Puisi-Puisi Arif saifudin yudistira
Dimuat di bulletin Sastra Pawon Edisi 33 tahun III/2011
Pesan Yang Membunuh; Dari Kawat Nomer 1
Kawat itu menolak, berjeringgat dan melawan PerintahNya
Sebenarnya ia sudah tahu, ia tak bisa menolakNya,
Apa daya, pesan itu sampai pada-nya
Ketika ia mulai mendengar,Ulu hatinya tiba-tiba perih,
Ada duri,...ada bom.....ada ular......dan apa saja yang tak bisa dibayangkan
datang
Dan
meski ia tahu yang datang,
; pasti ia akan datang juga,
Dan pesan itu datang...membunuh dari kawat nomer satu
Dan kawat nomer satu,berubah jadi tangis di tengah malam,ketika
Nomer satu tak lagi patut dibanggakan, ketika nomer satu berubah jadi beban,
Yah,aku tak mau pesan yang membunuh itu datang dari kawat nomer satu
Solo,september 2011
Untuk Widji Thukul
; Aku ingin jadi peluru
Jarak memang alasan yang mengukir beda antara anak-anakmu dan anak zamanmu
Anak-anakmu begitu kuat menantang zaman yang kini merah dan tak sehitam dulu
Dan anak zamanmu,kini menuliskan tentangmu,
Mana mungkin kau meniruku?kita selalu berbeda dengan segenap dan berjejal kata
"katamu"
Dengan berat hati,aku hanya berucap aku lemah...aku lemah,,,
Dan tanganku belum menyerah,mataku masih menyala,dan mengancam
Sedang kataku beda dengan pena yang kau gunakan,PEnaku adalah pena perasaanku-
Sedang penamu adalah perasaan ribuan orang yang bersamamu menuliskan tangis
Tapi barangkali ada yang sama antara aku dan kamu;
Kemerdekaan seperti nasi yang dimakan,kemudian jadi tahi.Sederhana sekali.
Dan aku ingin jadi peluru, lebih tajam darimu untuk zamanku,
Sebab zamanku lebih kejam dan lebih terang dari zamanmu
Titik Yang Menangis
Dan belum sempat aku tuliskan kisah berikutnya...
Titik itu menyapa,dan sejenak menghentikannya
Dunia memang tak pernah mengenal kasihan,pada orang-orang yang tak punya pilihan
Untuk Widji Thukul
; Aku ingin jadi peluru
Jarak memang alasan yang mengukir beda antara anak-anakmu dan anak zamanmu
Anak-anakmu begitu kuat menantang zaman yang kini merah dan tak sehitam dulu
Dan anak zamanmu,kini menuliskan tentangmu,
Mana mungkin kau meniruku?kita selalu berbeda dengan segenap dan berjejal kata
"katamu"
Dengan berat hati,aku hanya berucap aku lemah...aku lemah,,,
Dan tanganku belum menyerah,mataku masih menyala,dan mengancam
Sedang kataku beda dengan pena yang kau gunakan,PEnaku adalah pena perasaanku-
Sedang penamu adalah perasaan ribuan orang yang bersamamu menuliskan tangis
Tapi barangkali ada yang sama antara aku dan kamu;
Kemerdekaan seperti nasi yang dimakan,kemudian jadi tahi.Sederhana sekali.
Dan aku ingin jadi peluru, lebih tajam darimu untuk zamanku,
Sebab zamanku lebih kejam dan lebih terang dari zamanmu
Titik Yang Menangis
Dan belum sempat aku tuliskan kisah berikutnya...
Titik itu menyapa,dan sejenak menghentikannya
Dunia memang tak pernah mengenal kasihan,pada orang-orang yang tak punya pilihan
Solo,september 2011
Dua bingkai
Ayah, aku ingin melukismu,keringat dan juga tangis kisahmu dalam kisahku,bolehkah???
; 10 tahun yang lalu
Ayah,aku ingin menjadi diriku yang sepertimu
; 23 tahun ini
Ayah, aku mati dan kalah sebelum berubah jadi engkau???
; masa kecilku
Yah, bingkaiku dan bingkaimu memang beda, zaman sudah berubah cara menghadapinya juga harus berubah
Ayah, aku ingin melukismu,keringat dan juga tangis kisahmu dalam kisahku,bolehkah???
; 10 tahun yang lalu
Ayah,aku ingin menjadi diriku yang sepertimu
; 23 tahun ini
Ayah, aku mati dan kalah sebelum berubah jadi engkau???
; masa kecilku
Yah, bingkaiku dan bingkaimu memang beda, zaman sudah berubah cara menghadapinya juga harus berubah
Solo,september 2011
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda