Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Rabu, Januari 26, 2011

Ilusi Penanda Kota Solo



Oleh Arif saifudin yudistira*)

“[Para kapitalis] seperti mucikari, menggunakan segala trik untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido demi memperoleh nilai tambah. Mereka mengeksploitasi kegairahan secara tanpa batas”{jean Francois Lyotard,93}.

Kegelisahan wali kota akan kotanya ternyata memperoleh jawaban pada hari ini. Wali kota kita ingin solo sebagai kota budaya memiliki ciri khas di setiap sudut kotanya yang membuat para wisatawan tertarik datang ke solo. Cara yang digunakan untuk itu menuai kontroversi. Satu sisi wali kota ingin solo dibangun dengan penanda kota dengan tidak meninggalkan budayanya. Akan tetapi, cara jokowi membuat penanda bagi kotanya menuai kritik dari warganya.
Berikut komentar warga tentang pembangunan makutha tersebut. “ Tidak setuju. Aku lebih setuju tugu batas tetap yang lama, kalau mau direnovasi silakan, tapi yang perlu diingat adalah jangan menghilangkan nilai historinya. Buat apa bergaya modern? Wisatawan yang dilihat atau yang dikunjungi adalah tempat yang memiliki niali history,belajarlah dari bali apa yang mereka jual”[solo pos /13/1/2011]. Pernyataan yang disampaikan warga solo tentang kotanya ada benarnya. Bahwa nilai history lebih menjual, karena sebenarnya wisatawan manca tidak suka nilai modern,sebab di kota mereka sudah banyak. Nilai history inilah yang menjadikan kota tetap adiluhung dengan maha karyanya.
Kita sudah belajar dari pengalaman renovasi pasar tri windu. Meski tampak modern dan lengkap dengan kemegahannya, aspek history cenderung diabaikan. Bagaimana kemudian relevansi visi dan jargon solo sebagai kota budaya ketika dibenturkan dengan desakan dan libidonomic yang Nampak pada pembangunan makutha.
Selain anggaran yang cukup besar, yaitu menggunakan anggaran 3,7 miliar yang bersumber dari investor, pembangunan makutha lebih cenderung pada aspek kapitalis yang mengedepankan nilai jual bangunan tersebut dari sisi penghasilan reklame. Yang lebih mengherankan adalah ketika makutha pengelolaannya diserahkan selama sepuluh tahun kepada investor.

Ilusi penanda

Penanda dalam kota atau lebih kita kenal sebagai ikon kota solo sebenarnya sudah sering kita dengar. Sebab, solo kaya akan khazanah benda maupu seni budaya yang merupakan warisan heritage yang luhur. Kita punya taman hiburan rakyat sriwedari yang popular sejak jaman dahulu. Kita juga mempunyai taman jurug yang cukup bersejarah hingga diabadikan dalam sebuah lagu pula. Kita memiliki musem radya pustaka, kemudian keraton Surakarta.
Kesemuanya tadi adalah tidak sekadar benda bercagar budaya, akan tetapi telah didokumentasikan dalam bentuk narasi-narasi sastra, narasi-narasi artikel, essai, dan dokumentasi sejarah yang membuktikan dan mengangkat solo semakin kukuh dengan label kota budaya.
Alasan yang digunakan jokowi membangun makutha kalau kita lihat ternyata hanyalah ilusi penanda. Sebab, makutha yang rencananya berbentuk kubah mahkota raja itu dipilih sebagai filosofi kresna. Akan tetapi, yang muncul adalah ilusi yang ternyata mengunggulkan kemegahan bangunan dan fungsi capital saja.
Kita mengerti dan memahami maksud jokowi untuk membangun penanda kota yang bisa menjadikan warga di luar solo bisa menikmati kekhasan kota solo. Akan tetapi, kita mesti sadar, bentuk-bentuk kolonialisasi yang memusatkan pada hasrat capital semestinya tidak kita turuti. Sebab manusia yang berbudaya pada hakikatnya adalah manusia yang menghargai karya manusia-manusia dan bangunan-bangunan yang ditinggalkan dari para pendahulunya.
Kita bisa melihat keinginan walikota membangun makutha tidak lain adalah kepentingan para investor dalam menanamkan modalnya di kota ini. Mengingat kota ini mempunyai potensi yang cukup tinggi di bidang pariwisata dan perdagangan. Maka, kita bisa melihat sisi politis dari pembangunan makutha tidak lain adalah untuk kepentingan investor.
Nilai ekonomi yang ditonjolkan lebih mengindikasikan walikota pro terhadap kapitalis, daripada sekadar membangun sebuah penanda kota. Sebab masih banyak penanda-penanda kota yang perlu dirawat daripada membangun penanda kota yang baru. Seperti tugu-tugu kota solo, serta musem radya pustaka yang selama ini masih belum mendapatkan perhatian dalam menumbuhkan semangat warganya untuk melindungi cagar budaya ini.
Terlalu naïf, ketika kita membangun penanda lagi yang tidak memiliki nilai history, juga berorientasi pada nilai capital. Tetapi tidak meruwat dan merawat serta menggairahkan etos kita terhadap penghargaan benda cagar budaya. Sehingga, rencana wali kota membangun makutha hanya sebagai ilusi penanda yang akan melenyapkan kota ini dari penanda-penanda yang sudah ada.
Kita perlu melihat objektif dalam memandang persoalan makutha sebagai penanda kota. Kota ini memang sedang mencari jati diri dan mencari filosofi, sehingga perlu mematungkan filosofi dalam bentuk bangunan fisik, ataukah sebaliknya, kota ini merasa menanamkan filosofi dalam bentuk yang fisik saja, bukan pada bentuk aplikasi?.
Filosofi lebih mencerminkan tata kepribadian yang akan membawa kota ini berbudaya. Sayangnya, filosofi budaya jawa yang tepo seliro, kenal unggah-ungguh , dan menjadikan filosofi jawa sebagai pola perilaku keseharian belum berhasil diterapkan pada generasi muda. Akan lebih baik, ketika filosofi kresna dan filosofi lainnya ditanamkan dalam benak para remaja dan generasi mudanya, daripada memuseumkan filosofi kresna dalam bentuk bangunan makutha.
Tidak salah membangun filosofi dalam bentuk fisik, akan tetapi alangkah lebih baik ketika filosofi tercermin dalam aplikasi dan pola kehidupan sehari-hari daripada sekadar membangun filosofi ke dalam bentuk-bentuk fisik yang membatu. Langkah inilah yang belum memperoleh jawaban hingga saat ini. Pemerintah tampaknya lalai melihat kecenderungan anak muda kita yang lebih mementingkan budaya konsumtif dan budaya hedonis ketimbang menonton wayang sebagai pelajaran dan khazanah budaya. Perhatian ke arah sana, adalah sebuah keharusan yang lebih urgent saat ini, daripada memperindah bangunan kota yang berorientasi pada capital dan citra semu.

*) Penulis adalah pegiat komunitas tanda tanya, belajar di UMS

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda