Mahasiswa dan Peran Gerakan Kepeloporan
* Oleh Arif Saifudin Yudistira
GERAKAN mahasiswa masih dipercaya mampu membawa perubahan. Gerakan itu timbul ketika mahasiswa mampu mengemas satu tema besar yang mengerucutkan permasalahan dan disampaikan dengan bahasa populis pada rakyat. Itulah yang terjadi tahun 1998.
Syarat keberhasilan gerakan adalah konsisten dan kontinu — dua kata yang berkaitan, tetapi sering dilupakan. Visi-misi dan nilai-nilai kaum muda identik dengan gerakan moral yang bertumpu pada empati dan simpati, sehingga menumbuhkan semangat keberpihakan pada rakyat; menjembatani dunia akademik dan dunia realitas.
Kini, kita sering mendengar keluhan rakyat bahwa pemerintah dan negara tak hadir dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih mampu melindungi kekayaan alam dan kedaulatan rakyat, pemerintah justru membuat bangsa ini makin tersungkur dengan beban utang dan jeratan politik asing.
Seperti Soeharto
Kebijakan pemerintah yang cenderung menganut paham pasar bebas membuat rakyat tak mampu bertarung dengan kekuatan ekonomi luar. Sebab, kekuatan ekonomi luar dan investor diberi hak luar biasa untuk mengeksploitasi alam dan sumber daya manusia kita. Pemerintah tak melindungi dan memedulikan ekonomi kerakyatan.
Pemerintahan SBY cenderung seperti masa Soeharto, yakni membangun koalisi superkuat untuk melegitimasi kekuasaan, yang tercermin pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Pada awal pemerintahan kabinet itu
membuat heboh publik dengan kasus KPK dan Century yang belum selesai hingga saat ini. Kinerja 100 hari kepemimpinan SBY pun dinilai gagal mengemban amanah — memprioritaskan pemberantasan korupsi. Korupsi justru menggurita, seperti dugaan yang digambarkan George Junus Aditjondro dalam buku Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century.
Kedaulatan ekonomi negeri ini sepertinya sudah hilang karena dihabisi dari berbagai aspek. Itu diperjelas oleh kesepakatan National Summit berisi lima tahun program SBY yang menjurus ke kebebasan pasar, seperti menghapus peraturan yang menghambat perdagangan bebas, membuka akses pasar dan modal selebar-lebarnya, dan menertibkan peraturan perburuhan dan tenaga kerja. Apalagi CAFTA secara resmi dilaksanakan sejak Januari 2010, yang sudah dirintis sejak November 2001. Kebijakan itu dikhawatirkan membuat produk dalam negeri tak mampu bersaing dengan produk China yang membombardemen.
Tantangan Tantangan yang muncul: bagaimana mahasiswa mendukung keterwujudan gerakan yang bisa melepaskan diri dari belenggu struktural dan kultural dalam lingkup akademis? Jadi mahasiswa bisa mengaktualisasikan cita-cita dengan keberlanjutan tongkat estafet kepemimpinan.
Karena, saat ini universitas di negeri ini sudah lepas tangan dari persoalan kebangsaan dan tanggung jawab moralnya. Padahal, semestinya universitas berperan dalam pendewasaan bangsa — alat pembebasan dan demokratisasi.
Karena itulah, gerakan protes mahasiswa diimbangi pendidikan politik dan penyadaran terhadap masyarakat masih relevan bagi perkembangan nilai-nilai idealisme. Apalagi ketiadaan oposisi yang riil saat ini menuntut kelahiran platform strategis dari gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa sebagai gerakan kepeloporan bisa dimulai dengan watak khas yang berorientasi ke masa depan, bertumpu pada wawasan kebangsaaan, serta berlandaskan cita-cita UUD 45 yang asli, yang mampu mengondolidasikan berbagai elemen dengan menciptakan isu populer yang dapat ditangkap masyarakat bawah serta dipahami elite politik secara elegan.
Ya, bangsa yang sakit ini perlu bangun dari tidur panjang. Karena itu, mahasiswa perlu membangkitkan kesadaran massa untuk bergerak dalam rangka mewujudkan cita-cita para pendiri negeri ini: merdeka 100% dari segala bentuk kolonialisasi dan menegakkan prinsip berdikari. (51)
- Arif Saifudin Yudistira, mahasiswa UMS, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Surakarta tulisan di muat di suara merdeka rubrik kampus. 26 februari 2011
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda