Jagad Madura yang Gagal Menemui Pembaca
Oleh arif saifudin yudistira*)[1]
Buku karya Yan zavin aundjand aku terima dari mas han gagas di hari minggu, 30 oktober sekitar jam 15.45 di kala mas han mau pergi makan dengan keluarga. Kisah perjumpaan saya dengan novel ini bermula ketika mas han menawari saya jadi pembedah dalam acara syukuran Taman budaya jawa tengah. Saya semula senang karena saya kira yang akan dibedah adalah novelnya mas han yang jadi pemenang dalam sayembara novel dewan kesenian jawa tengah.
Setelah saya menerima buku itu, semula saya ingin menaruhnya di tas atau kemudian saya taruh di rak buku bersama buku-buku yang lain. Akan tetapi setelah saya membaca judulnya “Tarian di ranjang Kyai” saya jadi berimajinasi pasti novel ini sangat menarik, penuh ledakan emosi disana-sini dan kita akan menemui kisah yang sangat heboh dalam novel ini. Dugaan saya ternyata keliru, selain karena cover buku yang tidak menyenangkan, saya sebenarnya mau menyelesaikan novel ini di awal, tapi karena saya ditugasi sebagai pembedah saya berusaha menyelesaikan tugas saya dengan sebaik-baiknya.
Meski novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata, saya merasai penulis selalu gagal menggambarkan imajinasi yang tak pernah sampai pada satu klimaks imajinasi yang menyentuh kisah itu. Mula-mula saya curiga dan merasai bahwa novel ini ditulis karena kisah nyata yang terjadi sekitar 2010-an dan sekitar sebelum 2010 yang intim dirasai penulis. Karena sulit juga mempercayai madura yang dikisahkan penulis dalam novel ini yang digambarkan di tahun 1950-an.
Karena ini novel berdasarkan true story saya jadi terpikat untuk menelusuri lebih jauh bagaimana penulis menangkap kondisi madura di tahun 50-an. Akan tetapi lagi-lagi penulis gagal menuliskannya dalam novel tersebut. Sulit diterima di tahun 50-an Kiai tetaplah kiai, dan masyarakat menjadi petani, patuh terhadap perintah kiainya dan apapun yang akan dilakukannya demi menghormati kiainya[2].Jika dilihat di tahun 50-an, kondisi negeri kita pada waktu itu, kultur pesantren memang kuat di madura, tapi apakah hanya demi menghormati seorang kiai?. Ketika kultur yang dijadikan landasan, maka kultur kiai dihormati itu tentu ada satu kemampuan dalam persoalan agama di tahun 50-an, kecuali ketika kiai yang muncul jaman sekarang, kiai justru terlibat gosip dan persoalan kiai iklan, kiai televisi, dan da’i bayaran.
Kesulitan berikutnya adalah penggambaran budaya madura di tahun 50-an yang di masa setelah indonesia lagi gonjang-ganjing politik yang sangat kencang, bahkan di tahun 59 sukarno mengeluarkan dekrit presidennya. Ketika novel ini mengambil latar di tahun 50-an sehingga mengendap di pengarangnya dan baru di tulis tahun 2010-an. Oleh karena itu, saya menduga novel ini ditulis pengarangnya di tahun 2010- kebawah dan 1985 keatas. Silahkan cek budaya tahun 50-an anak madura dengan pacaran dan hubungan yang diluar nikah sudah ciuman mesra dan adegan pemerkosaan[3]. Sulit diterima nalar ketika nalar orang yang tidak berpendidikan justru menemui adegan yang begitu vulgar dan intim di masyarakat madura. Norma-norma orang desa tidak mungkin menjangkau kecuali ada infiltrasi budaya dari luar. Sulit diterima nalar, ketika madura identik dengan budaya yang sebegitu intim di usia puluhan tahun(dalam tokoh nisa 9 tahun).
Apakah kultur desa dengan segala primitifnya kita akan mengatakan dan membenarkan ini? Studi masyarakat desa yang saya pelajari sejauh yang saya pelajari saya tidak bisa membayangkan masyarakat desa kita sebegitu kotor dan biadab perilakunya. Sekali lagi karena ini novel yang didasarkan kisah nyata, maka saya menemui kontradiksi antara tahun pembuatan dengan tahun yang dituliskan di novel. Tanda-tanda tahun yang ada mengganggu saya menemui imajinasi yang indah di novel ini.
Beruntung cerita yang saya tunggu-tunggu datang, tapi lagi-lagi saya harus kecewa karena imajinasi saya tidak klimaks dan penulis gagal menuliskan kisah pemerkosaan seorang kiai tanpa menyesal dan lugu seperti yang dilakukan oleh pemuda lugu dan begitu cepat melakukan adegan persenggamaan dan bagi saya orang desa tidak mungkin tiba-tiba tanpa rasa kaku dan penyesalan melakukan hal itu. Saya menduga keras, cerita ini terbawa dengan imajinasi penulis yang sempat menikmati kuliah di perguruan tinggi, yang identik dengan pergaulan yang seperti itu, dan apalagi penulis juga pernah di jogja. Ini mengganggu jalan cerita novel ini. Simaklah adegan berikut : “Kiai...?”panggilnya lagi. Nyawanya sudah berhamburan.
Adegan bersenggama seorang kiai seperti anak muda bercinta di ugm atau di bale kambang. Saya benar-benar gagal memasuki imajinasi yang diinginkan penulis menggambarkan tarian di ranjang kiai. Semula saya berfikir ada wanita yang menari dan telanjang di depan kiai hingga kiai tergoda dan memperkosa wanitanya, tapi ternyata tarian tidak ada dalam novel ini. Tapi adegan jadi mirip persenggamaan anak SMA di jakarta atau di jogjakarta.
Madura yang identik dengan clurit, mantera, dan juga jagat perdukunan justru hanya terkesan sebagai bumbu saja. Seperti pada bagian enam dalam novel ini, ini membuat cerita dalam novel ini terasa hambar dan terasa datar-datar saja. Persoalan berikutnya adalah ketika jagat sosiologis masyarakat madura di telisik lewat novel ini secara kontradiktif. Dalam novel ini diceritakan geng dan preman misnadi sebagai ketua perampok. Ini bertentangan dengan yang ditulis oleh kuntowijoyo dalam disertasinya MADURA ; perubahan sosial masyarakat agraris 1850-1940 meski di akhir bukunya buku ini relevan sampai 60 tahun sesudahnya.[4]
Entahlah, penulis ingin menulis novel sejarah atau tidak saya kurang begitu memahami, atau penulis mau menulis campuran fiksi dan nonfiksi juga sulit saya fahami. Atau penulis mau menuliskan secara fiksi penuh, sepertinya imajinasinya tak mampu menyentuh jalan pikirannnya. Begitupun kisah pembunuhan yang memenggal kepala korban digambarkan seperti biasa saja dan tanpa dosa, padahal Misnadi(tokoh dalam novel ini) belajar dari seorang kiai dengan pesan moralnya. Bagi misnadi tak ada ekspresi penyesalan awalnya, hingga sampai pada yang dibunuh adalah sosok kiai, ekspresi susah digambarkan oleh penulis pada bab tentang pembunuhan kiai aswari di bab 12. Pembaca pun tidak menemui imajinasi kesusahan dan tangis di rumah sakit yang meninggal dengan kepala terputus. Kesedihan digambarkan seperti biasa saja. Kita bisa bandingkan kasus pembunuhan dan kisah pembunuhan pada trilogi insiden[5].
Ini kisah pembunuhan yang dilihat secara langsung, tidak ada yang lebih, biasa saja. Semua seperti biasa saja kematian seorang yang biasa. Padahal kematian seorang kiai yang mati dengan kepala dan korban yang putus kepalanya. Rumah sakit pun seperti gambaran orang menjenguk orang sakit saja. Penulis gagal dalam berkhayal tentang kisah pembunuhan, penulis kurang lihai memasukinya, entah apa yang ada dibenak penulis?.
Kegagalan terakhir adalah klimaks dari novel ini yang datar,datar dan datar. Bagaimana gambaran seorang gadis yang diperkosa oleh kiai yang juga memperkosa . Yang ditambah penderitaan seorang gadis yang harus menanggung derita ibunya yang meninggal, bahkan ia tidak pingsan dan hanya bisa menangis dan belum lagi baru ketemu ayahnya yang menghilang bertahun-tahun. Betapa batin dan emosinya di koyak-koyak, tapi gagal lagi-lagi gagal dikisahkan oleh penulis.
Daripada saya berujar dan berceloteh lebih jauh, saya akhiri saja paparan saya dengan sedikit kebingungan. Saya sulit menerima novel ini sebagai bacaan yang harus berterima dengan pembaca, sebab kegagalan penerbit dengan berbagai kemasan, pengantar, juga pada cover dan sampul belakangnya benar-benar mengganggu saya terkecuali judul. Ditambah kegagalan penulis menyampaikan jagat madura menjadi jagat yang unik, menarik, dan menjadi sangat indah dinikmati dengan tragedi kiai dan pemerkosaan, tapi sayang gagal dilakukan oleh penulisnya. Novel ini mestinya dijadikan pelajaran ulang bagi seorang penulis novel, mempertimbangkan relasi dengan penerbit, juga belajar bagaimana novel akan dikemas dengan format novel sejarah, fiksi, atau separuh fiksi, sampai pada perhitungan penerbitan, jika itu dilakukan dengan kekeliruan dan kegagalan, maka bersiaplah novel akan gagal menemui pembaca. Dan karya jadi tak seindah yang disangka.
Nuwun lan pangapunten. Billahi fiisabilil haq fastabiqul khoirot.
[1] Penyampai adalah mahasiswa UMS, belajar di komunitas tanda tanya dan bilik literasi, aktif di pengajian jumat petang,Presidium Kawah Institute Indonesia .
[2] Lihat lebih lanjut dalam buku”Tarian di ranjang kiai hal 13
[3] Op.cit....hal 19.
[4] Kekerasan yang terjadi disana misalnya perkelahian dan pembunuhan bersifat individual meskipun banyak jumlahnya tulis kuntowijoyo. Lihat MADURA perubahan sosial masyarakat agraris.1950-1940 hal.577
[5] Karya seno gumira aji darma yang kumpulan tiga buku, bentang
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda