Mengembalikan Diri pada Hakikat Kemanusiaan
Judul : Lalu Aku
Penulis : Radhar Panca Dahana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Juli 2011
Tebal : 124 hlm.
LALU aku, lalu kau, lalu aku kau adalah tiga bab kehidupan kita yang diterjemahkan, dituliskan, dan ditangkap Radhar Panca Dahana dalam buku puisinya ini. Aku, kau, dan kita adalah bagian dari kehidupan ini, bagian dari hakikat kosmos yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan kita. Ketika aku terlepas dari kau, ketika kata aku terlepas dari kau dan kita maka aku adalah sosok yang hilang, sosok yang tak punya nyawa. Pesan itulah yang ingin disampaikan dalam sekumpulan puisi ini.
Manusia diciptakan untuk berhubungan dengan orang lain, dengan alam, dan dengan imajinasinya. Ketika manusia tidak lagi mempunyai rasa sensibilitas, tidak memiliki rasa sensitivitas dengan alam, manusia lainnya, maka tidak jauh berbeda dengan cyborg. Sebagaimana Lyotard pernah berujar tentang makhluk mekanik. Herbert Marcuse menyebut manusia yang seperti ini dengan sebutan one dimensional of men (manusia satu dimensi).
Manusia yang seperti itulah manusia yang mereka menyentuh, mereka mendengar, mereka melihat tapi tidak tersentuh, tidak mendengar, dan tidak merasakan. Akhirnya manusia yang seperti inilah yang tentu tidak sama-sama kita inginkan. Sastra adalah bagian dari kemanusiaan itu. Puisi adalah bagian dari sastra. Mencintai puisi, adalah mencintai sastra, dan mencintai kemanusiaan.Lewat kata-kata itulah kita berperan, dengan kata-kata kita bersuara, dan dengan kata-kata kita mengumpulkan dan menciptakan, serta dengan kata-kata kita berpihak. Maka tak khayal bila Pramudya pernah mengatakan: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak mencintai sastra ia ibarat anjing yang bodoh.
Dalam puisi Radhar Panca Dahana, kita akan menemukan keterasingan, kelemahan, kegembiraan, kekaguman, dan juga refleksi diri yang sangat wajar dihadapi oleh manusia. Menulis puisi adalah memerkarakan hidup dan kehidupan. Puisi bagi Radhar adalah upaya mengembalikan kita sebagai manusia. "Susunlah kata-kata hingga ia menjadi hidup yang berwaktu dan bercinta. Susunlah ia jadi puisi sehingga ia memanusiakan kamu, sebagaimana sejarah waktu ada padamu, sejarah cinta membentukmu".
Radhar meletakkan kata aku dengan lihai, aku menjelma menjadi alam, aku menjelma menjadi anak, dan metafora yang asyik dan membawa kita pada dunia imajinasi yang luar biasa. Ini yang kita baca dari sajak Ragukan Aku tanpa Ragu: laut dimana semua tetesnya/adalah cinta, untukmu semata./Tapi, sekali lagi ragukan aku/bila tetap tersedu,tetap jadi aku./Ragukan semua/tanpa ragu.
Dalam puisi ini pula kita akan menemukan rasa kekaguman, perasaan yang biasa kita alami sebagai sosok manusia yang mengagumi seseorang. Radhar menuliskan ini dengan indah dengan judul Lenggakmu, Lenggok Waktuku; Ratih sanggarwati.
Dalam puisi ini kita akan menemukan peristiwa yang intim antara penulis puisi dan Ratih Sanggarwati, yang mengalami satu peristiwa yang sama, kenyataan yang sama, yang berjalan beriringan antara mereka berdua. Dalam puisi ini kita diajak berpikir, merenung, dan mengagumi sosok Ratih Sanggarwati. Begitu pun dalam puisi sejenis berjudul Pisau Kecil Pingkan Mambo.
Radhar menggambarkan cinta yang ada hanyalah sepintas lalu, yang biasa saja dan penuh dengan kesederhanaan. Kata kesederhanaan seperti tak terlepas dari biografi Radhar yang memulai kisahnya dengan segenap kesederhanaan yang akrab dengan kemiskinan. Namun, Radhar mencintai dan mempunyai jalan seni yang awal dianggap tidak sesuai dengan keluarganya. Puisi cinta yang lain bisa ditemukan dalam Ibu yang Baik, Seindah Itukah Kamu, Dari Cinta yang Sederhana.
Puisi-puisi Radhar adalah puisi yang halus, pelan, lirih tapi terkadang menusuk ulu hati. Yang biasa, wajar dan kadang penuh dengan ketegangan. Lewat puisi-puisinya kita kembali diajak untuk bertamasya tentang manusia, manusianya, kehidupan, kehidupannya, dan kehidupan kita. Sebagaimana kita manusia, kita pun akan menemukan rasa dalam kata-katanya. Itulah yang diharapkan dengan hadirnya puisi ini. Lalu aku, lalu aku kau, lalu kita, dan semua ini akan berlalu. n
Arif Saifudin Yudistira, mahasiswa UMS, Presidium Kawah Institute Indonesia
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Oktober 2011
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda