Universitas Mengubah Identitas Kita
Oleh arif saifudin yudistira*)
Peran universitas dalam menciptakan para pekerja dan sebagai penyedia bagi dunia industrial memang sudah sangat lazim. Begitupula peranan universitas sebagai pencetak pengangguran adalah hal yang lazim di benak kita. Apa yang salah dari universitas kita? Jika demikian halnya yang terjadi. Lebih lanjut tentu kita akan bertanya, apa yang salah dari dunia pendidikan kita?.
Di universitaslah kalau kita perhatikan terdapat praktek-praktek penyeragaman mulai dari cara berpakaian hingga cara kita berfikir, begitulah Roem topatimasang yang berceloteh lewat buku sekolah itu candu. Di universitas pula kita sering mendengar kapitalisasi kurikulum, mitos nilai-nilai, dan konsumsi massal pengetahuan sebagaimana yang diungkapkan ivan illich dalam deschooling society.
Lalu, apakah kemudian kita masih berharap pada universitas dalam rangka menciptakan mimpi-mimpi perubahan?. Persoalan mendasar tentang universitas ini sudah dibaca oleh sudjatmoko sejak puluhan tahun lalu yang menjadi tantangan universitas-universitas di Indonesia. Tujuan dari universitas adalah “mampu mengucapkan tekad dan harapan untuk mengubah kondisi kita, dan mampu pula untuk mengucapkan tekad dan harapan itu dalam bentuk usaha yang segar dan militant”(menjadi bangsa terdidik menurut sudjatmoko, kompas 2010).
Mahalnya pendidikan tinggi masih menjadi problema yang sampai sekarang belum bisa diselesaikan oleh universitas kita selama puluhan tahun. Douglas seorang peneliti amerika mengatakan : problem klasik universitas ke depan tidak lain dan tidak bukan adalah persoalan pembiayaan.
Sejak dari awal masuk di perguruan tinggi budaya-budaya penghilangan identitas sudah muncul dikala kita memasuki masa orientasi mahasiswa atau lebih dikenal dengan OSPEK. Disanalah mulai dikenalkan budaya penurut, dikenalkan budaya mahasiswa dengan cara belajarnya, budaya penyeragaman.
Almamater
Sejak semula, kita tidak diajarkan bagaimana kultur dan identitas yang kita bawa masuk di universitas. Penghilangan identitas dan penyeragaman ini makin kentara dengan hadirnya seragam di perguruan tinggi dan hadirnya alma mater. Ini mengajarkan pada kita, manusia tidak dilahirkan sederajat, tapi disederajadkan oleh alma mater(Illich). Begitupun ketika sudah memasuki dunia perkuliahan dan dunia kelas, seolah-olah dunia kita adalah kelas, dan kemampuan serta pengetahuan kita diukur dari kehadiran kita di kelas dan seberapa aktif kita dikelas. Yang lebih menyedihkan adalah persoalan budaya yang hilang kian lama tanpa disadari oleh mahasiswa-mahasiswa kita yang rata-rata adalah dari kultur agraris. Makin banyak sawah yang hilang karena semakin menjamurnya proyek perumahan-perumahan, dan makin tidak adanya para pengruwat sawah ini, karena mereka( para mahasiswa) lebih senang dan ingin menjadi elit.
Dr. A.P.E.Korever seorang peneliti belanda, pernah menuliskan pesan tjokroaminoto dalam bukunya “ Sarekat Islam Gerakan ratu adil?”,1985 : “Murid-murid sekolah desa belajar menghilangkan cintanya kepada desa mereka dan pertanian, mereka mulai belajar menulis dan membaca…menjadi “kaum muda” modern, kaum muda yang sesat. Artinya mereka memperoleh pengertian yang salah. Mereka tidak lagi menjadi petani dan membanting tulang dalam lumpur mengerjakan sawah, seperti yang dilakukan oleh bapaknya.Kalau mereka menjadi magang, makin banyak biaya yang harus dikeluarkan orangtua mereka untuk membeli sepatu, setelan putih dan kaca mata”.
Dari kesaksian Tjokro aminoto itulah mestinya kita bisa belajar tentang peranaan universitas. Universitas boleh mengembangkan pengetahuan dan mencipta pelembagaan dan penyalur (distribusi) pengetahuan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi negeri ini. Akan tetapi universitas tidak boleh menggilas identitas cultural dan identitas mahasiswanya. Justru sebaliknya, peranan universitas adalah mengembangkan dan meletakkan mahasiswanya sesuai bakat dan minat yang dia kuasai. Dari potensi dan pengembangan kreatifitas mahasiswa itulah, universitas akan memperoleh tenaga ahli yang cakap dan tangkas serta tanggap akan perubahan.
Dr.Sudjatmoko pun pernah berpesan bagi mahasiswa kita yang berada diluar negeri :” Perhatikanlah dinamisasi dan kondisi terkini negeri Anda, agar anda tidak menjadi un employed intellectual,sehingga pengetahuan yang anda peroleh di luar negeri akan menjadi pengetahuan yang berguna dengan memperhatikan relevansi pengetahuan tersebut dengan perkembangan di negeri anda”. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah para sarjana luar negeri adalah agent-agent para komparador asing yang memata-matai negeri ini dan menjadi para intelektual tukang yang mengabdi dan menghamba pada kepentinga asing(sujiwo tejo).
Oleh karena itu, universitas kita perlu belajar dari KH dewantara sebagai bapak perintis pendidikan nasional pernah mengatakan : “hakaekat pendidikan adalah pemberian kemerdekaan dan kebebasan pada peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kekuatan lahir batin, hakekat filsafat hidup dan pendirian hidup, yang disertai kesadaran religius dan kebudayaan sebagai fondasinya”.
*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute Indonesia,Tulisan dimuat di SOLO POS 13 september 2011 rubrik mimbar mahasiswa
Peran universitas dalam menciptakan para pekerja dan sebagai penyedia bagi dunia industrial memang sudah sangat lazim. Begitupula peranan universitas sebagai pencetak pengangguran adalah hal yang lazim di benak kita. Apa yang salah dari universitas kita? Jika demikian halnya yang terjadi. Lebih lanjut tentu kita akan bertanya, apa yang salah dari dunia pendidikan kita?.
Di universitaslah kalau kita perhatikan terdapat praktek-praktek penyeragaman mulai dari cara berpakaian hingga cara kita berfikir, begitulah Roem topatimasang yang berceloteh lewat buku sekolah itu candu. Di universitas pula kita sering mendengar kapitalisasi kurikulum, mitos nilai-nilai, dan konsumsi massal pengetahuan sebagaimana yang diungkapkan ivan illich dalam deschooling society.
Lalu, apakah kemudian kita masih berharap pada universitas dalam rangka menciptakan mimpi-mimpi perubahan?. Persoalan mendasar tentang universitas ini sudah dibaca oleh sudjatmoko sejak puluhan tahun lalu yang menjadi tantangan universitas-universitas di Indonesia. Tujuan dari universitas adalah “mampu mengucapkan tekad dan harapan untuk mengubah kondisi kita, dan mampu pula untuk mengucapkan tekad dan harapan itu dalam bentuk usaha yang segar dan militant”(menjadi bangsa terdidik menurut sudjatmoko, kompas 2010).
Mahalnya pendidikan tinggi masih menjadi problema yang sampai sekarang belum bisa diselesaikan oleh universitas kita selama puluhan tahun. Douglas seorang peneliti amerika mengatakan : problem klasik universitas ke depan tidak lain dan tidak bukan adalah persoalan pembiayaan.
Sejak dari awal masuk di perguruan tinggi budaya-budaya penghilangan identitas sudah muncul dikala kita memasuki masa orientasi mahasiswa atau lebih dikenal dengan OSPEK. Disanalah mulai dikenalkan budaya penurut, dikenalkan budaya mahasiswa dengan cara belajarnya, budaya penyeragaman.
Almamater
Sejak semula, kita tidak diajarkan bagaimana kultur dan identitas yang kita bawa masuk di universitas. Penghilangan identitas dan penyeragaman ini makin kentara dengan hadirnya seragam di perguruan tinggi dan hadirnya alma mater. Ini mengajarkan pada kita, manusia tidak dilahirkan sederajat, tapi disederajadkan oleh alma mater(Illich). Begitupun ketika sudah memasuki dunia perkuliahan dan dunia kelas, seolah-olah dunia kita adalah kelas, dan kemampuan serta pengetahuan kita diukur dari kehadiran kita di kelas dan seberapa aktif kita dikelas. Yang lebih menyedihkan adalah persoalan budaya yang hilang kian lama tanpa disadari oleh mahasiswa-mahasiswa kita yang rata-rata adalah dari kultur agraris. Makin banyak sawah yang hilang karena semakin menjamurnya proyek perumahan-perumahan, dan makin tidak adanya para pengruwat sawah ini, karena mereka( para mahasiswa) lebih senang dan ingin menjadi elit.
Dr. A.P.E.Korever seorang peneliti belanda, pernah menuliskan pesan tjokroaminoto dalam bukunya “ Sarekat Islam Gerakan ratu adil?”,1985 : “Murid-murid sekolah desa belajar menghilangkan cintanya kepada desa mereka dan pertanian, mereka mulai belajar menulis dan membaca…menjadi “kaum muda” modern, kaum muda yang sesat. Artinya mereka memperoleh pengertian yang salah. Mereka tidak lagi menjadi petani dan membanting tulang dalam lumpur mengerjakan sawah, seperti yang dilakukan oleh bapaknya.Kalau mereka menjadi magang, makin banyak biaya yang harus dikeluarkan orangtua mereka untuk membeli sepatu, setelan putih dan kaca mata”.
Dari kesaksian Tjokro aminoto itulah mestinya kita bisa belajar tentang peranaan universitas. Universitas boleh mengembangkan pengetahuan dan mencipta pelembagaan dan penyalur (distribusi) pengetahuan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi negeri ini. Akan tetapi universitas tidak boleh menggilas identitas cultural dan identitas mahasiswanya. Justru sebaliknya, peranan universitas adalah mengembangkan dan meletakkan mahasiswanya sesuai bakat dan minat yang dia kuasai. Dari potensi dan pengembangan kreatifitas mahasiswa itulah, universitas akan memperoleh tenaga ahli yang cakap dan tangkas serta tanggap akan perubahan.
Dr.Sudjatmoko pun pernah berpesan bagi mahasiswa kita yang berada diluar negeri :” Perhatikanlah dinamisasi dan kondisi terkini negeri Anda, agar anda tidak menjadi un employed intellectual,sehingga pengetahuan yang anda peroleh di luar negeri akan menjadi pengetahuan yang berguna dengan memperhatikan relevansi pengetahuan tersebut dengan perkembangan di negeri anda”. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah para sarjana luar negeri adalah agent-agent para komparador asing yang memata-matai negeri ini dan menjadi para intelektual tukang yang mengabdi dan menghamba pada kepentinga asing(sujiwo tejo).
Oleh karena itu, universitas kita perlu belajar dari KH dewantara sebagai bapak perintis pendidikan nasional pernah mengatakan : “hakaekat pendidikan adalah pemberian kemerdekaan dan kebebasan pada peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kekuatan lahir batin, hakekat filsafat hidup dan pendirian hidup, yang disertai kesadaran religius dan kebudayaan sebagai fondasinya”.
*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute Indonesia,Tulisan dimuat di SOLO POS 13 september 2011 rubrik mimbar mahasiswa
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda