Gagalnya Pendidikan Moralitas di Perguruan Tinggi
Oleh Arif saifudin yudistira*)
Beberapa minggu lalu, senin(25/4/11) harian solo pos mengangkat liputan sex in the kos sebagai topic utama, sek di kos ini sebenarnya bukan hal baru. Akan tetapi, meski diangkat dan diperbincangkan di media, semua itu kembali pada kesadaran dan interaksi antara lingkungan masyarakat sekitar kampus, mahasiswa dan para birokrasi kampus. Pergaulan bebas dan sex bebas memang hal yang seharusnya tidak terjadi di lingkungan akademik atau dilakukan oleh seorang mahasiswa. Citra diri sebagai penerus bangsa sepertinya pupus, oleh perilaku yang tak kenal moralitas ini. Berbagai cara mungkin sudah dilakukan diantaranya menerapkan peraturan dan membatasi jam berkunjung dan aturan lain yang diterapkan paguyuban pemilik kos. Akan tetapi, semua itu tetap tidak akan berguna ketika kesadaran kolektif dari mahasiswanya sendiri tidak dibangun.
Pendidikan di kampus idealnya tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkutat pada angka-angka dan persoalan akademis semata, sehingga persoalan moralitas cenderung dilalaikan dan diabaikan. Konsepsi NKK /BKK baru memang tidak menyinggung persoalan moralitas kecuali pembatasan mahasiswa ke arah peningkatan akademik semata. Selain itu, trend pendidikan perguruan tinggi sudah mengalami disorientasi, dari pendidikan yang bermoral beralih kepada pendidikan professional. Pendidikan adalah sarana mencari pekerjaan singkatnya begitu. Hadirnya lembaga-lembaga keislaman dan organisasi keislaman pun mengalami kemandegan ide dan strategi dakwah yang mengakibatkan dakwahnya kurang diminati dan cenderung ditinggalkan. Mentoring al-islam dan kemuhammadiyahan misalnya, cenderung sebagai pelengkap dan mata kuliah tambahan semata, ditambah lagi pondok kilat selama empat hari hanya dinilai sebagai pemenuhan credits semester semata. Para mahasiswa butuh strategi dakwah yang menyentuh dan lebih inovatif. Lembaga-lembaga keislaman yang cenderung konservatif dan tidak berubah dan mengikuti trend zaman perlu diperbaharui dan diformat ulang. Sebab percuma adanya lembaga-lembaga dakwah yang ada di kampus, ketika tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dakwah mahasiswa.
Adanya fenomena sex in the kos yang menjadi sorotan media hendaknya dijadikan refleksi kritis bagi kampus dan juga lembaga dakwah islam untuk intopeksi diri, dan merenungkan kembali, jangan-jangan dakwah yang dilakukan selama ini hanya untuk kalangan sendiri, sehingga terkesan eksklusif. Padahal dakwah itu inklusif dan mengajak pada mereka yang belum tersadarkan. Dakwah kampus selama ini justru dijadikan proyek islamisasi tanpa memandang efektifitas dakwah dan juga sejauh mana keberhasilan dakwah. Kampus muhammadiyah yang cenderung menonjolkan inklusifitasnya, sekarang berubah menjadi gaya-gaya tarbiyah yang cenderung eksklusif, dan anehnya co-imam(pengasuh) pondok kilat dijadikan seperti audisi dengan iklan yang cukup menggelikan. Dakwah menjadi aneh dan jelas tidak efektif dan tepat sasaran, karena cenderung dibisniskan.
Belajar dari sejarah
Era 90-an kampus besar UMS dan UNS lebih terkenal sebagai kampus yang beraromakan perubahan. Ramai dengan diskusi, seminar ilmiah, dan loka karya yang menyentuh persoalan kontemporer di masyarakat. Kampus menjadi sarana agitasi dan propaganda bagaimana negeri ini harus berubah. Entah dengan format lembaga dakwah maupun organisasi pergerakan mahasiswa bersatu menumbangkan rezim yang meindas. Kini kampus sepi dengan diskusi-diskusi akademik, sepi dengan kajian islam kontemporer, dan lemah analisa terhadap persoalan kebangsaan. Akibat tidak ada kesibukan dan lemahnya aktifitas dan iklim akademik kampus yang kering, maka mahasiswa cenderung memilih memanfaatkan waktunya (ruang kosongnya) untuk sekedar play station, pacaran, hingga sex in the kos.
Kampus mengemban beban sejarah, beban social dan moralitas kebangsaan. Sayang sekali logika akademik dan logika mekanis lebih menonjol di era modernitas ini. Tak heran, dari birokrasi, hingga dosen, sampai mahasiswa jarang berfikir kritis terhadap penyakit yang menjangkiti universitas. Yakni rutinitas-rutinitas mekanis sebagaimana telah diungkapkan oleh Lyotard, Ideologi manusia modern adalah rasionalitas mekanis dan aktiitas mekanik lebih dominan.
Fenomena sex in the kos adalah cermin kegagalan pendidikan moralitas di perguruan tinggi. Jika problem ini dibiarkan saja, atau malah disuburkan dengan oknum-oknum baik dari masyarakat sekitar, para birokrat, apalagi mahasiswanya, maka kita tunggu saja kematian universitas sebagai penegak moral dan penerus bangsa akan menghasilkan lulusan yang bermoral bejat meski unggul dalam intlektual.Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah pertama,memperkuat relasi antara kampus dengan masyarakat sekitar. Sebab hakikatnya pendidikan itu tidak pernah terlepas dari realitas masyarakat. Sehingga pendidikan di perguruan tinggi, tidak seperti tinggal di menara gading semata, dan tercerabut dari masyarakat. Kedua,memperbaharui kembali kurikulum pendidikan islam dan moralitas di perguruan tinggi. Ini penting agar para aktifis dakwah dan juga kampus lebih inovatif,inklusif,dan tepat dalam menerapkan pendidikan moralitas ini. Terakhir, Perlu kerjasama yang lebih massif, antara orangtua, kampus, serta elemen kemahasiswaan agar lebih intensif menggairahkan iklim akademik yang menumbuhkan sikap kritis mahasiswa, yang tidak hanya sekedar berorientasi pada persoalan akademik semata melainkan perhatian civitas akademika terhadap persoalan keumatan dan kebangsaan.
*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda