Kawah Institute Indonesia

Pusat Studi dan Pembelajaran Generasi revolusioner

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Solo, Central Java, Indonesia

Kawah Institute adalah Lembaga independen yang senantiasa berusaha untuk bersama-sama menjadikan tempat ini sebagai pusat studi dan pembelajaran generasi revolusioner,bertujuan agar senantiasa terjadi perubahan secara radikal, sistematis, serta terencana {Revolusi}

Minggu, Oktober 02, 2011

Toilet Mengisahkan kita


Oleh Arif saifudin yudistira*)


Kata toilet sering dipandang sebagai sesuatu tempat yang menjijikkan, terbelakang, dan tempat untuk membuang segala yang buruk-buruk dari diri kita. Ritus toilet mengisahkan manusia perlu membuang segala yang kotor di tubuh kita. Di dalam toilet itulah kita melakukan satu aktivitas membersihkan diri, membersihkan tubuh. Kisah toilet ternyata menjadi satu pengalaman yang beragam dari kita. Ada yang mengisahkan toilet adalah tempat membuang kebosanan, tempat menciptakan ide-ide segar, bahkan tempat untuk menciptakan fantasi social juga kenikmatan sex.

Ritus toilet tidak hanya sekadar peristiwa biologis semata, tapi mengisahkan biografi seseorang seniman, politikus, esais, artis, kaum borjuis dan sebagainya. Sebut saja Ahmad dani yang menghiasi toiletnya dengan berbagai macam buku dan aksesoris lainnya. Ini juga dialami afrizal malna dengan rumahnya di jogja yang menjadikan toilet sebagai ruang inspirasi. Begitupun seorang esais yang menemukan ide-ide segarnya di toilet. Para artis pun tidak jauh berbeda melengkapi toilet dengan berbagai aksesoris yang memuaskan bagi dirinya. Toilet ternyata tidak hanya ruang yang sekadar diidentikkan dengan tempat membuang kotoran, tapi tempat menciptakan diri,juga tempat mengisahkan diri.

Ritus Kebersihan

Di dalam toilet ini kita dididik untuk melakukan ritus kebersihan, ritus membersihkan diri. Orang jawa mengenal ini dengan kata reresik yang secara kasat mata mungkin dipandang orang hanya menyapu halaman rumah, membersihkannya dan membakarnya. Akan tetapi ketika kita menilik lebih jauh, falsafah jawa memaknai aktivitas reresik dimaknai dengan membersihkan kotoran yang ada di tubuh, baik penyakit dan kotoran yang terlihat maupun yang tak terlihat, membakar dendam, dengki, iri, juga penyakit-penyakit hati yang lain, sedang api diartikan sebagai cahaya yang menerangi diri di waktu menjelang malam harinya. Yang diartikan menerangi manusia dari jalan yang gelap. Di toilet itulah sebenarnya kita melakukan aktifitas reresik yang tidak hanya membuang kotoran-kotoran kita, tapi juga membakar sesuatu yang buruk di diri kita, serta menerangi diri kita setelah keluar dari toilet.

Selama ini kita memandang aktivitas dan ritus membersihkan diri dianggap sebagai sesuatu aktifitas membersihkan sesuatu di luar diri kita. Membersihkan halaman, membersihkan lingkungan, membersihkan jalan, dan lain-lain. Padahal semestinya, segala yang kotor itu hadir dan ada di dalam diri kita. Ritus kebersihan yang selama ini di dengung-dengungkan oleh pabrik lewat slogan dan gambarnya, pemerintah lewat program-program kebersihan lingkungannya, juga para politisi lewat seruan dan khotbah-khotbahnya ternyata mengingkari nalar kemanusiaan kita yang selama ini ironi dengan yang mereka lakukan.

Mereka melakukan ritus toilet yakni membuang asap-asap pabrik, membuang sampah-sampah di bumi kita, dan juga mendirikan mal-mal dengan sampah-sampahnya.Mengeksploitasi tambang tanpa memperhatikan lingkungan kita. Ternyata, toilet itu adalah diri kita yang kita bawa kemana-mana, yang ketika tidak kita buang kotorannya akan berakibat penyakit. Penyakit toilet yang dibawa manusia bisa berupa bencana alam, wabah penyakit, dan gejala alam lainnya.

Jika ditilik dari sisi spiritualitas, agama mengajarkan bagaimana ritus toilet (membuang kotoran) di diri kita dilakukan dengan zakat, puasa, dan sodaqoh. Ini yang kemudian jarang dilakukan para konglomerat dan politisi negeri kita. Sehingga mereka tak sadar bahwa mereka menampilkan kebusukan, menampilkan kotoran, aib bangsanya dengan wajah tersenyum sebagaimana mereka menampilkannya di toilet.

Di toilet pula kita menemukan ruang yang tak hanya menunjukkan betapa manusia berkisah dari sana. Di sanalah manusia mencari ruang kepuasan untuk melakukan satu aktifitas dirinya. Dengan menghias toilet mereka, menatanya, membersihkannya, memberi pengharum, dan rajin menyedotnya setiap tahun sekali. Ini untuk mencapai tingkat kepuasan dirinya di dalam melakukan ritus di toilet.

Metafora kotoran

Di toilet kita mengenal dan menciptakan makna tentang apa sebenarnya kotoran, dan mengapa harus dibuang. Budaya barat memandang kebersihan sebagai suatu hal yang biasa, ruang-ruang, mall-mall, dan juga rumah-rumah mereka. Berbeda dengan Indonesia, Indonesia tidak menyukai satu penataan, Indonesia lebih menyukai yang alami, hingga segala yang kotor yang alami pun jadi satu hal yang wajar di negeri ini.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh budayawan asal italia yang telah lama tinggal di solo pernah mengatakan “ Orang luar suka Indonesia karena kekacauannnya, kotornya, dan juga semrawut di pasar, di jalan-jalan dan sebagainya” mereka merasa menemukan yang unik dari hal yang kotor-kotor. Begitupun sebaliknya, orang Indonesia menyukai singapura, Malaysia karena kebersihannya. Perbedaan dan metaphor inilah yang tidak bisa kita samakan antara budaya bangsa satu dengan budaya bangsa lain.

Dari sanalah kita menemukan satu hidden agenda, yang selama ini tersembunyi dari lembaga-lembaga ekonomi, lembaga-lembaga lingkungan, para kapitalis dan juga lembaga-lembaga yang mengaku peduli terhadap apa yang menjadi “kotoran“ bangsa Indonesia. Maka hasilnya bisa kita lihat, mereka membawa sampah-sampah baru bagi Indonesia melalui pembangunan mall-mall dengan gaya kebersihannya dengan menggusur pasar traditional yang ada di negeri ini. Pabrik-pabrik yang besar yang menghasilkan limbah dan asap dan hal-hal yang berbau kotor dibawa ke negeri kita.


Bahkan sampai ada gerakan asosiasi toilet Indonesia yang berusaha menyeragamkan ritus toilet di negeri ini. Akhirnya, yang semua itu juga mengandung motif ekonomi, politik, social, dan budaya. Yang tentunya berbeda cara pandang kita memandang kotoran antara orang luar dengan bangsa kita.

Ritus toilet mengisahkan manusia yang membawa kita pada satu budaya, politik-ekonomi, social yang mengajarkan kepada kita(bangsa Indonesia), bahwa ternyata bangsa kita masih perlu dan belajar untuk membersihkan dirinya dan membuang kotoran-kotorannya sebelum kotoran-kotoran itu menjadi penyakit yang lebih besar dan mematikan bagi dirinya sendiri.




*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, bergiat di pusat studi mangkubumen Solo

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda