Ironi Manusia Haji
Ibadah haji adalah wujud seorang hamba yang setia memenuhi panggilan Tuhan dengan meniadakan segala yang bermakna duniawiah, demi menghadapkan wajahnya kepada Tuhan, sehingga dengan harapan pasca mereka menemui Tuhannya, maka ia akan membawa nilai-nilai ilahiah dan misi ke-tuhanan.
Ibadah haji adalah ikhtiar manusia dalam melakukan pencarian dan “penemuan” sebagaimana al-Akkad menuliskan : “Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. Merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom, betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, … yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya … penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya …”
Godaan duniawiah
Ibadah haji dalam masyarakat kita dipadang sebagai laku spiritual, yang diharapkan membawa manusianya menjadi manusia yang profetik yang mencerminkan laku-laku kenabian dan menyebarkan sifat islam yang universal. Dengan ibadah haji diharapkan masyarakat akan memperoleh berkah dari seseorang yang sudah berhaji. Maka dalam masyarakat kita ada tradisi “pengajian pamitan haji” ini diadakan dengan motif mengucapkan doa dan harap agar barokah dan keselamatan ada pada manusia haji, dan masyarakat berharap hajinya mabrur atau khidmat.
Harapan masyarakat seringkali dikalahkan dengan godaan-godaan duniawi dengan godaan oleh-oleh dari arab dan madinah. Para jamaah kerap mendapatkan pesananan oleh-oleh pula dari sanak saudara dan handai taulan di desanya, sehingga jamaah haji kita kerap pulang dengan segenap barang bawaan dan belanjanya yang berlebihan. Sampai-sampai menteri agama kita memperingatkan sedari awal dengan mengatakan : “Saya berharap harus betul-betul diiringi niat yang fokus untuk beribadah dengan sebaik-baiknya. Saya berpesan jangan boros tenaga dan uang, jika ada di tempat belanja,”(2/10/11).
Godaan duniawiah inilah yang kemudian menjadikan nilai ibadah haji menjadi berkurang, dan menghilangkan hakikat haji yang sebenarnya. Haji diibaratkan oleh Ali syariati sebagai “pertunjukan”. Alloh adalah sutradaranya,tema yang diproyeksikan adalah aksi dari orang-orang yang terlibat ; Adam, Ibrahim, dan syeitan adalah pelaku utamanya ; skema-skemanya adalah masjid ul-haram, tanah suci, mas’a,Arafat, masy’ar dan mina. Simbol-simbol penting adalah ka’bah ,shafa, marwa,siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam,berhala-berhala,dan acara berkorban,pakaian dan make up Ihram.yang akan memainkan pertunjukan ini adalah engkau sendiri.
Dari situlah, ibadah haji menuntut pembersihan hati dari niat-niat yang bermakna duniawiah. Imajinasi haji dan godaan duniawiah ini pernah dikisahkan dalam film “Emak ingin naik haji”. Haji adalah ibadah yang menuntut pengorbanan, dan kerelaan sikap dan meluluhlantakkan ego pribadi. Barangkali cerita emak ingin naik haji berbeda dengan fenomena para jamaah haji saat ini. Persoalan biaya dan juga pelayanan dan kenyamanan menjadikan jamaah haji harus dibebani dengan biaya mahal dengan dalih kelengkapan fasilitas dan lain-lain. Ibadah haji dipandang sebagai ibadah bagi para kaum hartawan, dan menjadikan jamaah haji menjadi berkasta-kasta. Ibadah haji dengan fasilitas yang serba luar biasa pun ditawarkan. Mulai dengan tausiyah, paket haji dan umroh, bahkan paket haji plus wisata ke tempat-tempat bersejarah. Haji menjadi sekadar pemenuhan kebutuhan material dan duniawiah dan miskin esensi. Hal ini tentu berbeda dengan yang dialami Ahmad Tomson dalam bukunya “Pengalaman Seorang Mualaf: Haji Kelana Mencari Illahi”. Ahmad Thomson merupakan mualaf dari Inggris yang memutuskan untuk melakukan ibadah haji dengan berjalan kaki dari London sampai Mekah. Ahmad Thompson menemukan hikmah: “Haji merupakan kunci untuk membuka makna keseluruhan perjalanan hidup seseorang.”
Iman sosial
Ibadah haji seringkali dikaitkan dengan empati dan etos social. Buku ali shariati menjelaskan pandangan kritisnya terhadap ibadah haji dan sosok pelaku haji. Buku itu terbit dalam tiga versi terjemahan Indonesia oleh penerbit berbeda: Pustaka Salman dengan judul Haji (1983), Yayasan Fatimah dengan judul Makna Haji (2001), dan Jalasutra dengan judul Menjadi Manusia Haji (2005). Ali Syariati menjelaskan haji merupakan revolusi lahir dan batin untuk membebaskan manusia dari belenggu tuhan-tuhan palsu. Haji merupakan pertunjukan tentang “penciptaan”, “sejarah”, “keesaan”, “ideologi Islam”, dan “ummah”. Nurcholis Madjid (1997) pun menilai haji adalah laku religius atas perintah Tuhan dan napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci. Tanda ketundukan dan kemabruran adalah kesadaran dan praksis untuk komitmen-solidaritas sosial. Haji merupakan ibadah individu dengan implikasi sosial.
Quraish shihab menjelaskan esensi ibadah haji ada tiga hal diantaranya mengandung nilai-nilai : 1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt. 2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak. 3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.
Refleksi haji dan negeri ini
Indonesia hampir tiap tahun mengirimkan jamaahnya dengan angkatan terbesar di dunia karena memang jumlah umat islam di negeri ini termasuk terbesar di dunia. Sekitar 5.745 jamaah haji Indonesia sudah diberangkatkan minggu (2/10/11) .Persoalan haji menjadi tanda Tanya pada kita semua, mengapa ibadah haji belum membawa implikasi besar terhadap perubahan tatanan moralitas masyarakat Indonesia. Ketika dihadapkan persoalan korupsi, kejahatan, dan juga para pejabat negeri kita adalah mayoritas manusia haji.
Imajinasi haji bukan hanya persoalan tubuh atau jasad yang memenuhi panggilan Tuhannya melainkan ruhaniah (jiwa) yang memenuhi panggilan Tuhan. Oleh karena itu, ibadah haji ditempatkan sebagai rukun islam kelima dengan didahului ibadah syahadat, sholat, puasa, dan zakat. Barangkali Tuhan memang punya scenario bahwa manusia haji adalah manusia unggul sebagaimana yang disebut neitzhe, yang menurut kehendak Tuhan ia harus melampaui ketaatan, memiliki etos social sebagaimana yang diajarkan dalam puasa dan zakat, sehingga ibadah haji adalah penyempurnaan dari semua itu.Haji dan Iman social pantas dijadikan Tanya bagi manusia Indonesia, ketika korupsi, ketidakadilan, kejahatan kemanusiaan, dan juga kemiskinan masih menjadi masalah di negeri ini. Lalu,dimanakah manusia haji kita?. (*)
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas muhammadiyah surakarta bergiat di kawah institute indonesia
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda