Demokrasi Minus Perwakilan
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Tragis, Itulah ungkapan yang menggambarkan nasib negeri ini. Betapa kita melihat koruptor yang sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tapi masih saja memperoleh keringanan hukuman. Gayus tambunan yang dituntut 20 tahun pernjara ternyata hanya memperoleh vonis hakim 7 tahun penjara[20/01/11]. Kasus gayus adalah pelajaran kesekian kalinya betapa hukum di negeri ini ibarat mainan saja bagi orang yang berpunya. Wajar jika ada seorang mantan napi mengatakan dalam syairnya : ‘alangkah lucunya negeri ini, hukuman bisa dibeli”. Jangan heran,sebab negeri ini memang sudah menjadi negeri para Mafioso.
Ketidakhadiran Negara dalam peran dan wewenangnya menangani berbagai persoalan yang ada dianggap sebagai seuatu hal yang wajar dan lumrah oleh para pemimpin negeri ini. Presiden semestinya sebagai perwakilan eksekutif yang tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga kepala Negara, ketika terjadi permasalahan yang rumit, maka peran sebagai kepala Negara wajib menangani kasus-kasus tersebut.
Meski setelah adanya seruan moral dari para ulama dan para rohaniawan, SBY melakukan instruksi terkait penyelesaian kasus gayus, sepertinya pemerintah kita belum menunjukkan keberaniannya membuka persoalan yang pelik di negeri ini. Memang perlu kita cermati, persoalan gayus bukanlah satu-satunya kasus di negeri ini. Kasus rekening gendut POLRI, kasus century, kasus lapindo, dan kasus penunggakan pajak adalah persoalan yang sebenarnya persoalan lama yang tak kunjung mendapatkan perhatian.
Dalam demokrasi, kita menganut prinsip perwakilan adalah lembaga yang semestinya menjadi penyalur dan lembaga solutif bagi persoalan rakyat. Akan tetapi, yang terjadi saat ini para pemimpin kita yang ada di eksekutif dan legislative sepertinya memang abai terhadap persoalan rakyat. Kemiskinan yang merajalela, kemampuan dan nilai mata uang yang semakin tiada arti dihadapkan dengan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok adalah contoh realnya. Pemerintah tidak berdaya sama sekali dihadapkan dengan persoalan harga kebutuhan masyarakat.
Persoalan demokrasi masih pada persoalan klasik. Kewajiban partai politik dan unsur-unsur dalam pilar-pilar demokrasi dirasa kurang dalam melakukan pendidikan politiknya kepada rakyat kita. Sehingga, persoalan demokrasi saat ini cenderung direduksi sebagai ceremonial pemilihan umum. Sistem yang ada ternyata belum mampu melahirkan generasi-generasi yang lahir dari rahim rakyat. Namun yang muncul sebagaimana dengan kondisi saat ini, yang menjadi calon pemimpin eksekutif dan legislative adalah sebuah dinasti yang dibangun para pendahulunya.
Demokrasi kita mengalami persoalan yang sangat krusial dalam implementasi dan substansi demokrasi. Demokrasi yang idealnya mendasarkan cita-citanya pada cita-cita konstitusional, yang ada justru sebaliknya demokrasi adalah alat untuk berkuasa dan menancapkan kuasanya yang dilegitimasi melalui konstitusi yang dilegalkan. Praktiknya jelas yaitu pengkhianatan demokrasi dengan mengesahkan undang-undang yang tidak mendukung tercapainya cita-cita konstitusional. Misalnya UU Penanaman modal, UU MIGAS, UU ketenagakerjaan, UU MINERBA, dan lain-lain.
Undang-undang yang dibuat untuk memperlancar asing menancapkan kembali kekuasaannya adalah wujud pengkhianatan konstitusi kita. Persoalan yang muncul adalah undang-undang tersebut memperlancar asing menindas rakyat. Misalnya pada undang-undang penanaman modal yang membolehkan mengambil tanah rakyat dengan system ganti rugi. Ini mengakibatkan rakyat menjadi semakin tersingkir dari kedaulatannya.
Ketika melihat persoalan ini, apakah sampai saat ini partai politik kita juga mengawal hak-hak ekosob dalam konteks pemenuhan hak-hak rakyat. Partai –partai saat ini memiliki kecenderungan menjadikan rakyat sebagai penonton saja. Penonton dalam menyaksikan drama-drama politik yang dimainkan media dan pemerintah. Kesemua berita yang ditayangkan dalam layar televisi kita semakin menjelaskan ketidakberdayaan dan ketidakjelasan posisi pemerintah. Barter politik pun menjadi satu permainan yang dilakukan partai politika kita. Apalagi sekarang dipayungi dengan setgab presiden. Ketika demikian, mustahil rakyat akan memperoleh kepastian akan kasus-kasus kejahatan yang dilakukan para elit negeri ini. Dimanakah letak keterwakilan dalam demokrasi?.
Kondisi ini disebabkan oleh rakyat yang seharusnya memiliki kedaulatan tidak mampu mewujudkan kedaulatannya di negeri ini akibat para actor-aktor di eksekutif dan legislative ternyata berkhianat terhadap cita-cita konstitusi kita. Sebagaimana Muhammad hatta pernah mengatakan : “Rakyatlah yang memiliki kedaulatan, bukan Negara yang memiliki kedaulatan”. Artinya, kedaulatan Negara sebenarnya adalah kedaulatan rakyat. Konsep teori mandat yang ada selama ini, ternyata belum dimanifestasikan sepenuhnya oleh wakil rakyat kita. Sehingga kondisi yang ada, adalah golongan mewakili golongannya, partai mewakili partainya,dan kepentingan pribadi bertengger lebih tinggi daripada kepentingan rakyat.
Kemandegan saluran demokrasi dan lembaga-lembaganya membawa rakyat pada sikap kepesimisan dan apatisme sehingga menimbulkan riak-riak perlawanan terhadap kondisi yang ada. Rakyat bosan dengan permainan para elit-elit politik yang tak kunjung selesai. Ironi di negeri ini adalah kemiskinan ditengah kekayaan alam kita. Ini disebabkan karena persoalan karakter di tangan para pemimpin inilah yang tidak ada. Senada dengan yang diungkapkan oleh Pramudya ananta toer : “ Selama beratus-ratus tahun lamanya negeri ini dijajah oleh bangsa barat, negeri ini dihisap, dirampas kekayaan alamnya,negeri yang begitu kaya, disulap menjadi negeri pengemis karena tidak adanya karakter pada kaum elit”.
Penulis adalah mahasiswa universitas muhammadiyah surakarta, bergiat di komunitas tanda tanya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda