Hidden Curriculum, tabir pendidikan kita
Tanggapan essai Sartika dian Nuraini(1/10/2011)
Oleh arif saifudin yudistira*)
Apakah kampus adalah satu-satunya tempat atau lembaga yang berhasil melahirkan pengetahuan?atau apakah kampus adalah produsen bagi ilmu-ilmu pengetahuan kita?. Maka pertanyaan tersebut perlu kita jawab tegas, kampus tak lain adalah garbage input, garbage output. Pendidikan tak jauh dari kesimpulan Paulo Freire yang memandang bahwa pendidikan kali ini lebih mirip pada pendidikan gaya banking.
Produksi pengetahuan?.Sepertinya kampus yang digadang-gadang menciptakan ilmuwan produktif dan juga kontributif bagi persoalan masyarakat kini dan kemanusiaan tak kunjung muncul. Logika proyekisasi penelitian dan berbagai proyek hibah berorientasi pada profesionalisme semata tanpa landasan etos meneliti. Maka mustahil dan ajaib ketika kampus masih saja mengumandangkan sebagai produsen pengetahuan. Tak beda dengan mahasiswa-mahasiswanya yang cenderung dicaci dan dicerca oleh mahasiswanya sendiri yang berlagak kritis terhadap kampusnya. Lihat tulisan dian nuraini di mimbar mahasiswa dengan tajuk : “E-library, lompatan teknologi?(1/10/2011).
Tulisan dian mengajak kita kembali menyesali mahasiswa yang bodoh karena berbagai fasilitas yang ada tak kunjung dimanfaatkan dan cenderung di-anggurkan. Fasilitas internet yang menghabiskan dana puluhan bahkan ratusan juta tak sebanding dengan penelitian dan juga produk dari mahasiswa. Secara sepintas kritik dian benar, tapi lebih lanjut kita akan mengatakan kritik dian adalah dangkal.
Dangkal
Dian,tak lebih dan tak bukan adalah korban dari system yang ada dikampusnya. Dalam wacana Gramsci kita mengenal hegemoni dan contra hegemoni, hasil dari hegemoni pemikiran yang dominan di kampus memandang mahasiswa salah, karena dengan berbagai fasilitas yang ada tak mampu berkembang dan mengembangkan diri. Anehnya, kampus dan system yang jauh lebih besar dari hal yang dangkal itu tak dianalisis dan dikritisi.
Kampus adalah system yang tak mungkin terlepas dari regulasi, konstitusi, dan pemerintah selaku pengatur tertinggi. Kampus di era saat ini adalah penyedia dan pelayan kebutuhan dan apa yang diperlukan pemerintah. Dalam terminology Foucault kita mengenal bahwa tidak ada relasi pengetahuan yang terlepas dari relasi kekuasaan. Dari situ, jelas kita perlu menguak apa yang dilakukan kekuasaan dengan pengetahuan kita. Maka kampus tak lebih dan tak bukan adalah pasar dan lembaga yang harus nurut dan tak boleh menentang pemerintah. Apa yang dikeluhkan dian adalah wujud NKK/BKK baru, apa yang diresahkan dian adalah wajar, dan bagian dari system itu.
Budaya yang dimunculkan dian,sebagai budaya mahasiswa adalah bentukan system, bentukan dari pemerintah, dan tak lepas dari relasi pemerintah. Kalau lebih jauh kita memakai teori Fitjrof capra ia menuliskan dalam Hidden Connection : Pendidikan adalah kemampuan untuk merasakan hubungan-hubungan tersembunyi antar fenomena [Vaclav Havel]maka pemerintah adalah ideology dan pengatur system itu.
Problem Filosofis
Belum sempat kita lebih jauh membuka tirai pendidikan kita dari sisi sistemik, dian cenderung memakai analisa dan kaca mata personal dan permukaan dalam memahami kesalahan sistemik dari kampus. Maka yang muncul dari analisa dian adalah mahasiswa adalah objek dan bukan subjek. Maka sebagai objek yang perlu dikasih asupan fasilitas, peralatan teknologi modern, ketika ia tak mampu menggunakannya, atau tak memaksimalkan dalam penggunaannya, mahasiswalah yang salah.Karena ia sebagai objek yang tak mampu membaca kepentingan subjek dan pemberian semua fasilitas dan sarana dan prasarana dari subjek(birokrasi kampus).
Apakah kampus berkepentingan terhadap mahasiswa? Apa kepentingan kampus terhadap mahasiswa?. Sepertinya essai dian yang membahas tentang perpustakaan, mahasiswa, dan juga kebijakan rektorat tak lebih dari upaya dominasi wacana yang kembali meletakkan bahwa mahasiswa saat ini adalah mereka yang hedonis, modis dan gaul. Pertanyaan tersebut seakan dijawab dengan jawaban lain oleh dian dengan mengatakan bahwa saya adalah bukan dari mahasiswa tersebut.
Maka ironis logika yang dipake dian justru memakan dia sendiri selaku kritikus, tapi juga objek, karena ia adalah mahasiswa pula sebagaimana yang dia justifikasi. Mahasiswa saat ini pemalas, jarang memproduksi, dan juga aktif sebagai konsumtif, termasuk ilmu pengetahuan. Ketika kita memakai logika yang filosofis, apakah layak ilmu diperjualbelikan?. Apakah layak logika kampus memakai logika pasar?.
Pendidikan gaya Paulo Freire sebagai aksi-reaksi dan evaluasi yang terus menerus tak kunjung muncul, pendidikan menurut ki Hajar dewantara yang mengedepankan akhlak dan kejujuran serta kearifan budi hilang. Alhasil pendidikan kita secara filosofis bisa dibaca dari pembacaan sartika dian nuraini. Jauh pasca kemerdekaan muchtar buchori sudah menerangkan tentang lonceng kematian pendidikan di indonesia. Lebih lanjut tahun 2000-an HAR Tilaar mengatakan bahwa ilmu pedagogie di indonesia telah mati. Jadi jangan heran, ketika kampus tak bisa diharapkan menciptakan intelektual sehebat para pemikir dan founding fathers dulu.
Untuk mengurai problem pendidikan kita, maka kita perlu membaca filosofi pendidikan kita. Pendidikan kita tak lain tak bukan adalah pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan manusia. Tujuan pendidikan tak lain adalah sebagaimana amanah UUD 45 yakni : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka menilik yang dikritik dian dalam dunia pendidikan kampus utamanya tak lain dan tak bukan adalah dampak dari sistemik dan terencana dari hidden curriculum(kurikulum tersembunyi) yang kini mendominasi kampus kita sekaligus menghegemoni kampus kita sehingga memproduksi mahasiswa yang apatis, hedonis, dan modis.
*) Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute indonesia,Pemimpin redaksi LPM CENDEKIA
Tulisan dimuat di SOLO POS 8 november 2011
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda