Mahasiswa, Masihkah Anti Korupsi?
Arif saifudin yudistira*)
Pengawalan gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa sepertinya mandeg di tengah jalan. Mahasiswa miskin alternative dan miskin konsepsi gerakan anti korupsi. Posisi yang strategis yang seharusnya bisa dimainkan tapi justru meringkus gerakan mahasiswa untuk ikut arus atau sekedar mengikuti pola LSM dan lembaga-lembaga pemerintah. Alhasil, mahasiswa belum mampu menciptakan budaya anti korupsi yang cukup signifikan mewarnai gerakan anti korupsi di masyarakat.
Posisi mahasiswa sebagai the middle class[kelas menengah] yang menjadi penghubung antara pemerintah dan organ-organ saluran demokrasi dinilai lemah dan lesu. Pasalnya mahasiswa seringkali tergiur dan terombang-ambing oleh adanya arus kepentingan yang berjubel mulai dari ormas masyarakat, LSM, lembaga Negara, hingga proyek branding yang diajukan kampus untuk mengentaskan nama kampus dari jurang ketidakpopuleran. Maka tidak heran, yang muncul adalah model-model gerakan anti korupsi yang sebatas pada pembicaraan yang tidak substansial. Mahasiswa tak mampu menyuarakan suaranya, melainkan hanya sebatas EO[event organizer] sebuah proyek seminar anti korupsi.
Ini terlihat jelas di kampus-kampus yang tidak memiliki platform politik yang jelas. Yang mereka tidak mampu dan tidak memiliki kerangka kerja konseptual maupun kerangka kerja praksis yang akan membawa mahasiswanya kepada suatu tujuan yang jelas. Yang lebih mengerikan lagi adalah ketika mahasiswa dan eksekutifnya bersembunyi dibalik ketiak birokrat kampus.
Logika mengekor ke birokrat ini akan menimbulkan dampak mentalitas maupun dampak yang signifikan terhadap pola gerakan yang ada. Bisa dibaca jelas, apa yang dilakukan mahasiswa adalah apa yang dikomandokan oleh rektorat. Sehingga mahasiswa miskin strategi, miskin gagasan, miskin intelektual, dan dependent.
Ketika kampus sebagai basis akademik tidak mampu mengembangkan kerangka konseptual dan kerangka pemikiran ilmiah tentang bagaimana strateginya menghadapi permasalahan yang ada dan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan masyarakat. Maka yang muncul adalah kampus yang ramai dengan kegiatan akademik, tetapi miskin substansi dan pemaknaan.
Kampus yang demikian akan menunggu waktu sejarah berbicara. Sebab, kampus yang demikian, akan tidak mampu berkembang dan mengembangkan diri. Sebab generasinya tidak dibekali kemampuan dan analisa kritis menghadapi permasalahan di masyarakat.
Peran civitas akademika?
Sebenarnya kita selaku mahasiswa memiliki peran yang strategis dalam menyuarakan gerakan anti korupsi. Dua peran yang bisa kita ambil adalah gerakan konsepsi dan gerakan teknis. Untuk gerakan konsepsi bisa dilakukan dengan merumuskan pola pengembangan gerakan anti korupsi jangka panjang. Ini bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan elemen-elemen masyarakat untuk membudayakan budaya anti korupsi secara berkelanjutan. Dengan membuat konsep gerakan anti korupsi yang memungkinkan dipraktekkan dalam jangka waktu yang lama dan berkelanjutan. Sebab ketika kultur keterbukaan dan akuntabilitas tidak dijalankan, budaya korupsi sulit untuk kita hilangkan.
Untuk kerangka teknis bisa dilakukan dengan melakukan gerakan kritis dalam bentuk diskusi dan forum akademik, ataupun dengan demonstrasi untuk menyuarakan dan mengkritisi pemerintah yang selama ini tidak mampu melakukan gerakan anti korupsi yang konkret. Ini terlihat ketika lembaga-lembaga Negara ini terkesan hanya menghabiskan uang Negara tanpa hasil yang nyata dilihat rakyat. Karena kalau kita lihat efektifitas pemberantasan korupsi bisa dinilai dari pemberantasan dan penghilangan politik nepotisme yang kerap membawa ketidakadilan dan mendukung koruptor.
Selain itu, mahasiswa perlu menggandeng pers dan media massa untuk menyuarakan dan mengkampanyekan isu-isu korupsi secara massif. Sehingga masyarakat tidak diombang-ambingkan oleh berita yang ada. Karena ketika melihat kasus korupsi selama ini yang disorot media adalah isu korupsi yang diusung oleh lembaga-lembaga anti korupsi yang terkesan getol memberantas mahasiswa tanpa peranan mahasiswa. Peran mahasiswa pun tersingkirkan dan diremehkan ketika tidak mampu mengajak dan bersinergi dengan pers dan media massa.
Ketika gerakan konsepsi dan gerakan teknis bisa dilakukan secara sinergi maka akan mampu mengangkat posisi gerakan mahasiswa di masyarakat dan pilar-pilar demokrasi pada satu sisi. Juga akan mampu memberikan dinamisasi pada masyarakat dan pencerahan terhadap masyarakat sehingga terbentuk masyarakat yang peduli terhadap permasalahan korupsi di daerahnya pada khususnya dan pada negeri ini pada umumnya.
Melihat kenyataan itu, mahasiswa perlu melakukan gerakan secara bersama bukan hanya berhenti pada konsep pendidikan anti korupsi dalam bentuk seminar-seminar. Akan tetapi juga pada budaya kritis yang menjadi controlling [control] mahasiswa sebagai corong masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya. Selain itu, Mahasiswa perlu menggandeng pers dan media massa dalam rangka sounding [ menyuarakan] aksi-aksi mahasiswa dan kerja konkret dalam menciptakan iklim anti korupsi di lingkungan kampus maupun di dalam luar kampus [masyarakat].
Gerakan ini tidak mungkin bisa dicapai ketika mahasiswa tidak mempunyai platform gerakan anti korupsi yang jelas, konsepsi yang jelas, serta manajemen kerja yang jelas untuk melakukan gerakan anti korupsi bersama masyarakat dan rakyat kita. Dengan begitu, jelas mahasiswa mampu memainkan peranannya melakukan gerakan anti korupsi. Semoga ini tidak sekedar harapan tetapi langkah konkret ke depan untuk memberantas korupsi Indonesia secara substantive dan berkelanjutan.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergiat di Komunitas Tanda Tanya
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda