Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Januari 23, 2011

Mahasiswa Dan Hilangnya Etos kepahlawanan



Oleh Arif saifudin yudistira*)

Pahlawan dimaknai sebagai seorang yang menonjol keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Akan tetapi kalau kita lihat saat ini etos kepahlawanan makin lama makin pudar dan tak nampak pada generasi muda kita saat ini. Generasi muda kita lebih cenderung memikirkan pada bagaimana nasib mereka sendiri dan mencapai kesuksesan pribadi mereka.
Iklim akademik kampus pun ikut membentuk pola pikir yang demikian. Kampus sebagai basis yang seharusnya mengikatkan diri dan berintegrasi terhadap masyarakat ternyata malah tercerabut dalam menghadapi persoalan masyarakat. Sehingga ilmu dan metodologi dan karya ilmiah yang ada terasa jauh dari kepentingan masyarakat dan bahkan tidak memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat.
Kegalauan ini pun dirasakan oleh ekonom sekaligus rector UMS Prof. Bambang Setiaji berkaitan dengan peran kampus dan sumbangsihnya terhadap masyarakat. Ia mengatakan dalam pidatonya sewaktu dies natalis UMS : “ Jumlah riset banyak sekali, namun demikian dirasakan banyaknya riset tersebut belum berdampak signifikan terhadap kemajuan bangsa”. Ini karena riset-riset tersebut tidak applicable dan bersifat teoritis semata.
Ketika hal yang demikian yang terjadi di kampus-kampus di negeri ini, maka kekhawatiran yang muncul adalah kampus akan menjadi menara gading di tengah permasalahan bangsa dan negara, tetapi tidak mampu menawarkan alternative solusi terhadap permasalahan bangsa ini.
Etos kepahlawanan di mata generasi muda dan civitas akademika perlu digalakkan dan ditumbuhkan kembali. Sebab dengan mengilhami etos-etos para pahlawan kita, kita akan menemukan karakter yang kuat untuk membangun mentalitas dan karakter bangsa. Etos kepahlawanan hadir tidak hanya dengan slogan-slogan yang muncul ketika hari pahlawan ada, tapi menghargai dan mengilhami semangat perjuangannya itu yang berat.
Kita tahu betul, generasi kita saat ini minim figure kepemimpinan. Globalisasi dan modernitas menyeret generasi muda kita pada pribadi yang hilang dan rapuh diri. Nampak pada bagaimana mereka lebih mengidolakan artis atau pun bintang film popular daripada mengenal sosok pahlawan mereka. Jangankan kartini, sukarno, hatta, apalagi tan malaka, adalah nama-nama asing di telinga mereka.
Kita menjadi generasi yang memuja popular dan memuja budaya media yang menjadi panutan dan buku gaya kita, daripada membaca karya-karya para pendiri bangsa ini. Etos pahlawan kalah dengan etos dan semarak menjadi bintang dengan berbagai audisinya. Generasi muda kita lebih bangga dan narsis dengan ajang-ajang pencarian bintang yang membawanya pada kemahsyuran dan kejayaan. Meski sadar, mereka sudah menikmati syndrome popular dan syndrome “pop culture”.
Kegelisahan dan keresahan ini sebenarnya sudah diungkapkan oleh banyak pakar sejarah dan pakar pendidikan kita. Beberapa penelitian menunjukkan karena lembaga pendidikan kita tidak memberikan pengenalan yang massif terhadap sejarah bangsa dan pahlawannya. Di negara lain, membaca buku sejarah dan bangsa serta mengenal para pahlawan dijadikan semacam pelajaran wajib di sekolahan-sekolahan. Akan tetapi,di negeri ini tidak ada pewajiban membaca buku-buku tokoh pahlawan kita.
Ilmu dan pelajaran sejarah di sekolah kita direduksi menjadi ilmu Tanya jawab semata, yang mengakibatkan generasi kita tidak mengenal etos kepahlawanan di negeri ini. Mereka lebih memahami sejarah dengan logika menjawab soal dan hafalan daripada nilai filosofi dan etos kepahlawanan.

Perlu keterlibatan civitas akademika

Kerja membangun peradaban ini adalah tugas berat bagi kita semua terutama generasi muda kita. Para guru besar dan intelektual kampus semestinya menyadari bahwa permasalahan ini adalah permasalahan besar. Dunia ini begitu sesak dan penuh dengan berjejal informasi, teknologi, dan juga benturan budaya dari luar.
Ketika benturan budaya ini tidak diantisipasi dengan karakter dan kepribadian kita, maka yang muncul adalah manusia-manusia yang gagap budaya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Alvin Toffler dengan sebutan “shock culture”. Modernitas dengan berbagai konsekuensinya tidak harus dihindari, tetapi dihadapi dengan strategi. Keterlibatan seluruh civitas akademika untuk menumbuhkan kembali semangat dan etos kepahlawanan akan membawa kita pada kemantapan mentalitas serta ketangguhan pribadi menghadapi permasalahan bangsa ini.
Mahasiswa sebagai pressure group [kelompok penekan] perlu juga menguatkan kajian dan strategi yang massif dari infiltrasi budaya pop yang membawa kampus pada gemerlap yang semu dan pribadi yang tidak berkarakter. Kampus harus menjadi garda depan dalam menciptakan solusi dan alternative untuk kemajuan bangsa.
Sebab, bangsa yang semakin sesak dengan berbagai permasalahan dan arus modernitas memerlukan generasi yang mampu menjawab segala persoalan ini. Tantangan generasi muda saat ini justru lebih berat dengan benturan budaya dan teknologi yang secara tidak sadar meringkus kesadaran kita.
Sadar dengan hilangnya etos kepahlawanan dan tantangan yang berat ini, mahasiswa dituntut membangun kerja inteleltual dan kerja praksis di tengah rumitnya permasalahan bangsa dan arus globalisasi. Perlu keteguhan mentalitas dan semangat pengorbanan yang harus ditumbuhkan. Dengan melatih kemampuan dan kepekaan intuisi kita terhadap permasalahan umat, kita akan mampu menganalisa dan mengembangkan kerangka konseptual dan alternative solusi bagi bangsa ini. Tugas seorang intelektual adalah mencela ketidakadilan dimanapun ia berada, barangkali apa yang digaungkan satre belum juga menemukan terang di dunia mahasiswa dan generasi muda kita. Ini adalah tantangan yang mau tidak mau memerlukan jawaban bagi generasi muda dan mahasiswa.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah surakarta, bergiat di komunitas tanda Tanya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda