Universitas Yang (Alpa)Mendokumentasikan Diri
Oleh arif saifudin yudistira*)
Tumpukan dokumentasi dan penelitian di rak-rak perpustakaan hampir tiap tahun menumpuk jumlahnya. Tiap tahun itu pula tumpukan itu berhenti di toko loakan yang berubah jadi sampah pembungkus makanan. Penghargaan universitas dan dunia akademik kita tentang kerja kata dan kerja penelitian berujung pada nasib tragis. Kerja kata dan kerja intelektual seperti tak bermakna hari ini, meski kita telah mengusahakannya dengan hadirnya pelembagaan-pelembagaan pengetahuan, sebab dokumentasi jarang kita tekuni.
Upaya mendokumentasikan intelektual dan kerja intelektual mulai ditinggalkan. Maka tak heran kebudayaan dan peradaban kita makin lama makin tak menuai rasa. Peradaban dan kebudayaan kita mengalami fase kritis. Kita dikenal dengan bangsa yang meniru-niru dan akrab dengan dunia penjiplakan, akrab dengan dunia plagiasi apalagi karya seni dan budaya penuh dengan cap “bajakan”.
Kerja pendokumentasian dalam dunia universitas tidak jauh berbeda. Betapa minimnya kerja pendokumentasian ini sehingga kampus tidak punya arsip sejarahnya sendiri. Anehnya, justru para peneliti dari negeri manca yang tekun meriwayatkan nasib-nasib dan perkembangan kampus-kampus kita. Mereka memiliki data lebih dan menekuni arsip-arsip dan meruwatnya menjadi data dan arsip yang kelak penting bagi dunia di masa mendatang.
Minimnya penghargaan
Rendahnya budaya pengarsipan atau pendokumentasian menjadi lumrah di negeri yang kaya raya ini karena minimnya penghargaan dan apresiasi. Ketekunan tak berujung keberuntungan begitulah nasib para kolektor-kolektor dinegeri ini. Nasib mereka justru terabaikan,karena kerja mereka tak dinilai dan diperhitungkan.
Para pustakawan kita tak jauh berbeda, mereka ibarat mesin-mesin yang hanya menata dan mengembalikan buku tanpa sadar akan kebermaknaan buku. Dunia akademik kita masih jauh dari mencintai dan meruwat buku serta arsip-arsip intelektual dari para mahasiswa,dosen, dan juga para peneliti-peneliti kita.
Alhasil, dunia akademik kita tak pernah maju, karena makalah-makalah berhenti sekali baca kemudian hilang begitu saja. Lihatlah betapa makalah-makalah dari para mahasiswa, dosen dan hasil penelitian para sarjana-sarjana kita. Hasil karya cipta mereka tidak pernah dibedah, hasil karya dan kerja mereka tidak pernah dikaji dan diperdebatkan. Sehingga timbullah stigma bekerja atau tidak bekerja sama saja. Maka tak heran muncul skripsi-skripsi dengan cara membeli dan menggadaikan harga diri.
Padahal dunia akademik kita semestinya menyadarkan kembali tanggungjawab intelektual, memunculkan karya menjadi maslahah dengan pendokumentasian melalui jurnal-jurnal, melalui diskusi intelektual, dan meruwatnya menjadi dokumentasi universitas. Dokumentasi ini akan berharga dan menjadi catatan sejarah betapapun rendah atau tingginya kualitas karya. Sebab dari sanalah kita bisa belajar tentang arti proses kemajuan dan proses kebesaran universitas yang tidak dilalui melalui kerja-kerja profesional dan formalitas melalui akreditasi dan labelisasi international. Sebab dari kerja pendokumentasian itulah kita mengenal diri, mengenali masa lalu, dan mempunyai pijakan bagaimana universitas ini akan dikembangkan di masa mendatang.
Sayang sekali penghargaan kerja intelektual dan pendokumentasian ini justru lahir dari negeri manca lewat agenda mereka. Dintaranya dengan menyekolahkan para akademisi kita keluar negeri, dengan bea siswa S-2 dan S- 3. Sujiwo tedjo mengkritik dengan tegas dengan mengatakan : “Para sarjana-dan doktor-doktor kita dari luar negeri itu, merekalah yang menjual indonesia,sebab penelitian mereka tentang indonesia dan data tentang indonesia,tapi diserahkan pada asing”
Ketika kerja pendokumentasian dan kerja intelektual kita dimiliki mereka, maka dengan tanpa sadar, data-data tersebut adalah aset berharga dari republik ini yang sangat bermanfaat dalam memetakan negara kita. Ketika itu terjadi, maka tanpa sadar negeri kita adalah negeri yang tidak berdaya dan kehilangan identitasnya.Sebab tidak bisa membaca diri, memetakan diri, dan belajar sejarah dirinya. Sebab arsip-arsip kesejarahan kita tidak kita miliki, karya intelektual kita menjadi hilang entah kemana karena hilangnya kerja pendokumentasian kita.
Sadar diri
Sudah semestinya para akademisi, dan para mahasiswa lekas sadar diri bahwa kerja pendokumentasian adalah kerja intelektual dan kerja peradaban. Melalui dokumentasi itulah kita belajar meriwayatkan diri, mengenang peristiwa, dan menghargai kerja organisasi, kerja kepenulisan kita. Sebab betapapun kerja organisasi kita, kerja kepenulisan kita dan kerja intelektual kita, jika tidak terdokumentasikan, maka akan lenyap di telan zaman.
Ketekunan dalam kerja pendokumentasian ini akan mengembalikan kembali citra universitas kita selama puluhan tahun lalu ketika zaman orde lama yang memandang kampus sebagai pusat peradaban dan dinamisasi masyarakat kita. Dengan cara memanfaatkan dan menggairahkan kembali kerja pendokumentasian itu lebih bermaslahah kepada masyarakat kita. Ini bisa dilakukan melalui seminar-seminar akademik, membangun integrasi penelitian dan pengabdian masyarakat. Sehingga dokumentasi-dokumentasi intelektual yang ada di universitas tidak menjadi sekadar catatan-catatan yang lalu lalang dan tak menuai buah dari kerja yang berkepanjangan. begitu.
*)Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di kawah institute indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda