia modern membutuhkan tempat untuk lepas dari aktifitas-aktifitas mekanik mereka. Lyotard pernah mengatakan ini dalam bukunya nirmanusia : “Kecerdasan manusia digantikan oleh kecerdasan artificial[AI] suatu saat kelak kehidupan pun bakal beralih pada kehidupan artificial “. Apa yang terjadi ketika kehidupan pun beralih dari kehidupan artificial. Aktifitas kita adalah aktifitas buatan. Yang didesain oleh kekuatan besar, yang disetting sedemikian rupa, sehingga manusia tak lagi memiliki identitas diri.
Imaji akan kesenangan dan hiburan pun dimunculkan oleh media sebagai daya tarik bagi para pekerja kantor, bagi para pejabat, bagi para mahasiswa, untuk menikmati sejenak keindahan-keindahan yang muncul sewaktu liburan. Tak heran, Koran-koran, televise, dan radio kerap menayangkan iklan yang luar biasa dengan berbagai model. Ada paket wisata ke bali murah meriah, ada paket liburan ke Singapore, paket liburan hemat,bahkan ada juga paket liburan ruhani.
Dimana kemudian kita menemukan sosok religiositas ketika hal-hal yang bermakna religi pun ditempatkan dalam paket wisata liburan. Kita memiliki minat besar akan hal-hal yang popular, daripada hal-hal yang substantive. Religiositas yang semula sacral kini menjadi profan berbenturan dengan pola budaya kita yang mengagungkan kenikmatan artificial.
Kebiasaan ini pun seperti dicontohkan oleh wakil rakyat kita. Para anggota DPR dan pejabat-pejabat kita pun tak jauh berbeda. Mereka mengisi liburan mereka dengan belanja dan plesir di luar negeri dengan dibungkus dengan kata yang lebih akademik “ studi banding”. Tanpa sadar, budaya menikmati liburan hanya sekadar menghabiskan uang dan memperoleh kepuasan sudah menjadi budaya massal.
Begitu pun dengan hari libur agama. Kita begitu ramai dengan aktifitas yang tak sacral lagi. Natal yang sebentar lagi tiba tidak lagi menggambarkan sebagaimana jejak cultural pada waktu itu. Natal yang seharusnya menjadi moment perenungan dan hari yang sacral, kini hanya sebagai sebuah rutinitas yang tak beda dengan hari-hari biasa. Umat Kristen pun mahfum bukan pada penghayatan dan makna natal, akan tetapi justru menikmatinya dengan memenuhi mall-mall dan tempat belanja favorit mereka.
Maka tak heran, natal pun menjadi ajang eksistensi dan perlombaan identitas social. Seakan-akan dengan pohon natal yang mahal, nilai dan tingkat religiositasnya menjadi semakin tinggi. Kita tak bisa membayangkan ketika kaum papa merayakan hari raya natal yang harus mengeluarkan kocek begitu banyak.
Tak hanya libur natal yang kemudian kehilangan kesakralannya. Libur tahun baru pun demikian halnya. Tahun baru yang menjadi moment perenungan dan bahkan dengan puasa, kini tak lagi demikian. Kini, tahun baru lebih identik dengan trek-trekan motor, kembang api, makan bareng, dan hal-hal yang bersifat materialis semata. Kini liburan hanya sekedar diisi dengan wisata, belanja, jalan-jalan yang tak lepas dari sekedar memenuhi hasrat dan nafsu konsumsi.
Liburan menjadi kebutuhan orang untuk sekedar memenuhi dokumentasi pribadi, foto-foto, video pribadi untuk ajang narsis di facebook. Kebiasaan manusia modern telah benar-benar menggeser nilai dari liburan itu sendiri. Tak hanya itu, Indonesia memiliki hari libur nasional terbanyak, terbanyak pula tingkat konsumsinya ketika liburan tiba. Kita begitu ramai dengan hari libur nasional, tapi seakan miskin pemaknaan. Betapa kita telah berubah, menghilangkan makna hari libur yang dikultuskan menjadi hari libur yang berlalu begitu saja.
Ketika liburan kehilangan maknanya, maka yang muncul adalah rutinitas-rutinitas yang mengarah pada pola budaya konsumsi dan budaya popular semata. Kita semakin kehilangan makna dan indentitas cultural kita. Liburan kini tak lagi menyimpan rekam jejak cultural itu. Hal ini senada dengan yang dikatakan Thomas Carlyle dalam “works” : “Manusia semakin mekanis baik dalam kepala,hati maupun tangannya...seluruh upaya, rasa keterikatan, dan pendapat mereka mendorong mekanisme dan karakter mekanis[29]Thomas carlyle ” works”.
Konser musik, temu artis , lomba-lomba keluarga kini menjadi contoh nyata aktifitas liburan yang dimunculkan dan dikemas dengan kemampuan iklan dan pelibatan dunia entertaintment yang begitu intim.Mungkinkah liburan masih tetap sacral sebagai hari yang penuh dengan pemaknaan dan identitas cultural kita?. Atau sebaliknya, liburan adalah perayaan bagi para entertaintment, industry pariwisata, dan industry lainnya?. Sepertinya modernitas tak mampu membuat manusia-manusianya bertahan dengan identitas dirinya, meski hanya pada satu pola budaya massal yakni de sakralisasi liburan. Begitu.
Penulis adalah mahasiswa UMS, Aktif di forum diskusi perkotaan “balai sudjatmoko”, bergiat di komunitas tanda tanya.
Liburan menjadi waktu yang amat ditunggu-tunggu manusia modern untuk sekedar melepaskan kepenatan, atau sekedar untuk mengisi waktu luang. Liburan pun menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi karyawan yang sibuk dengan aktifitas kerjanya. Manusia modern membutuhkan tempat untuk lepas dari aktifitas-aktifitas mekanik mereka. Lyotard pernah mengatakan ini dalam bukunya nirmanusia : “Kecerdasan manusia digantikan oleh kecerdasan artificial[AI] suatu saat kelak kehidupan pun bakal beralih pada kehidupan artificial “. Apa yang terjadi ketika kehidupan pun beralih dari kehidupan artificial. Aktifitas kita adalah aktifitas buatan. Yang didesain oleh kekuatan besar, yang disetting sedemikian rupa, sehingga manusia tak lagi memiliki identitas diri.
Imaji akan kesenangan dan hiburan pun dimunculkan oleh media sebagai daya tarik bagi para pekerja kantor, bagi para pejabat, bagi para mahasiswa, untuk menikmati sejenak keindahan-keindahan yang muncul sewaktu liburan. Tak heran, Koran-koran, televise, dan radio kerap menayangkan iklan yang luar biasa dengan berbagai model. Ada paket wisata ke bali murah meriah, ada paket liburan ke Singapore, paket liburan hemat,bahkan ada juga paket liburan ruhani.
Dimana kemudian kita menemukan sosok religiositas ketika hal-hal yang bermakna religi pun ditempatkan dalam paket wisata liburan. Kita memiliki minat besar akan hal-hal yang popular, daripada hal-hal yang substantive. Religiositas yang semula sacral kini menjadi profan berbenturan dengan pola budaya kita yang mengagungkan kenikmatan artificial.
Kebiasaan ini pun seperti dicontohkan oleh wakil rakyat kita. Para anggota DPR dan pejabat-pejabat kita pun tak jauh berbeda. Mereka mengisi liburan mereka dengan belanja dan plesir di luar negeri dengan dibungkus dengan kata yang lebih akademik “ studi banding”. Tanpa sadar, budaya menikmati liburan hanya sekadar menghabiskan uang dan memperoleh kepuasan sudah menjadi budaya massal.
Begitu pun dengan hari libur agama. Kita begitu ramai dengan aktifitas yang tak sacral lagi. Natal yang sebentar lagi tiba tidak lagi menggambarkan sebagaimana jejak cultural pada waktu itu. Natal yang seharusnya menjadi moment perenungan dan hari yang sacral, kini hanya sebagai sebuah rutinitas yang tak beda dengan hari-hari biasa. Umat Kristen pun mahfum bukan pada penghayatan dan makna natal, akan tetapi justru menikmatinya dengan memenuhi mall-mall dan tempat belanja favorit mereka.
Maka tak heran, natal pun menjadi ajang eksistensi dan perlombaan identitas social. Seakan-akan dengan pohon natal yang mahal, nilai dan tingkat religiositasnya menjadi semakin tinggi. Kita tak bisa membayangkan ketika kaum papa merayakan hari raya natal yang harus mengeluarkan kocek begitu banyak.
Tak hanya libur natal yang kemudian kehilangan kesakralannya. Libur tahun baru pun demikian halnya. Tahun baru yang menjadi moment perenungan dan bahkan dengan puasa, kini tak lagi demikian. Kini, tahun baru lebih identik dengan trek-trekan motor, kembang api, makan bareng, dan hal-hal yang bersifat materialis semata. Kini liburan hanya sekedar diisi dengan wisata, belanja, jalan-jalan yang tak lepas dari sekedar memenuhi hasrat dan nafsu konsumsi.
Liburan menjadi kebutuhan orang untuk sekedar memenuhi dokumentasi pribadi, foto-foto, video pribadi untuk ajang narsis di facebook. Kebiasaan manusia modern telah benar-benar menggeser nilai dari liburan itu sendiri. Tak hanya itu, Indonesia memiliki hari libur nasional terbanyak, terbanyak pula tingkat konsumsinya ketika liburan tiba. Kita begitu ramai dengan hari libur nasional, tapi seakan miskin pemaknaan. Betapa kita telah berubah, menghilangkan makna hari libur yang dikultuskan menjadi hari libur yang berlalu begitu saja.
Ketika liburan kehilangan maknanya, maka yang muncul adalah rutinitas-rutinitas yang mengarah pada pola budaya konsumsi dan budaya popular semata. Kita semakin kehilangan makna dan indentitas cultural kita. Liburan kini tak lagi menyimpan rekam jejak cultural itu. Hal ini senada dengan yang dikatakan Thomas Carlyle dalam “works” : “Manusia semakin mekanis baik dalam kepala,hati maupun tangannya...seluruh upaya, rasa keterikatan, dan pendapat mereka mendorong mekanisme dan karakter mekanis[29]Thomas carlyle ” works”.
Konser musik, temu artis , lomba-lomba keluarga kini menjadi contoh nyata aktifitas liburan yang dimunculkan dan dikemas dengan kemampuan iklan dan pelibatan dunia entertaintment yang begitu intim.Mungkinkah liburan masih tetap sacral sebagai hari yang penuh dengan pemaknaan dan identitas cultural kita?. Atau sebaliknya, liburan adalah perayaan bagi para entertaintment, industry pariwisata, dan industry lainnya?. Sepertinya modernitas tak mampu membuat manusia-manusianya bertahan dengan identitas dirinya, meski hanya pada satu pola budaya massal yakni de sakralisasi liburan. Begitu.
Penulis adalah mahasiswa UMS, Aktif di forum diskusi perkotaan “balai sudjatmoko”, bergiat di komunitas tanda tanya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda