Kampusku, masa depanku(bagian 2)
Jelang 53 tahun UMS
Oleh arif saifudin yudistira*)
Kampusku adalah penjaraku adalah kata-kata realitas kampus kita saat ini. Hampir tiga tahun ini, kampus kita selalu menjadi kampus mencekam dan mengerikan dengan pagar-pagar besi di setiap sudut nya. Betapa ruang dalam pikiran kita seolah memasuki penjara pendidikan bertajuk ; kampus ums. Nuansa islami seperti hadir disini, ketertiban seperti akrab disini, slogan-slogan populis dari birokrasi tampil dengan segera mengisi makan pagi, siang, dan malam kita.
Ruang public menjadi kotor, tak tertata, dan menteror. Ruang public penuh dengan pembatasan-pembatasan yang tak wajar dengan berbagai tanda spanduk dimana-mana, belum lagi pembatasan kelamin “hotspot”. Budaya kita menjadi budaya instant dalam menyelesaikan masalah. Masalah pencurian diselesaikan dengan cc tv, pencurian diselesaikan dengan tulisan-tulisan yang mencekam seperti di dalam masjid kita : “sering terjadi pencurian, hati-hati dengan barang bawaan anda”. Masjid kita adalah masjid yang menyeramkan dan menakutkan. Kepasrahan ibadah kita terganggu soal materi yang bingung mau kita amankan dimana?,meski sudah ada cc tv.
Penyempitan ruang public???
Benarkah sudah terjadi penyempitan ruang public di kampus kita saat ini?. Betapa kampus begitu menyedihkan dengan upaya-upaya penyempitan ini. Penyempitan ruang public hadir dalam miskinnya budaya dialog dan dialektika antara mahasiswa dan pihak pengelola universitas ini. Betapa pentingnya peradaban dibangun dari sana, diskusi, dialektika dan penyelesaian masalah-masalah universitas secara bersama.
Nalar akademik diruntuhkan dan dipersempit dengan membatasi ruang public kita adalah kelas. Lihatlah dan kelilinglah ke kampus tercinta ini, makin lama ruang public semakin sempit. Farmasi, dihabisi dengan ruang-ruang laboratorium entah laboratorium apa?, Jalan-jalan yang aspal dan makin sempit, Makin banyaknya mobil-mobil para birokrat kita.
Efek yang nampak jelas betapa tragisnya. Wisudawan-wisudawan makin bertambah banyak dan cepat menyelesaikan kuliah. Bangku kelas di UMS hampir tak menyimpan biografi, pengalaman, apalagi menyimpan memori kolektif akan berkembangnya diri dan nalar kritis akademis. Kampus adalah kenangan yang secepatnya dilupakan, sebab tidak ada yang berkesan di kampus ini. Sebab kampus memberi kesan hanya sebatas ceremonial penerimaan mahasiswa baru dan juga wisuda para sarjananya.
Lalu, masa depan kita dimana?
Bukankah masa depan kita berawal dari tempat yang kecil ini?. Bukankah kebesaran kita berawal dari ekspresionisme para kawula muda disini?. Lebih jauh lagi, bukankah miniature Negara dan peradaban ada di sini?. Ketika kita masih berkeyakinan hal tersebut atau apapun imajinasi masa depan anda akan bertumpu disini, maka penyempitan ruang public perlu kita hancurkan, budaya kritis perlu dikembangkan, bukankah universitas-universitas maju di dunia berawal dari perumusan pertanyaan dan jawaban-jawaban dari diskusi keseharian kita?
Barangkali masa depan kita adalah selembar kertas wasiat yang menjadi nyawa dan bahkan “tuhan baru” yang membuat kita tiba-tiba tak berdaya dihadapkan kehidupan mendatang sebagai manusia pendatang di masyarakat. Ijazah tak mampu memberi jawaban akan betapa kerja tak semudah kita menjadi elit sebagaimana keinginan kebanyakan orang di kampus yang mendambakan “kerja di belakang meja”(kantoran,pns,dll).
Tertib sebagai jawaban bisu
Lihatlah betapa spanduk bisu yang berceramah : “Ingat agenda akademik anda, 75 % kehadiran, KRS, dan bayar”. Apakah logika masa depan kita dibangun dengan sesederhana ini dan sesingkat ini?. Dimanakah penelitian-penelitian mahasiswa kita, dimanakah arsip-arsip sejarah mahasiswa tahun dulu-dulu, apakah seperti itu?. Sepertinya tidak, budaya diskusi, seminar akademik kemasyarakatan, dan permasalahan social menjadi agenda rutin.
Tapi kini, tertib dan budayanya seperti kembali berkampanye di kampus kita menghadirkan pengikut ribuan yang hadir tiap tahunnya, tiap tahun itu pula kita seperti dibuat takut akan masa depan kita, penyalahgunaan SPP kita, dimanakah konsepsi besar kampus yang berobsesi sebagai center of excellent ketika peradaban kita seperti peradaban yang telah menemui ajalnya dengan hilangnya ruang public, munculnya terror dan ancaman dana kemahasiswaan, dan lemahnya budaya “musyawaroh” yang kesemuanya itu menunjukkan di ultah 53 ini, kampus ini belum bangun dari tidurnya, meski sudah ada promosi dimana-mana hingga ke luar negeri dengan gaya “go internationalnya”
*) Penulis adalah alumnus DPM UMS”,ikut menulis buku “manusia = puisi”2011 Tulisan dimuat di koran pabelan 19 oktober 2011
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda